10 Alasan Tidak Memilih AHY-Sylvi

562520
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
AHY moshing

Saya akan berhenti menjadi penulis biografi Gubernur DKI Jaya (yang riwayatnya terentang panjang sejak Gubernur Jendral Pierre Both (1610-1613), Suwiryo hingga kemarin BTP (2016), seandainya pasangan ini terpilih. Bukan tidak bisa berbesar jiwa dan berlapang dada, tapi terutama karena 10 alasan di bawah ini.

Baca juga:

1. AHY bukanlah tipe prajurit pejuang sejati, sebagaimana  Ali Sadikin, Wiyogo Atmodarminto, atau bahkan Sutiyoso yang berani meniti karier dari bawah, berprestai tinggi sebelum ia ditunjuk untuk membenahi Jakarta. Ia sejenis “desertir”, yang magal di tengah jalan hanya karena nurut bapak ibunya yang mulai kehilangan panggung. Ia bahkan (mungkin) tidak mengenali dan mengendalikan arah hidup dirinya sendiri.

2. AHY juga tidak memiliki tipe dan karakter menjadi birokrat bersih dan agitator massa seperti Suwiryo (Walikota Jakarta pertama), yang berangkat kantor naik sepeda dan tanpa kejelasan ia digaji berapa. AHY hanya bisa mengerahkan massa bayaran, Suwiryo tanpa duit sepeserpun bisa menggerakkan rakyat berkumpul di Lapangan Ikada untuk mengakhiri pendudukan Jepang.

3. AHY punya citarasa seni yang buruk, tak layak dibandingkan dengan Henk Ngantunk yang seniman pejuang. Keluarganya adalah penghancur “rumah cantik” di Menteng. Bapaknya pemimpi jadi penyanyi. Tak cukup Ebiet atau Jockie SP ia libatkan mengaransemen lagunya, hanya untuk membuktikan bahwa seleranya adalah jongkok. Sejongkok jenis pilihan lukisan2 yang jadi koleksinya.

4. AHY bukan seperti Jokowi, yang diundang datang ke Jakarta. Karena membangun reputasi dan prestasi dengan sungguh2, sehingga menjadi media darling. Ia hanya sejenis orang yang didorong sejumlah partai, yang tentu dengan sejumlah imbalan. Ia cermin “politik dinasti” yang ditolak secara moral, tetapi terus berjalan karena dianggap tak ada aturan yang melarang. Ia memang boleh tapi tidak pantas, ia legal tapi tidak etis.

5. AHY bukan Ahok, ia terlalu retoris dan teoritis, sehingga sulit dibedakan mana rencana mana keinginan. Mana pekerjaan, guyonan, dan khayalan. Ia akan terus menggunakan “politik uang” yang sialnya tanpa nalar akuntansi anggaran yang jelas. Ia mudah memberi janji, tentu dengan konsekuensi sulit menepati. Ia bukan risk taker, yang berani mengambil resiko. Ia akan memnggunakan kekuasaannya dengan ideologi “di sini senang,  di sana senang, dimana2 hatiku senang”.

6. AHY memiliki akar sifat fasis dan rasialis seperti Gubernur Jendral Valcknier, yang memicu terjadinya Tragedi Angke 1740.  Tanda2 ke arah sana terlalu mencolok, ia menggunakan masalah agama dan etnis untuk memobilisasi massa. Sebagai ex-militer yang seyogyanya terdidik nasionalis. Bukannya bersikap mendukung ke-bhineka-an, tapi menggunakan momentum “penistaan agama” sebagai cara menaikkan popularitasnya.

7. AHY berasal dari keluarga SBY yang terlalu peduli dan “menuhankan” pencitraan dirinya. Orang sejenis ini, sebenarnya adalah para penyendiri, yang hidup dalam angan2 batok kepalanya sendiri. Ia mendengar hanya untuk menjadi tuli, ia berdialog hanya untuk melupakan.  Ia mudah mengorbankan orang lain, asal citra dirinya tetap dianggap baik. Ia mudah mengatakan prihatin, tapi lupa bahwa dirinya sendirilah yang lebih pantas dikasihani.

8. AHY adalah sejenis anak mami, yang rajin belajar dan selalu menurut apa katanya ibunya. Ia akan dipilihkan sekolah yang baik, istri yang cantik, dan pekerjaan yang menarik. Ia akan sulit menjadi dirinya sendiri, karena apapun kesalahannya akan diselesaikan sang mami. Ia adalah alat untuk tetap menjaga mimpi2 papi mami-nya tetap menyala. Meminjam puisi Rendra, ia adalah anak gagap yang dilahirkan dari keluarga yang kalap.

9. AHY memiliki calon wakil, yang sangat lemah secara citra birokratif dan jejak rekam yang jauh dari bersih. Ia merupakan bagian dari masa lalu yang seharusnya diberantas. Ia tidak progresif, tidak feminis, tetapi justru mencitrakan diri sebagai pribadi sinis, namun sok puitis. Ia tidak akan mungkin efektif apalagi efisien, karena berkepribadian lemah dan berstandar ganda. Ia akan gagal memberi sentuhan perempuan, karena sebenarnya ia sudah mengingkari “keempuan”-nya sendiri.

10. Terakhir AHY memiliki istri seorang artis, tentu ini tradisi baru di  lingkungan birokrasi DKI. Kalau mereka punya hubungan dengan artis, biasanya selingkuhan atau simpanan. Sejauh yang saya catat istri para “penguasa Jakarta” adalah kanca wingking yang baik, ban serep yang tak pernah publish dan menonjol.  Tapi memiliki daya dorong untuk reputasi populis suaminya. Sejarah mencatat juga, penguasa yang berbau sok artis tak pernah berprestasi baik. Karena bagi sebagian besar yang lain: hidup harusnya sudah berhenti dengan berbangga diri beristri cantik dan artis!
(Dari FB;Andi Setiono Mangoenprasojo)