Kejanggalan demi kejanggalan terus terjadi dalam persidangan kasus penistaan agama. Kasus yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terang punya banyak cacat, termasuk di antaranya adalah fakta para saksi pelapor yang diajukan.
Dalam sidang keempat yang berlangsung di Audiotarium Kementerian Agama (03/01), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan empat saksi guna memberi penguat bahwa Ahok benar menistakan agama. Keempat saksi tersebut adalah Novel Chaidir Hasan, Gus Joy Setiawan, Muchsin, dan Samsu Hilal.
Tapi alih-alih memberi penguat, yang menyeruk justru kejanggalan hukum. Di samping juga kelucuan, seperti saksi lupa dengan identitas dirinya sendiri, sampai pada kelucuan BAP yang diberikannya.
Jika dilihat dari pengalaman atau riwayat hidup dari keempat saksi pelapor, setidaknya ada 4 (empat) alasan utama mengapa para saksi pelapor harus ditolak. Pertama, bersaksi berdasar kebencian pribadi. Hal ini bisa kita lihat dari Novel Chaidir Hasan yang pernah mengaku-ngaku sebagai habib (keturunan nabi) padahal bukan alias bohong.
Ya, mantan Sekertaris Jenderal DPD Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta pernah melaporkan Ahok dan menggugatnya secara perdata atas nama pribadi, bukan sebagai tokoh agama. Itulah mengapa Tim Kuasa Hukum Ahok, Humphrey Djemat, terus berupaya mencecar netralitas para saksi untuk menggali sejumlah informasi sedatail mungkin.
“Jadi kalau kita lihat yang hadir saat ini memang dicecar untuk mengetahui saksi yang jujur dan objektif. Karena beberapa saksi itu memperlihatkan kebencian, seperti Novel Chaidir,” kata Humphrey sesuai sidang (news.detik.com, 3/1).
Kedua, berafiliasi ke salah satu kandidat. Gus Joy Setiawan jelas termasuk dari saksi yang disebut ini. Karena memang, kedudukannya sebagai Ketua Umum Koalisi Advokasi Rakyat, Gus Joy mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Deklarasi ini berlangsung setelah satu minggu dia melaporkan Ahok ke Bareskrim. Dan Gus Joy sendiri sudah mengakui dalam persidangan.
Ketiga, cacat hukum. Muchsin, dikenal juga sebagai hahib Muchsin, adalah Ketua Umum atau Imam Besar FPI yang menggantikan Rizieq Shihab. Kecacatannya sebagai saksi disebabkan karena dirinya pernah membela Mayjen TNI (Purn) Moerwanto Seoprapto yang telah ditetapkan sebagai terpidana kasus korupsi dengan vonis 4 (empat) tahun penjara.
Bersama istri si terpidana, habib Muchsin terlihat berusaha mencaplok aset negara dengan memasang baliho bertuliskan “Bukan Milik Kemensos”, “Telah dilaksanakan eksekusi atas dasar arogansi kekuasaan”, dan “Tanah dan gedung Cawang Kencana bukan milik Kemensos” di gedung milik Depsos.
Jelas, tindakan hahib Muchsin semacam ini tegas memperlihatkan bahwa dirinya adalah wujud nyata dari preman berjubah. Alih-alih sebagai tokoh yang mestinya memberi rahmat, ia justru memilih bersuara lantang demi membela koruptor, pencuri uang rakyat
Keempat, tidak menyaksikan langsung kejadian perkara. Tak satupun di antara keempat saksi adalah warga Kepulauan Seribu. Mereka tak menyaksikan langsung ceramah/pidato Ahok yang sebelum akhirnya diplintir oleh Buni Yani.
Kejanggalan ini tentu lebih fatal. Bagaimana mungkin seorang saksi pantas memberi kesaksian di depan hukum ketika dirinya sendiri tidak tahu atau tidak menyaksikan kejadian perkara secara langsung? Tak hanya aneh, tapi ini jelas sebagai pelanggaran hukum ketika diaminkan.
Bukan hanya hakim saja, publik pun ingin mendengar kesaksian langsung yang objektif, bukan berdasar pada dugaan-dugaan belaka. Kita semua berharap bahwa para penegak hukum, terutama hakim, mampu mempertimbangkan fakta-fakta kejanggalan dari para saksi terlapor ini sebelum akhirnya benar-benar mengambil keputusan hukum.
Bahwa rakyat, khususnya bagi terdakwa sendiri (Ahok), butuh kesaksian dari orang-orang yang menyaksikan langsung; butuh kesaksian yang tidak berdasar pada kepentingan pribadi, golongan, apalagi kepetingan politik.
Muzakkir