Tim pengacara Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terdakwa kasus dugaan penodaan agama, menceritakan bagaimana mereka bisa memilih pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej, sebagai saksi ahli pada sidang terakhir kasus itu, Selasa (14/3/2017) kemarin.
Edward Omar yang biasa dipanggil Edi, sebelumnya merupakan saksi ahli dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca:
- Guru Besar Hukum Pidana Ini Sebelumnya Ahli dari Jaksa, tapi Malah Bela Ahok
- Catatan Gerpol: Ini Dia Daftar Saksi dan Ahli yang Dihadirkan Jaksa tapi Malah Bela Ahok
- Bagaimana TEMPO Memframing dan Menjual Ahok
“Ada sedikit drama. Pada waktu (JPU) menolak Prof Edi katanya ‘tidak etis nih sebelumnya (Edi) sudah bilang (ke JPU), kalau enggak mau (ambil Edi), nanti penasihat hukum (Ahok) yang ambil (Edi) sebagai ahli’,” kata salah seorang pengacara Ahok, Humphrey Djemat, di kawasan Jalan Cemara, Jakarta Pusat, Rabu (15/3/2017).
Humprey menegaskan, pihaknya menjalin komunikasi dengan Edi setelah Edi tidak jadi diajukan sebagai saksi ahli oleh JPU.
“Kami tidak bisa terima. Kami mulai komunikasi setelah (Edi) ditolak oleh jaksa pada sidang terakhir jaksa menghadirkan ahli,” kata dia.
Humprey mengatakan pihaknya tidak tahu apa alasan JPU menolak Edi sebagai saksi ahli. Ia menduga, JPU menolak Edi sebagai saksi ahli karena ahli hukum pidana itu menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada tindak pidana dalam perkara Ahok yang dituduh telah menodai agama.
“Hanya jaksa yang tahu kenapa ditolak. Kalau enggak mau diajukan enggak berani dong, gitu aja. Berarti tidak berani mengungkapakan kebenaran materil. Itu bukan ahli kita, tapi kita punya keberanian, karena kita yakin ahli yang ada dalam BAP itu punya integritas,” kata Humphrey.
Ahok didakwa telah melakukan penodaan agama karena menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada September 2016. JPU mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
(kompas/gerpol)