Dalam pergerakannya, otaknya adalah Hizbut Tahrir dan ototnya adalah FPI. Bahkan, dari awal FUI menggunakan jaringan HTI untuk meningkatkan keberadaan dan pergerakannya, sehingga ideologi dan isu yg diusung oleh FUI dan HTI sangat serupa meskipun jargonnya dibedakan.
Hubungan antara FUI dengan HTI bisa ditelusuri jauh sebelum Muhamamad Al Khaththath diangkat menjadi sekjen FUI.
Al Khaththath memulai kariernya sebagai aktivis Islam saat kuliah di Institut Pertanian Bogor pada 1980-an. Pemilik nama asli Gatot ini bertemu dengan Abdurrahman Al Baghdadi, aktivis Hizbut Tahrir dari Timur Tengah. Kepada Al Baghdadi dari situlah Gatot berguru. Ia kemudian aktif menyebarkan dakwah Hizbut Tahrir melalui jaringan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus.
Al Khaththath yang dikenal sebagai ahli lobi, mampu membangun kedekatan dengan orang-orang MUI sehingga pada 2005 berhasil menjadi pengurus MUI bersama Ismail Yusanto, juru bicara HTI dan menjadi wakil ketua komisi litbang MUI.
Ketika HTI lebih frontal mendorong narasi pendirian Khilafah, FUI-FPI memperhalus jargonnya dengan istilah NKRI Bersyariah.
Al Khaththath sebagai Sekjen FUI bersama Rizieq Shihab dari FPI, Wakil Amir MMI Abu Jibril yg menjadi penggagas wacana NKRI Bersyariah. Tujuannya adalah memperjuangkan penerapan syariat Islam sebagai hukum positif yang termuat dalam konstitusi dan perundang-undangan NKRI.
Caranya adalah dengan revolusi sosial untuk mengangkat Presiden yang siap mendekritkan berlakunya syariah Islam secara formal konstitusional.
FUI semakin berkembang di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika FUI dan FPI mendapatkan ‘panggung’ untuk mendukung RUU Anti Pornografi pada 2006.
Selain itu, FUI juga diketahui aktif dalam pelarangan aliran sesat, membubarkan Ahmadiyah, dan menolak Pancasila sebagai azas tunggal.
Namun pada tahun 2008, HTI memisahkan diri dari FUI dan Muhammad Al Khaththath dikeluarkan dari HTI, karena terjadi peristiwa Monas. Perpecahan itu juga disinyalir karena konflik internal di tubuh HTI, dan Al Khaththath memilih tetap aktif di FUI.
Baca:
-
Anies Merengek Telepon Polisi Minta Tangguhkan Penahanan Al-Khathtath
- Breaking News: Komandan FUI dan Aksi 313 Ditangkap Polisi di Hotel Mewah
Insiden Monas terjadi pada 1 Juni 2008, tepat pada hari kelahiran Pancasila. Saat itu FPI dengan bendera FUI menyerang massa Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Insiden ini bermula ketika AKKBB akan menggelar aksi di Monas, Jakarta, pada 1 Juni 2008. Namun belum lama aksi dimulai, kumpulan masa AKKBB diserang oleh masa beratribut FPI. Massa FPI memukuli anggota Aliansi Kebangsaan dengan berbagai cara: menghancurkan peralatan pengeras suara, merusak dan membakar spanduk.
Tercatat 14 orang terluka dan sembilan di antaranya dirujuk ke rumah sakit, termasuk perempuan dan anak-anak. Aksi yang sudah dikoordinasikan dengan polisi ini bubar tercerai berai, beberapa orang melarikan diri ke Galeri Nasional sembari mengajak wartawan untuk ikut menyelamatkan diri.
Setelah itu FUI dan Muhammad Al Khaththath sangat bergantung kepada dana dan pergerakan massa dari FPI. Apalagi karena MUI cenderung pasif dalam pergerakan demonstrasi dan minim sumbangan dana bagi FUI.
Berkat dukungan Rizieq, Muhammad Al Khaththath mulai masuk merebut kepemimpinan MUI. Sehingga pada 2005, Muhammad Al Khaththath berhasil menjadi pengurus MUI bersama Ismail Yusanto, juru bicara HTI.
Muhammad Al Khaththath menjadi wakil ketua komisi litbang MUI Pusat 2005-2010.
Selain itu, Al-Khaththath juga gencar menyuarakan pahamnya lewat Tabloid Suara Islam.
Langkah lain dari Al Khaththath adalah masuk ke partai politik. Langkah itulah yang kemudian mendapat pertentangan dari pengikut HTI.
Bagi HTI, NKRI, demokrasi dan pemilu adalah haram. Namun di sisi lain Al Khaththath menjadi bagian dari partai politik bahkan menyerukan kepada umat Islam untuk menggunakan hak pilih di dalam pemilu. Lebih jauh lagi, Khaththath mengemukakan bahwa golput hukumnya haram bagi umat Islam.
Al Khaththath dengan lantang mengatakan bahwa jika umat Islam golput maka sama artinya telah memberikan tiket gratis bagi kaum Kafir untuk kuasai negeri.
Langkah Al Khaththath ini kemudian mendapat banyak kritikan baik dari para penganut faham khilafah. Al Khaththath yang selama ini menolak keras demokrasi tiba-tiba ingin menjadi bagian dari sistem tersebut.
Muhammad Al-Khaththath berdalih, masuknya ke partai politik hanyalah strategi untuk mengubah sebuah sistem. Sistem yg tidak sesuai syariah Islam, tidak harus berada di luar tetapi juga bisa masuk dan berjuang dari dalam.
Karena sikap dan pemikirannya yang pro pemilu, Al Khaththath kemudian dicap kafir, sesat, dhollun mundhillun (sesat dan menyesatkan) oleh orang HTI.
Pada Pemilu 2014, Al Khaththath maju menjadi calon legislatif DPR RI nomor urut 1 Dapil 3 Jakarta melalui Partai Bulan Bintang (PBB). Namun, langkah politik Al Khaththath FUI gagal total. Dia tidak berhasil melenggang ke kursi senayan.
Al Khaththath telah berupaya menggunakan agama untuk meraih suara dalam pemilu 2014. Namun tidak berhasil.
Meski demikian, sebagai politikus, Al Khaththath tak patah arang. Ia selalu bermanuver dan manfaatkan momentum politik dengan sokongan logistik yang masih tersedia.
Setelah putaran pertama Pilgub DKI Jakarta 2017 selesai, peluang meraih dana logistik masih tersedia.
FUI-FPI melihat peluang politik di DPR dari 4 partai politik yang sedang mewacanakan hak angket. Yakni, Gerindra Demokrat, PKS dan PAN.
Hak angket tersebut ditujukan ke Presiden Jokowi terkait pengaktifan kembali Ahok.
FUI-FPI membaca bahwa aksi mereka ke DPR pasti akan seperti gayung bersambut oleh empat fraksi itu di DPR. Untuk itu, FUI-FPI menggeser tekanan ke DPR untuk mendorong penggunaan hak angket.
Pertemuan FUI dan Fadli Zon dan beberapa petinggi DPR adalah untuk menyiapkan aksi 212 Jilid II pada 21 Februari 2017.
Dengan persiapan yang matang antara FUI-FPI dengan 4 Fraksi di DPR maka aksi 212 nampaknya akan semakin dramatik.
Bisa jadi, ini adalah manuver yang sedang dimainkan oleh FUI-FPI dengan beberapa anggota dewan. Menggunakan kasus Ahok sebagai ‘titik tembak’, namun tujuan sesungguhnya adalah desakan pada hak Angket yang selanjutnya menuju pada pelengseran Jokowi untuk memuluskan jalan menuju NKRI Bersyariah.
(MuslimModeratnet/gerpol)