Alumnus Harvard asal Indonesia Meminta Hakim Memutus Vonis Ahok Berdasarkan Fakta Peradilan

925
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Harvard University

Keputusan pengadilan atas kasus yang menimpa Gurbernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus diambil berdasarkan murni hukum dan fakta peradilan, bukan karena adanya intimidasi massa dalam bentuk mobokrasi. Demikian bunyi petisi yang diinisiasi oleh 26 alumni Harvard University di Indonesia.

Sebelumnya, dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) jelas bahwa Ahok tidak terbukti menistakan agama, meskipun JPU tetap menuntut Ahok dengan tuntutan satu tahun tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Tuntutan JPU tersebut menuai protes dan aksi massa dari sejumlah ormas. Ormas-ormas itu menuntut hakim untuk memvonis lebih berat dari tuntutan yang diajukan oleh JPU.

Terkait hasil akhir persidangan yang sudah berlangsung beberapa bulan itu, 26 alumni Harvard berharap pengadilan bisa memutuskan kasus Ahok secara seksama. Mereka menginisiasi dukungan untuk peradilan Ahok yang seadil-adilnya melalui petisi.

”Setelah mencermati jalannya pengadilan, jelas tuduhan jaksa tak terbukti. Maka itu, secara hukum mestinya majelis hakim memutus bebas (Ahok, Red),” ungkap salah seorang inisiator petisi www.ahoktidakmenistaagama.com, Bambang Harymurti salah satu pengagas petisi tersebut di Jakarta, kemarin (2/5).

Menurut Bambang, sejumlah alumni Harvard ini secara personal merasa perlu untuk terlibat mendukung persidangan yang adil tanpa tekanan apapun. “Kami berharap melalui petisi ini majelis hakim bisa lebih mantap dan yakin memutuskan semata-mata atas pertimbangan hukum,” harapnya.

Pihaknya juga memiliki beberapa poin pemikiran, di antaranya, bahwa dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 20 April lalu jelas bahwa Ahok sebagai terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana penistaan agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 156a KUHP, sehingga, JPU tidak menggunakan pasal penistaan agama dalam tuntutan akhirnya. Namun demikian JPU tetap menyatakan bahwa Ahok tetap memenuhi unsur pidana pasal 156 (tentang SARA) dan menuntut Ahok dengan hukuman pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Per tanggal 2 Mei 2017, dukungan yang awalnya digalang melalui www.ahoktidakmenistaagama.com sudah mencapai lebih dari 60.000 pendukung. Melihat antusiasme masyarakat yang ingin memberikan dukungan semakin banyak, petisi tersebut sejak tanggal 1 Mei 2017 dipindah ke https://www.change.org/p/ahok-tidak-menista-agama yang semalam sudah mendapat dukungan lebih dari 10.000 orang. “Perpindahan situs kami lakukan untuk mengantisipasi jumlah masyarakat yang mendukung petisi ini semakin banyak,” ujar Rudy Setiawan inisiator yang membantu dalam platform situs dari petisi ini.

Selain Bambang Harimurty dan Rudi Setiawan, pendukung petisi alumni Harvard University yang juga seorang corporate lawyer adalah Dini Shanti Purwono, yang yakin bahwa dukungan masyarakat lewat petisi tersebut akan terus mengalir hingga sidang putusan nanti. Hal ini dapat menjadi moral support bagi hakim untuk menegakan supremasi hukum di Indonesia.

“Semoga majelis hakim bisa tegas dan yakin, tanpa terpengaruh oleh intimidasi yang mengandalkan massa (mobokrasi). Dengan semangat Fiat Justitia et Pereat Mundus yang berarti tegakkan keadilan meskipun langit runtuh, kami selaku inisiator petisi berharap putusan hakim yang seadil-adilnya berdasarkan murni hukum dan fakta peradilan,” kata Dini.

Hal senada disampaikan oleh praktisi hukum Todung Mulya Lubis dalam keterangannya kepada wartawan (3/5). “Ini bukan hanya soal Ahok, tetapi kami melihat ini perlu untuk menyelamatkan supremasi hukum di Indonesia. Bahwa keputusan pengadilan di Indonesia harus diambil berdasar fakta peradilan, bukan karena adanya intimidasi massa lewat mobokrasi,” kata Todung

“Bayangkan jika ada pengadilan korupsi kemudian sang koruptor menggerakkan massa sebanyak-banyaknya untuk meminta kebebasannya. Apakah kita akan biarkan aksi intimidasi massa berhasil membebaskan koruptor dari jeratan hukum?” ujar Todung lebih lanjut.

Salah satu praktisi hukum senior di Indonesia tersebut menjelaskan bahwa sejak awal kemerdekaan, para founding fathers (pendiri negara) kita sudah percaya pada supremasi hukum. Sekarang kita sudah merdeka 72 tahun, sudah bukan lagi jamannya pengadilan jalanan atau lewat intimidasi massa. Hukum adalah hukum, dan pengadilan yang bebas dari mobokrasi adalah bentuk kemajuan peradaban Indonesia.

“Karena itu kami dukung agar pengadilan atas kasus Ahok ini dapat benar-benar mengambil keputusan secara adil dan tidak perlu takut atas initimidasi. Sama seperti kita melawan korupsi, jangan takut intimidasi, tapi takutlah kita tidak menegakkan hukum secara adil,” pungkas Todung

Selain Bambang Harymurti, Todung Mulya Lubis dan Dini Purwono, inisiator lainnya adalah  Goenawan Muhammad, Yenny Wahid, Gatot Soemartono, Melli Darsa, Nona Pooroe Utomo, Ali Kusno Fusin, Nugroho Budi Satrio Sukamdani, Ludi Mahadi, Adrianus Woworuntu, MSM Ondi Panggabean, Philip S Purnama, Endy Bayuni, Danny I Yatim, Togi Pangaribuan, Zenin Adrian, Darwin Silalahi, Wawan Mulyawan, Brigitta Aryani, Wahyu Dhyatmika, Junaidi, Johannes Ardiant, Paul W Broto, dan Rudy Setiawan.

(gerpol)