Anies-Sandi Dukung Hidupkan Negara Khilafah

999022
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Al-Khaththath alias Gatot bersama Anies

JAKARTA-Aksi demonstrasi anti Gubernur Petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang dimotori kelompok pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno ternyata tak sekadar gerakan menegakan hukum. Lebih dari itu, aksi itu justru membangkitkan benih-benih radikalisme yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersyariat (Khilafah) atau berideologi Islam secara total.

Baca:

Hal ini sangat masuk akal mengingat salah satu partai pengusung Anies-Sandi yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai yang getol memperjuangkan negara khilafah di Indonesia. “Kalau kita melihat gerakan yang ada, jelas politik pilkada dan sasarannya Ahok. Aksi bela Islam dan ulama itu kedoknya saja,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Arbi Sanit di Jakarta, Sabtu (1/4).

Menurutnya, semua gerakan melawan Ahok itu hanya secara formal memakai pilkada, tetapi sebenarnya dibalik formalitas itu secara ril mau menghidupkan negara agama atau negara Islam. Saat ini, cita-cita menghidupkan negara Islam mulai muncul dengan konsep negara khilafah.”Saya kira, ini sangat berbahaya,” tegasnya.

Salah satu partai pendukung Anies-Sandi yaitu PKS memang paling terdepan memperjuangkan penerapan syariah Islam melalui penegakan khilafah. “Saya sangat setuju dengan khilafah. Inilah yang akan menyatukan umat Islam,” ujar pentolan PKS H. Adih Amin, Lc., MA

Sejauh ini, pasangan Anies-Sandi serta pendukungnya terus memainkan politik SARA di Jakarta. Hal ini terlihat masifnya spanduk penolakan mensalatkan jenazah, kampanye di masjid,masjid taqlim hingga rencana Jakarta Bersyariah.

Arbi melihat, politik SARA ini secara intensif menyerang Ahok. Hingga kini, sentimen SARA terhadap Ahok terus dikembangkan di Jakarta. Hal ini dimobilisasi sedemikian intensif oleh Anies-Sandi serta pendukungnya, mulai dari kelompok pengajian, masjid hingga sekolah. “Orang yang tidak mendukung politik SARA di cap setan tidur. Ini semacam intimidasi, supaya gerakan anti Ahok ini bekembang terus,” tuturnya.

Guru Besar UI ini melihat, orang-orang yang anti Ahok selama ini mulai tokoh politik, ulama, kelompok dan individu, sebenarnya mudah terindentifikasi. Mereka adalah orang yang tidak suka dengan Ahok. Karena itu, gerakan anti Ahok ini direkayasa secara sistematik dengan menjadikan agama sebagai jualan utamanya.

Namun, Arbi menyakini kedewasan politik pemilih Jakarta sangat tinggi sehingga tidak mudah terbuai oleh jualan politik pragmatis ini. “Warga Jakarta adalah pemilih cerdas, bisa memilih dan memilah,” urainya.

Arbi melihat, gerakan menjatuhkan Ahok ini sebenarnya bukan baru. Awal gerakan ini muncul saat Ahok naik menjadi Gubernur menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden.

Bahkan kelompok anti Ahok ini sampai mengangkat Gubernur DKI Tandingan Fakhrurrozi Ishaq. “Dan puncak dari gerakan anti Ahok ini terjadi sekarang. Sekarang sedang dibangun dua kekuatan anti Ahok yang saling berhadap-hadapan yaitu kekuatan sosial politik agama dan nasionalis. Indikasinya dalam demo terakhir, sentimen anti Ahok menguat. Dan yang mengkhawatirkan, cita-cita menghidupkan negara Islam mulai muncul dengan konsep negara khilafah. Kekuatan ini berhadapan dengan masyarakat yang tetap menginginkan NKRI,” ungkapnya.

Sebelumnya, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi menyebut aksi bela Islam menunjukkan fenomena menguatnya kelompok masyarakat yang memahami agama hanya berdasarkan teks. Gejala itu bukan hanya di kehidupan masyarakat, tapi juga di lingkungan kampus. “Kalau dilihat pesimisnya, ini gejala warning, bahwa proses Islamisasi di Indonesia ternyata religiusnya tekstualis. Ini benih-benih untuk radikalisasi,” kata Anas.

Dia khawatir, proses Islamisasi yang selama ini tekstualis akan menyuramkan masa depan Indonesia. Kebencian dan fitnah dipertontonkan di ruang publik. Sementara keadaban dan sopan santun tak diutamakan. Hal itu menandakan betapa rendahnya akal sehat. “Kebenaran yang seharusnya ditegakkan dengan akal sehat kini mengalami penyusutan, setidaknya di dalam ruang publik,” ujar Anas.

Demonstrasi yang seharusnya diwacanakan dengan sopan, adu argumentasi dalam berbeda pendapat, kini berganti dengan pemaksaan kehendak oleh sebagian kecil kelompok. Bagi Anas, ini merupakan teror terhadap demokratisasi.

Di tengah kelompok fundamentalis yang semakin besar, meskipun keberadaannya tidak dominan, Indonesia beruntung memiliki masyarakat yang multikultural. “Kelompok moderat, nasionalis, maupun abangan masih hidup di tengah masyarakat,” pungkasnya.

(gerpol)