Anies Sengaja Mau Bangkrutkan Jakarta dengan Program Rumah DP 0

999322
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali memaparkan program uang muka atau down payment (DP) 0 persen atau 0 rupiah.

Dalam debat di salah televisi swasta, Senin (27/3/2017) malam, Anies menegaskan program tersebut tidak membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membayar seluruh pembelian rumah oleh masyarakat, melainkan hanya DP-nya saja.

“Kalau harga rumah Rp 350 juta maka masyarakat DKI Jakarta harus bayar DP Rp 52 juta dan itu yang mau kami hilangkan, kami ringankan,” kata Anies.

Namun, menurut pengamat perumahan yang juga Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, DP 0 Persen tidak jelas.

Selain itu, DP 0 Persen juga belum bisa dibilang program perumahan, melainkan hanya gimmick yang mencitrakan ingin meringankan cicilan rumah.

Kalau tidak jelas programnya seperti apa, menurut Jehansyah sangat berbahaya kalau diterapkan, karena bisa seperti cek kosong.

“Bisa saja jatuh jadi subsidi penuh yang berpotensi membangkrutkan Jakarta, atau mengelabuhi masyarakat yang ternyata misalnya itu bukan program rumah hak milik (SHM),” tutur Jehansyah kepada KompasProperti, Rabu (29/3/2017).

Dia menjelaskan, dari sisi pembiayaan perumahan saja, DP 0 persen ini konsepnya masih mengawang-awang. Sumber pembiayaan subsidi itu harus dari dana jangka panjang.

“Nah ini dari mana sumber dananya? Karena kalau pakai sumber dana komersial pastilah merugikan bank dan mengancam prudensial bank,” kata Jehansyah.

Ilustrasi

Sejatinya, program perumahan harus mencakup banyak hal, termasuk struktur pembiayaan, suku bunga, ketersediaan tanah, pasar sasaran, dan mekanismenya.

Terkait struktur pembiayaan, Jehansyah juga menyoroti masalah suku bunga cicilan KPR, dan tenor pinjaman.

Namun, dari semua itu, yang terpenting adalah konsep perumahan, apakah subsidi uang muka, subsidi suku bunga, atau bagaimana.

Housing delivery system

Pendek kata, lanjut Jehansyah, Program DP 0 Persen belum jelas dilihat dari segi mana pun. Seandainya pun konsep pembiayaannya sudah jelas, pertanyaan lainnya yang mengemuka adalah housing delivery system-nya seperti apa?

Jehansyah kemudian memberikan solusi mengenai program perumahan yang jelas, dan efektif. Itu hanya bisa dilakukan jika ada konsep housing delivery system-nya secara utuh.

Hal ini meliputi perencanaan lokasi, konsep kelompok sasaran, skema kelembagaan, pembiayaan dan pengelolaannya.

Kemudian, harus jelas juga, lokasi moda penyediaan antara public housing, social housing, commercial housing (property business), atau self-help housing seperti ditetapkan pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman atau UU Nomor 11 Tahun 2011 mengenai jenis-jenis rumah.

Jadi jika dilihat dari kerangka housing delivery system, Jehansyah menilai, DP 0 persen  ini masih belum jelas berada di moda yang mana.

“Kalau katanya ini konsep rumah milik, berarti ini program subsidi pasar rumah komersial (subsidi KPR). Namun konsep lokasinya, kelompok sasarannya, bagaimana mekanisme penyediaannya, kelembagaannya, dan lain-lain juga masih belum jelas,” nilai dia.

Rusun Rawa Bebek

Akibat ketidakjelasan tersebut, beberapa pihak yang ingin mendukung mencoba menambahkan konsep program tersebut. DP 0 persen ini dikatakan untuk korban penggusuran, untuk apartemen, dan lain-lain.

Misalnya, ada yang menafsirkan itu program seperti model housing development board (HDB) atau mirip Perumnas di Singapura. Padahal HDB itu program public housing yang mirip Rusunawa dan bukan DP 0 persen.

Sebaliknya, kalau memang Anies hendak menjadikannya sebagai program public housing (rumah umum) maka tentunya bukan dengan cara beli-beli rumah yang ada di iklan jual rumah.

“Jadinya orang memahami itu sekadar bantuan subsidi KPR biasa. Istilahnya upfront subsidy. Ini jauh sekali dengan public housing di atas,” sebut Jehansyah.

Public housing

Nah, bagaimana jika kemudian Anies membidik public housing? Kalau konsep ini yang diangkat, maka harus diperkuat kelembagaannya, konsep pemilihan lokasi (misal dekat stasiun), konsep kelompok sasaran, skema sewa dan sewa beli hak pakai, serta lain-lainnya.

Sedangkan DP 0 persen dalam skema public housing itu bisa saja jadi bagian program. Tapi itu hanya untuk rumah milik hak pakai jangka panjang. Karena tanahnya berstatus hak pengelolaan lahan (HPL), dan tetap milik negara yang dikelola lembaga yang dibentuk atau ditunjuk.

Namun, Jehansyah menilai, program Anies ini tidak mengarah ke public housing. Kalau tetap ada yang mengatakan demikian, sebagai program bantuan pembiayaan pemerintah memang dimungkinkan.

“Persoalannya, program penyediaan perumahannya seperti apa?” tanya dia.

Jika pun ada yang membandingkan DP 0 persen dengan aturan program rusunawa yang sekarang, di mana penghuni korban gusuran harus memperpanjang sewa setiap dua tahun, dan maksimal 4 kali perpanjang, konsep seperti ini mengusik security of tenure warga penyewa.

Pemerintah pusat sebenarnya juga turut bertanggung jawab, karena dari target 550.000 unit rusunawa di dalam RPJMN 2015-2019 baru berhasil dibangun kurang dari 40.000 unit per tahun ke-3.

Ini karena penyediaan rusunawa masih menggunakan konsep bagi-bagi twin-block dan belum ada terobosan strategi penyediaan rusunawa skala besar di kota-kota besar atau metropolitan.

Namun demikian, pemerintah tidak bisa juga hanya memberikan solusi tunggal rusunawa. Hal ini telah menimbulkan banyak konflik pada saat terjadi penggusuran-penggusuran.

Selain ketersediaan rusunawa dalam jumlah dan lokasi yang memadai, untuk mereka penduduk asli yang sudah lama menetap di kampung kumuh, perlu disediakan pula konsep alternatif seperti rumah deret atau rumah komunitas atau kampung susun yang juga kompak dan berkepadatan tinggi.

Konsepnya tentu bukan public housing atau subsidized market housing, melainkan menggunakan pendekatan self-help housing atau rumah swadaya.

“Memang perhatian kedua calon gubernur DKI Jakarta ini terhadap isu perumahan rakyat sudah sangat besar dan patut kita syukuri. Namun jangan sampai tidak dibarengi dengan konsep dan program yang baik, agar kampanye menjadi bermakna demi merumahkan warga Jakarta secara layak dan bermartabat,” tuntas Jehanysah.

(kompascom/gerpol)