Anies yang Khianat dan Tidak Punya Integritas

1096414
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Kepada Bung Anies yang saya hormati,

Sebelumnya perkenalkan nama saya adalah Airlangga Pribadi Kusman, pengajar dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Kita pernah bertemu sekali dua kali, namun belum pernah kita berdialog dengan intens baik dalam acara diskusi maupun dalam kesempatan dialog informal. Untuk itu, perkenankan saya berkomunikasi dengan Anda secara terbuka saat ini di sela-sela kesibukan Anda sebagai Calon Gubernur DKI dalam Pilgub Jakarta 2017 kali ini.

Mengapa surat ini saya tujukan kepada Anda saat ini bukan kepada yang lain seperti Saudara Basuki Tjahaja Purnama atau Agus Harimurti Yudhoyono pada putaran pertama? Jawabannya adalah karena pada awalnya saya menaruh harapan kepada Anda sebagai kaum intelektual Muslim yang matang oleh keadaan, digodok oleh pandangan demokrasi dan civic values dalam studi Anda jauh di negeri Paman Sam, digembleng dalam epistemic pengetahuan keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan dalam dialog Anda dengan kalangan intelektual Muslim moderat semenjak era 80-an dan 90-an.

Tak terlupa juga karir Anda sebagai Rektor Universitas Paramadina, warisan almarhum Nurcholish Madjid, yang selama ini menjadi mercusuar penguatan peradaban Islam yang inklusif dan menyatu dengan keindonesiaan. Semenjak itu momen demi momen mengantarkan Anda menjadi harapan masa depan peradaban Islam dan nilai-nilai keindonesiaan yang maju, terbuka, dan menghargai kebhinekaan yang menemukan kulminasinya dalam sebuah peristiwa ketika Anda menulis sebuah artikel dengan judul Merajut Tenun Kebangsaan dalam hari-hari yang panjang di tengah ketegangan dalam Pemilihan Presiden 2014.

Bung Anies Baswedan,

Dalam jejak langkah satu demi satu yang Anda kumpulkan dalam karir Anda pada waktu itu saya melihat hadirnya sebuah integritas. Integritas yang tidak hanya menandai harapan akan kebangkitan wajah Islam yang, dengan nilai-nilai rahmatan lil alamin, akan kembali menggarami bumi keindonesiaan kita, namun juga wajah kemajuan cara pandang dan keadaban etis yang–di mana Anda akan menjadi salah satu komponen di dalamnya–sebagai aktor strategis yang membawa negeri kita Indonesia dari gelapnya warisan Orde Baru menuju terangnya masa depan demokrasi Indonesia.

Karena saya dengar itulah bagian dari kampanye Anda saat bergabung dalam barisan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilihan Presiden 2014. Saat itu saya melihat masa depan demokrasi Indonesia yang disuburkan oleh nilai-nilai kesetaraan sosial, keterbukaan terhadap yang berbeda, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, salah satunya akan diperjuangkan oleh orang seperti anda. Bagi saya, orang yang konsisten mengemban nilai-nilai di atas dalam jejak sejarah hidupnya adalah orang yang memiliki integritas, dan saya pikir Anda adalah salah satu darinya.

Sampailah kita pada waktu yang menjadi kesempatan dan sekaligus ujian bagi Anda sebagai salah satu aktor strategis demokrasi di Indonesia, yakni momen Pilkada Jakarta 2017. Momen yang membawa Anda menjadi Calon Gubernur Jakarta 2017. Sebagai sesama akademisi ilmu politik, saya paham bahwa politik bukan sekadar nyala api idealisme, namun juga soal pertarungan konkret di bumi manusia yang acapkali membutuhkan pragmatisme dan kalkulasi dukungan suara dari rakyat.

Politik, selain dihidupi oleh paham Aristotelian yang menekankan pada bagaimana merangkai kebaikan di dalam kehidupan bersama, juga membutuhkan strategi dan taktik dalam konteks siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana seperti diungkapkan oleh Professor Harold D. Lasswell. Namun demikian, Anda pasti paham dan tentu lebih paham dari saya bahwa dalam rangka bagaimana Anda sebagai aktor politik mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana, terang cahaya kebaikan nilai-nilai keadaban tidak boleh diinjak-injak di bawah bendera pragmatisme dan fanatisisme!

Itulah yang kita pelajari tidak saja dari Aristoteles, tapi juga dari junjungan kita Baginda Rasulullah SAW yang berusaha dicontoh oleh para pendiri republik kita Sukarno-Hatta maupun dari para Guru Bangsa seperti almarhum Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, guru kita bersama.

Keresahan kita bahwa Anda tengah menggeser kebaikan bersama dalam tenun kebangsaan di bawah bendera pragmatisme bahkan sektarianisme bermula ketika saya melihat di laman Youtube ketika Anda mengunjungi maskar besar Front Pembela Islam di daerah Petamburan, Jakarta. Di sana Anda menyatakan bahwa Anda adalah pemadam kebakaran dalam posisi Anda sebagai rektor Universitas Paramadina ketika ide-ide Islam Liberal tengah menyebar.

Bung Anies Baswedan,

Saya pernah menyaksikan keseharian Universitas Paramadina, meskipun saya bukan orang inti di sana, namun yang saya tahu bahwa yang dikembangkan oleh Cak Nur di Paramadina bukan hanya soal Islam Liberal tapi lebih tinggi daripada itu adalah Islam berkeadaban, Islam yang menyatu dengan kemodernan dan keindonsiaan. Tradisi peradaban dan intelektual Islam yang menggarami Indonesia dengan semangat public religion (agama publik), yang kemudian menjadi menara bagi ide-ide kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan! Yang mana di dalamnya berbagai ide (baik liberal, republikanisme, reformisme, Islam Progresif, Islam Berkemajuan maupun Islam Nusantara) saling berdebat, berdiskusi, dan memperkaya ruang publik Indonesia.

Di sini saya kecewa Bung Anies, karena ketika anda menyatakan bahwa Anda menjadi pemadam kebakaran di Universitas Paramadina, artinya Anda tengah menjadi pemadam api pemikiran Islam berkeadaban dan teologi keadilan yang dinyalakan oleh mendiang Nurcholish Madjid.

Apalagi ketika Anda di dalam forum di Petamburan itu menyatakan bahwa Anda bukan Syiah dan bukan Islam Liberal. Baik Bung Anies, saya percaya Anda jujur, Anda bukan penganut Muslim Syiah maupun Islam Liberal. Namun demikian, dalam suasana sosial yang penuh kebencian, cara Anda berbicara yang memanjakan sentimen kebencian dan perasaan paling benar sendiri di hadapan publik itu bukanlah cara berbicara orang yang pernah menulis artikel tentang merajut tenun kebangsaan.

Dialog yang merdeka dan terbuka, pesan untuk saling menghormati satu sama lain tidak akan tercipta, kekakuan pandangan tidak akan mencair dengan cara komunikasi politik yang Anda ciptakan dalam dialog seperti itu. Anda bisa berbicara dengan cara lain seperti mengingatkan kepada majelis tentang pentingnya ukhuwah islamiyah di dalam kerahiman Allah SWT, persatuan Indonesia, kebhinekaan dalam persaudaraan bersama seperti yang diwariskan oleh para pendiri republik.

Baiklah mungkin Anda akan berpikir bahwa surat ini hanyalah salah satu suara dari kalangan pendukung Islam Liberal yang hanya peduli soal toleransi tapi tidak peduli soal keadilan sosial. Untuk itu, saya bertanya kembali kepada Anda, bagaimana Anda bisa menjalankan amanah keadilan sosial dengan berbagai program Anda ketika dalam kepala Anda masih tersimpan bias-bias eksklusivitas terhadap yang berbeda dari konstiten utama Anda.

Bagaimana kami bisa yakin bahwa Anda akan memimpin Jakarta dengan cara yang adil ketika Anda hanya memanjakan sentimen kaum intoleran dalam barisan Anda, dan tentu kami berhak untuk was was bisa jadi bahwa selanjutnya Anda akan didikte oleh kaum intoleran tadi. Mengapa demikian? Karena keadilan sosial itu adalah nilai yang bersifat universal, dan untuk merealisasikannya kita membutuhkan agensi politik yang kuat berpegang di jalan terang ini!

Baca:

Bung Anies Baswedan,

Ada cara lain untuk memperkuat dukungan kepada Anda, bahwa seni memimpin bagi seorang pemimpin yang memiliki public virtue, keadaban publik dilihat dari kapasitas dan kemampuannya untuk mengelola sumber daya yang ada untuk pemenuhan visi dan prinsip-prinsip yang ia yakini sebagai sebuah prinsip kebaikan bersama. Pemimpin berkarakter republik memiliki kemampuan persuasi untuk mengajak dialog, untuk mengingatkan dan meluruskan yang keliru dan tidak benar sehingga para pendukung kita menginsafi secara penuh bahwa kita tengah membangun Indonesia.

Politik bukan hanya soal kepentingan dan cara memenuhinya. Di dalam politik ada seni berpolitik atau seni memimpin, the art of politics, the art of leadership! Mengapa saya bilang itu semua adalah seni, karena di dalam politik manusia tidak terpenjara dalam kondisi, namun juga di dalamnya politik adalah aksi yang lahir dari kesadaran manusia, kesadaran manusia untuk mencipta sesuatu yang baru, kesadaran manusia dalam proses penciptaan realitas dibangun melalui keinsafan akan nilai-nilai kemanusiaan yang merawat hidup bersama. Di dalam politik, manusia adalah agensi yang tidak sekadar menjadi Pak Turut dari keadaan, apalagi sentimen-sentimen kebencian. Di dalam politik, manusia adalah kreator penggubah kehidupan!

Bung Anies Baswedan yang saya hormati,

Dengan cara membiarkan wacana intoleransi maupun sentimen kebencian menyeruak di kota Jakarta; dengan membiarkan pembelahan antagonism kultural dibangun melalui pemilahan Muslim, kafir, dan munafikin, maka Anda tidak sedang memperjuangkan aspirasi dari orang-orang miskin dan marjinal. Di tengah krisis sosial-ekonomi yang melanda tidak saja lapisan kalangan miskin tapi juga mengancam proses pemiskinan sosial dari kalangan kelas menengah, yang mereka pegang saat ini hanyalah iman dan agama tempat bagi mereka berharap.

Sadarkah Anda ketika iman dan agama yang satu-satunya tempat mereka berpegang ini dimanipulasi oleh suara-suara kebencian, maka aliansi sosial-politik yang mendukung Anda tengah merenggut satu-satunya yang masih dimiliki oleh orang miskin dan yang tengah dimiskinkan itu. Mari kita renungkan bersama soal ini.

Renungkanlah dengan baik, sayangilah jejak langkah yang selama ini membawa Anda memiliki integritas yang kuat. Waktu belum selesai dan Anda masih punya waktu untuk mengoreksi langkah politik yang sudah Anda buat. Karena pada akhirnya kita dinilai dan dikenang oleh sejarah dari warisan-warisan prinsip, pikiran, dan praktik sosial yang kita semaikan pada generasi kita kedepan.

Inilah yang saya sebut dalam judul surat terbuka saya ini sebagai Harga Sebuah Integritas! Bung Anies Baswedan, masih ada uneg-uneg yang akan saya uraikan, sengaja saya simpan terlebih dahulu untuk surat kedua dari saya.

Bung Anies yang saya hormati, jaga kesehatan, kesehatan tubuh, pikiran dan hati Anda.

Merdeka!

(geotimes/gerpol)