Aroma Korupsi Depo Pertamina dan Keterlibatan Sandiaga

1096427
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Kejaksaan menyelidiki dugaan korupsi dalam pembayaran ganti rugi Depo Pertamina Balaraja. Diperkirakan negara dirugikan Rp 60 milyar. Dibumbui perseteruan dua pengusaha, Edward Soeryadjaya dan Sandiaga S. Uno.

“Tanah Milik Pertamina”. Tulisan itu terpampang di selembar papan seng persegi empat di atas lahan kosong di Desa Sumur Bandung, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang, Banten. Tak banyak yang tahu, di atas lahan 20 hektare itu akan dibangun proyek Depo Pertamina Balaraja. “Dulu di sini ada proyek pembangunan. Tapi tahun 1998, pada waktu Pak Harto (Presiden Soeharto –Red.) lengser, proyeknya berhenti. Sekarang jadi seperti ini,” ujar Umbri, seorang warga, kepada Gatra, Sabtu pekan lalu.

Baca:

Ironis. Selain pembangunannya mangkrak, proyek itu ditengarai beraroma korupsi. Nah, beberapa pekan terakhir ini, Kejaksaan Agung gencar menelisik dugaan kasus korupsinya. Kejaksaan menduga, ada penyimpangan dalam proses pembayaran ganti rugi termin pertama yang dilakukan PT Pertamina kepada PT Pandan Wangi Sekartaji (PWS). Diperkirakan, terjadi kerugian negara US$ 6,4 juta atau sekitar Rp 60 milyar.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Gatra, pada tahun lalu kejaksaan membentuk tim yang terdiri dari para jaksa bagian intelijen. Mereka ditugasi menyelidiki kasus korupsinya. Belasan orang telah memenuhi panggilan kejaksaan untuk dimintai keterangan. Antara lain dua pengusaha tersohor, Johannes Kotjo dan Edward Soeryadjaya. Sebenarnya Sandiaga S. Uno juga ikut dipanggil. Namun pengusaha muda itu enggan hadir dan hanya diwakili kuasa hukumnya.

Dari hasil penyelidikan itu, Februari lalu tim menggelar ekspose yang dipimpin Jaksa Agung Muda Intelijen, Edwin P. Situmorang. Dalam ekspose ini disepakati, kasus itu diserahkan ke bagian pidana khusus (pidsus) untuk ditelisik dugaan korupsinya. Selanjutnya, pada bulan Maret, kasus itu ditindaklanjuti bagian pidsus, dengan dikeluarkannya surat perintah yang ditandatangani Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jasman Panjaitan.

Ketika dikonfirmasi Gatra, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Noor Rachmat, membenarkan informasi itu. “Ya, pidsus sedang mendalami kasusnya,” kata Noor kepada Gatra. Menurut Noor, pada saat ini kasusnya masih dalam tahap penyelidikan sehingga belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.

*

Kasus ini bermula dari penandatanganan kontrak kerja sama proyek pembangunan dan penyewaan Depo Satelit “A” Jakarta (Depo Pertamina Balaraja) antara Pertamina dan PWS pada 29 Maret 1996. Pertamina diwakili direktur utamanya, Faisal Abda’oe. PWS juga diwakili direktur utamanya, Johnnie Hermanto. Isi perjanjian itu menyebutkan proyek ini bernilai US$ 99,9 juta. Biayanya akan menggunakan kocek PWS. Jika depo itu selesai dibangun, Pertamina akan menyewanya dari PWS selama 10 tahun.

Meski mengantongi kontrak bernilai hampir US$ 100 juta, ternyata PWS tidak punya cukup dana. PWS menggandeng Van Der Horst Limited (VDH). Perusahaan milik Johannes Kotjo ini sanggup menjadi penyandang dana. Langkah pertama yang dilakukan adalah membeli tanah. Karena uangnya berasal dari kocek VDH, pihaknya mensyaratkan sertifikat tanah diatasnamakan PT Jakarta Depo Satelit (JDS), perusahaan afiliasi VDH. Pada 1998, JDS membeli tanah 20 hektare di Desa Sumur Bandung, Cisoka, Tangerang. Terbitlah sertifikat Nomor 31/Sumur Bandung atas nama JDS.

Tanpa diduga, terjadi krisis moneter global. Proyek itu pun terkena imbasnya. Khawatir akan merugi, Pertamina meminta proyek itu dihentikan sementara. Karena kondisi makin memburuk, pada 2003 Pertamina memutuskan kontrak perjanjian dengan PWS. Pertamina bersedia membayar uang ganti rugi kepada PWS. Namun, begitu bicara nilai besaran ganti ruginya, mereka berselisih.

Lelah berselisih, pada Agustus 2006 pemilik PWS, Johnnie, menjual PWS ke VDH Teguh Sakti (dulu anak perusahaan VDH). Termasuk hak tagih PWS kepada Pertamina. Disepakati harga jualnya US$ 1,5 juta. Sebagian uang yang digunakan untuk membeli PWS diketahui berasal dari Capitalinc Finacial, perusahaan milik Sandiaga. Inilah yang menjadi dasar kejaksaan memanggil Sandiaga untuk dimintai keterangan.

Kepada Gatra, kuasa hukum Sandiaga, David Tobing, membenarkan bahwa Capitalinc memberikan uang kepada VDH Teguh Sakti untuk membeli PWS. “Karena VDH Teguh Sakti beli hak tagih secara utang, sementara Johnnie (pemilik PWS lama) butuh uang cepat. Dia menjual sebagian hak tagih itu kepada Capitalinc,” papar David. “Capitalinc sudah membayar US$ 250.000 kepada Johnnie. Sehingga Capitalinc punya hak tagih sebesar itu ke VDH Teguh Sakti,” David menambahkan.

Di tangan VDH Teguh Sakti, PWS membawa perselisihan itu ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pada 4 Oktober 2007, keluar putusan BANI yang menghukum Pertamina membayar ganti rugi kepada PWS sebesar US$ 20,1 juta. Meski sudah ada putusan BANI, Pertamina belum bersedia membayar ganti rugi itu. Negosiasi kembali dilakukan. Akhirnya Pertamina dan PWS membuat kesepakatan pembayaran ganti rugi melalui akta notaris tanggal 27 Januari 2009.

Isinya, kedua pihak sepakat bahwa besaran nilai ganti rugi itu tidak merujuk pada putusan BANI, tapi pada hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibuat pada 2003. Yakni sekitar US$ 12,8 juta. Disepakati pula, Pertamina membayarnya dalam dua termin. Termin pertama dibayar 50%, setelah PWS menyerahkan hasil pekerjaannya di luar aset tanah. Termin kedua dibayar 50%, setelah PWS menyerahkan hasil pekerjaannya berupa aset tanah.

Pertamina membayar termin pertama pada 1 Mei 2009. Sebelum membayar termin kedua, Pertamina memasang pengumuman di koran ihwal sertifikat Nomor 32/Sumur Bandung yang akan diambil alih. Pengumuman ini membuat Edward berang. Edward merasa sertifikat tanah itu masih ada dalam penguasaannya. Yakni sertifikat Nomor 31/Sumur Bandung. “Klien saya masih memegang sertifikat Nomor 31/Sumur Bandung,” ungkap kuasa hukum Edward, Avianto Pradhana.

Akibat keberatan Edward itu, Pertamina menunda pembayaran termin kedua. Nah, berawal dari ribut-ribut soal sertifikat inilah, kasus korupsinya mencuat. Kuasa hukum PWS, Arsul Sani, mengaku heran pembayaran ganti rugi itu disebut korupsi. “Korupsi harus merugikan negara. Ini putusannya US$ 20,1 juta. Tapi PWS bersedia dibayar US$ 12,8 juta. Itu kan lebih menguntungkan (negara –Red.),” kata Arsul.

Soal mekanisme pembayaran ganti rugi itu, ungkap Arsul, Pertamina yang meminta pembayaran menggunakan hasil perhitungan BPKP. Pertamina pula yang meminta agar penyerahan aset tersebut dibagi dalam dua termin. “Karena menurut mereka, tanah yang akan diserahkan itu harus jelas status hukumnya,” tutur Arsul.

Sementara itu, menurut juru bicara Pertamina, M. Harun, ketika melakukan pembayaran, Pertamina dalam kapasitas tidak mengetahui terjadi perdebatan dua sertifikat itu. “Sebetulnya iktikad kami sudah baik. Kami ingin membereskan hal itu. Tetapi ini kan yang ribut mereka berdua, antara pihak Edward Soeryadjaya dan Sandiaga Uno,” katanya. Soal dugaan korupsi, Harun menyerahkannya kepada aparat penegak hukum. “Kami simpel aja, kok, nggak repot,” ujarnya.

Ruwetnya Sertifikat Sumur Bandung
Dari mana Edward mengantongi sertifikat Nomor 31/Sumur Bandung? Kepada Gatra, Edward mengaku bahwa sertifkat itu dibeli melalui lelang. Ceritanya, pada 1998, Van Der Horst (VDH) pailit. Seluruh aset VDH, termasuk sertifikat Nomor 31/Sumur Bandung atas nama PT Jakarta Depo Satelit (JDS), dilelang. Melalui perusahaan L&M Groups Limited, Edward membeli aset itu tahun 2000. “Semenjak itu, Pak Edward menguasai sertifikat Nomor 31/Sumur Bandung,” kata juru bicara Edward, Boy Fajriska.

Boy menjelaskan, sertifikat Nomor 32/Sumur Bandung itu muncul setelah JDS mengajukan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) perihal pergantian sertifikat. JDS berdalih, sertifikat Nomor 31/Sumur Bandung hilang sejak Desember 1999. Atas permohonan itu, BPN menerbitkan sertifikat pengganti, yakni sertifikat Nomor 32/Sumur Bandung. “Ini akal-akalan JDS agar tetap dianggap sebagai pemilik tanah,” ujar Boy.

Kuasa hukum PWS, Arsul Sani, mengaku sempat meragukan sertifikat Nomor 32/Sumur Bandung yang diberikan JDS kepada kliennya itu. Namun, setelah dicek ke BPN selaku penerbit sertifikat, ternyata sertifikat Nomor 32/Sumur Bandung adalah sertifikat yang sah secara hukum. Apalagi, secara fisik, lahan itu dikuasai JDS. “Orang merasa pemilik tanah, kok, nggak pernah coba menguasai fisik tanah? Yang bayar PBB (pajak bumi dan bangunan) juga JDS. Itu logika aja,” katanya.

Sujud Dwi Pratisto dan Cavin R. Manuputty

GATRA, Edisi 33 / XVII 29 Jun 2011

(gerpol)