Bagaimana TEMPO Memframing dan Menjual Ahok

1097081
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Infografis TEMPO edisi mojokin Ahok

Apa yang kalian pikirkan ketika melihat foto di atas?

Yang jelas fokus utama tertuju pada Gubernur DKI Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tafsirnya bisa beragam.

Foto ini diambil dari majalah Tempo edisi 13 Maret 2017 halaman 38-39. Masalahnya bukan terletak pada korupsi E-KTP yang sedang dibahas.  Korupsi E-KTP jelas harus kita lawan bersama-sama. Namun di sini masalahnya terletak pada framing yang dilakukan oleh Tempo sebagai media.

Robert N. Entman, seorang analis framing, melihat framing sebagai penempatan informasi secara khas. Jadi media dengan sengaja memberi alokasi lebih besar pada isu tertentu. Bukan hanya itu, media dengan sengaja memberi tekanan pada bagian mana yang harus lebih ditonjolkan dan bagaimana hal tersebut ditampilkan dalam medianya.

Dalam hal ini, yang dilakukan Tempo jelas menonjolkan muka Ahok dan pernyataannya terkait korupsi E-KTP yang dakwaannya sedang ramai dibicarakan. Ahok jauh lebih ditonjolkan dalam halaman ini dibanding Anas Urbaningrum dan Setya Novanto.

Lagipula mengapa harus muka Ahok yang ditonjolkan begitu? Nama Ahok bahkan tidak ada dalam surat dakwaan. Mengapa tidak muka Ganjar Pranowo dan pernyataannya yang ditonjolkan demikian besar? Bukankah pernyataan Ganjar seharusnya lebih penting karena namanya memang ada dalam surat dakwaan?

Mungkin akan ada yang mengatakan: “Lho bagus dong ditonjolkan besar begitu. Kan disitu Ahok menegaskan dia tidak terima uang.”

Pendapat di atas runtuh dengan adanya daftar 37 peserta rapat komisi sepanjang 2011 yang oleh Tempo dituliskan pada halaman yang sama pula. Dalam 37 nama tersebut, ada nama “Basuki Tjahaja Purnama” pada urutan kedelapan. Padahal jelas ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan 37 anggota DPR yang diduga menerima uang. Apakah agar tidak dituduh menerima uang, mereka tidak perlu ikut rapat-rapat komisi yang sebenarnya merupakan tugas?

Ngiklan Gratis Pakai Model Ahok

Coba dipikir baik-baik. Pertama, Tempo memberi alokasi paling besar kepada Ahok dan pernyataannya di halaman tersebut. Kedua, Tempo menyebutkan 37 anggota yang ikut rapat komisi sepanjang 2011 pada halaman yang sama pula dan di kalimat sebelumnya dijelaskan bahwa ada 37 anggota DPR lainnya yang menerima uang.

Hasilnya, penggorengan isu oleh pihak-pihak yang tidak suka kepada Ahok seolah-olah Ahok adalah bagian dari 37 anggota DPR yang menerima uang. Ini bukan hanya merugikan Ahok secara pribadi tapi juga 37 nama yang tercantum disitu.

Yang menggoreng pemberitaan Tempo tidak perlu disalahkan. Mereka memang haters yang tugasnya mencari-cari kesalahan. Yang perlu dipermasalahkan jelas Tempo yang diduga secara sadar melakukan framing yang mengarahkan opini publik.

Inilah yang disebut seorang ahli komunikasi dan salah satu pencetus teori framing, Murray Edelman, sebagai kategorisasi. Kategorisasi dalam framing dapat secara tidak sadar memengaruhi kesadaran publik karena dilakukan secara halus. Bahkan Edelman menilai kategorisasi lebih bahaya dibandingkan propaganda. Sebab, kategorisasi lebih mengena ke alam bawah sadar publik. Publik tidak sadar bahwa mereka telah didikte untuk mengikuti perspektif tertentu.

Tempo memang tak menyatakan bahwa 37 nama peserta rapat komisi adalah penerima uang. Bahkan jelas tertulis di halaman tersebut bahwa mereka adalah peserta rapat komisi sepanjang tahun 2011. Tapi ditonjolkannya muka Ahok dan pernyataannya bersamaan dengan namanya di daftar 37 orang peserta rapat komisi tepat setelah kalimat terkait 37 orang anggota DPR lain yang menerima uang pada halaman yang sama jelas secara halus mengarahkan publik pada perspektif dan opini tertentu.

Lebih lucu lagi, pada halaman 6 di edisi yang sama, Tempo memasang iklan koran dengan edisi koran yang membahas tentang usutan Rp 30 Milliar ke Teman Ahok. Lagi-lagi, muka Ahok yang terpampang begitu besar.

Apakah Tempo memang sengaja melakukan framing atau ini semua hanya kebetulan saja? Tentu hanya Tempo yang tau. Tapi kalau mendasarkan pada analisis framing di atas, sangat mungkin Tempo melakukan framing. Lagipula, mungkinkah media sekelas Tempo menulis isi majalah secara kebetulan?

Track record Tempo terhadap Ahok juga dapat menjadi alasan kuat kecurigaan. Dewan Pers pada tahun 2016 lalu pernah memutuskan bahwa dua berita Tempo dengan judul “KPK Usut Rp 30 Milyar ke Teman Ahok” dan “Staf Ahok Disebut Sebagai Perantara Uang Pengembang” melanggar kode etik jurnalistik karena opini yang menghakimi dan tidak akurat.

Tempo seperti memiliki obsesi untuk terus menulis tentang Ahok dan kaitannya dengan kasus-kasus tertentu. Maka tak heran jika ada dugaan kuat bahwa Tempo dengan sengaja melakukan framing terhadap Ahok.

Lalu apa langkah selanjutnya? Melaporkan Tempo ke Dewan Pers? Menggugatnya? Ah tak perlu. Cukup ditertawakan saja.

Tsamara Amany

Sumber:

– Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.  Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

–  Surat Keputusan Dewan Pers no 29/PPR-DP/VIII/2016

(qureta/gerpol)