Bahtsul Masail Ansor NU: Pendapat Wajib Memilih Pemimpin Muslim dan Boleh Memilih Pemimpin Non Muslim Sama-Sama Memiliki Landasan dalam Hukum Islam

500149
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Ansor Satu, Gus Tutut

RILIS PERS
HALAQAH BAHTSUL MASAIL KIAI MUDA
PIMPINAN PUSAT GERAKAN PEMUDA ANSOR
“KEPEMIMPINAN NON MUSLIM DI INDONESIA”

Sehubungan dengan tren kehidupan keagamaan di Indonesia ini yang menunjukkan adanya gejala yang semakin intoleran dan menafikan kelompok lain, kami Pimpinan Pusat
Gerakan Pemuda Ansor merasa perlu untuk membahas tema kepemimpinan non-Muslim di
Indonesia dalam Halaqah Bahtsul Masail yang diselenggarakan secara rutin.

Pilihan tema kali ini semata-mata karena kami meyakini bahwa Islam dan Indonesia itu suatu hal yang tidak bisa dipertentangkan dengan dalih apapun, termasuk kepentingan politik.

Tema kali ini juga sebagai respon atas kegelisahan Gerakan Pemuda Ansor ketika melihat Islam dipolitisasi sedemikian berlebihan dan menghakimi pihak yang berbeda preferensi politiknya sebagai bukan Islam.

Lebih parah lagi, kegelisahan dan kekhawatiran yang kami rasakan ini muncul setelah melihat potret kontestasi politik di Jakarta tidak terkontrol dan cenderung ganas, dan bukan tidak
mungkin dapat menyebar di daerah lain.

Kecenderungan intoleransi sesama umat Islam semakin kasat mata dan tergambar dengan adanya spanduk di sejumlah masjid yang tidak menerima
pengurusan jenazah Muslim bagi pemilih dan pendukung calon pemimpin non-Muslim.

Oleh karena itu, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor menyatakan beberapa hal berikut:

1. Mengenai prinsip berbangsa dan bernegara, kami memandang bahwa dengan diterimanya NKRI, UUD 1945 dan Pancasila sebagai sebuah kesepakatan para pendiri bangsa, yang salah satunya adalah tokoh NU KH. Wahid Hasyim, maka sebagai warga NU, kami
menerima sistem bernegara dan berbangsa dalam bingkai NKRI. Dan karena itu, produk turunan dari konsititusi itu sah dan mengikat bagi warga NU dan tentunya warga Indonesia pada umumnya.

2. Tentang terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik, berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah. Dengan demikian keterpilihannya untuk mengemban amanah kenegaraan adalah juga sah dan mengikat,
baik secara konstitusi maupun secara agama.

3. Sebagai warga negara yang beragama (dalam ranah pribadi) boleh memilih atau tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin formal pemerintahan. Karena kami melihat, hal ini sebagai persoalan yang masih dalam tataran khilafiyah (debatable), sehingga masing-
masing pandangan yang menyatakan wajib memilih Muslim maupun boleh memilih non-Muslim sebagai kepala pemerintahan memiliki landasan dalam hukum Islam.

4. Karena itu, Halaqah Bahtsul Masail Kiai Muda GP Ansor menghimbau kepada umat
Islam di Indonesia untuk meredakan ketegangan pada setiap kontestasi politik, karena
hal tersebut dapat berpotensi memecah belah umat Islam dan NKRI. Dengan demikian,
siapapun yang setuju atau tidak setuju, memiliki landasan hukum agama (fiqh) yang
dapat dibenarkan. Namun dalam hal khilafiyah (debatable) hendaknya masing-masing
tetap memegang teguh etika amar makruf dan tata krama perbedaan pendapat.

5. Menyikapi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dimana muncul pandangan sebagian kelompok untuk tidak mensholatkan jenazah lawan politik, GP Ansor berpendapat bahwa ini merupakan cerminan sikap yang tidak Islami juga tidak Indonesianis. Bagi GP Ansor, setiap jenazah Muslim tetap wajib disholatkan. Untuk itu jika tindakan seperti ini terus berlanjut, GP Ansor menyediakan diri untuk mensholatkan jenazah tersebut, termasuk mentahlilkan selama 40 hari.

H. YAQUT CHOLIL QOUMAS
Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor

(gerpol)