Bapak Angkat Cerita Pengkhianatan Sandiaga Uno

1012814
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Sandiaga Cium Tangan Tengku Zulkarnain, Manusia Rasis

Edward Seky Soeryadjaya adalah orang yang spontan, blak-blakan. Tapi, ketika berbicara soal kasus penipuan dan penggelapan sertifikat tanah lokasi proyek Depot BBM Pertamina Balaraja, dia seperti ogah-ogahan. Putra tertua mendiang William Soeryadjaya, pendiri Grup Astra, itu seolah menyimpan unek-unek yang dalam seputar masalah ini. Rupanya, ujar Edward, ia kerap tak habis pikir jika perkara depot BBM ini bisa menjadi masalah besar. Apalagi, ia kemudian harus berurusan hukum dengan Sandiaga Uno, yang dulu menjadi orang kepercayaannnya sendiri. Berikut wawancara dengan Edward Soeryadjaya.

Baca Juga:

Berikut ini adalah hasil wawancara wartawan rmol.com dengan Edward Seky Soeyadjaya, disini Edwar menceritakan bagaimana Sandiaga Uno gelap mata karena uang dn akhirnya mengkhianati orang yang telah mengurus dan menyekolahkannya.

Nama Anda disebut-sebut dalam perkara pemalsuan dan penggelapan sertifikat tanah proyek Depot BBM Pertamina di Balaraja. Sebenarnya, apa yang terjadi?

Semua ini bermula dari lelang sebuah perusahaan bernama Van Der Horst Limited di Singapura, pada sekitar tahun 2000. Saya memenangkan lelang itu, melalui perusahaan saya L&M Group Investments Limited. Setelah menang lelang, saya mendapat budel asset Van Der Horst Limited. Nah, dalam budel itu, termasuk ada sertifikat tanah HGB nomor 031 yang berlokasi di Balaraja, Tangerang. Tanah itu adalah lokasi proyek Depot BBM Pertamina yang belum jadi dibangun. Belakangan saya tahu, sertifikat 031 ada pada budel Van Der Horst Limited karena PT Pandanwangi Sekartaji (PWS), yang menjadi mitra Pertamina dalam pembangunan depot itu, meminjam uang pembiayaan proyek ke Van Der Horst Limited. Dengan kata lain pada waktu itu, mereka menjaminkan sertifikat tersebut.

Belakangan, PWS meminta ganti rugi ke Pertamina karena proyek depot tadi tidak diteruskan pembangunannya oleh PWS. Dengan dilandasi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Pertamina akhirnya mau membayar ganti rugi pembatalan proyek, asalkan kelengkapan proyek termasuk surat-surat sesuai putusan BANI tersebut dan sertifikat HGB tanah diserahkan ke Pertamina. Ternyata, belakangan diketahui, PWS hanya menguasai sertifikat lain, yaitu sertifikat HGB nomor 032, yang merupakan sertifikat pengganti HGB nomor 31, yang dilaporkan hilang. Sertifikat itulah (HGB no. 32) yang akan diserahkan ke Pertamina. Saya mengetahui hal itu setelah dua kali membaca iklan Pengumuman Pertamina di koran Kompas, saya lupa tanggalnya, bulan Mei dan Juni 2009. Setelah membaca dan mengetahui hal itu bahwa sertifikat 032 tidak sah, maka saya menulis kepada Pertamina menjelaskan keberadaan sertifikat HGB nomor 031.

Kenapa ada sertifikat HGB nomor 032?

Tadinya saya tidak tahu. Saya baru tahu belakangan, setelah membaca iklan Pengumuman Pertamina di koran itu. Ternyata belakangan saya ketahui, ada sebuah perusahaan bernama PT Jakarta Depot Satelit (JDS), yang katanya akan menjadi kontraktor pembangunan Depot BBM di Balaraja, yang telah melapor ke polisi, yaitu Polsek di Tangerang, bahwa sertifikat HGB nomor 031 itu hilang. Yang melapor bernama Dino Sudrajat, direktur JDS saat itu. Atas laporan kehilangan tersebut, terbitlah sertifikat HGB nomor 032.

Kok bisa semudah itu?

Saya juga tidak tahu. Yang jelas, setelah saya menyatakan bahwa sertifikat 031 ada pada saya, mereka kelabakan. Setelah itu, Dino Sudrajat kembali melapor ke polisi, kali ini ke Polda Metro Jaya, mengadukan kalau saya mencuri sertifikat HGB nomor 31 itu. Tidak tahunya, polisi yang menerima laporan Dino kebetulan adalah polisi yang sama dengan yang dilaporinya soal kehilangan sertifikat HGB no. 31 itu beberapa tahun sebelumnya. Tentu saja polisi itu bingung. Lucunya, sewaktu ditanya sang polisi, Dino juga mengaku belum pernah melihat sertifikat HGB no. 31 itu, apalagi memegangnya. Tapi tetap saya diproses, sebagai terlapor. Akhirnya, kasus itu ditutup, SP-3, karena memang tidak pernah ada pencurian atau penggelapan atas sertifikat HGB 31 yang saya kuasai itu. Belakangan, Dino Sudrajat meninggal dunia.

Kenapa kemudian PWS dimiliki Sandiaga Uno dan Anda seolah berhadapan dengan Sandiaga?

Sandi (Sandiaga Uno, red) itu anak saya. Saya sungguh tidak nyaman jika dihadap-hadapkan dengan Sandi. Sandi itu pertama kali bekerja di tempat saya. Saya menyekolahkannya ke Amerika dan saya juga bahkan terlibat dalam pernikahannya. Dia anak yang cerdas. Bahkan, dia yang pertama kali tahu ada berkas sertifikat tanah (HGB nomor 31) dalam budel Van Der Horst Limited. Waktu itu, dia masih bekerja untuk saya dan Sandi saya serahkan menjadi penanggung jawab atas asset yang saya peroleh dari hasil lelang Van Der Horst Limited di Singapura. Kemudian belakangan, tepatnya ditahun 2006, Sandi melalui perusahaannya sendiri membeli PWS dari pemilik lamanya, Johnnie Hermanto. Tetapi walaupun sudah menerima pembayaran dari Pertamina sebesar USD 6,4 juta, Johnnie Hermanto belum dilunasinya, baru bayar 40%. Dalam kegiatan yang ini, menurut Sandi dilakukan tidak terkait dengan keluarga Soeryadjaya. Yang saya sayangkan, kenapa Sandi seolah gelap mata demi mendapatkan uang ganti rugi US$ 12,8 juta (sekitar Rp 110 miliar) dari Pertamina. Sayang sekali.

Gelap mata bagaimana?

Sandi saya yakin mengetahui, sertifikat HGB no. 031 itu ada pada saya. Pada tahun 2000, pemilik lama Van Der Horst Limited yang ternyata masih menguasai JDS, pernah menulis dan meminta sertifikat HGB no. 31 itu kepada kami. Sandi yang waktu itu masih bekerja untuk saya, yang menjawab surat tersebut dan menyatakan bahwa sertifikat HGB no. 031 bisa diberikan jika utang-utang pemilik lama Van der Horst Limited kepada kami diselesaikan. Jadi, dia tahu bahwa Sertifikat HGB 031 itu ada pada saya. Sayang sekali, kenapa selanjutnya dia harus memaksakan Sertifikat HGB no. 032 itu sebagai dasar untuk memperoleh ganti rugi ke Pertamina. Itu sertifikat yang tidak sah, bisa melanggar hukum nantinya.

Katanya, sertifikat HGB no. 031 tidak pernah bisa Anda perlihatkan?

Siapa bilang? Sertifikat itu ada. Sewaktu saya diproses di Polda dulu itu, saya tunjukan ke penyidik. Saya juga punya salinannya yang dilegalisasi oleh BPN (Badan Pertanahan Tangerang). Saya jamin, sertifikat 031 ada pada saya.

Anda tidak bernegosiasi dengan pihak Sandiaga?

Saya ini orang tua, masa saya tidak mau bicara baik-baik? Semua sudah dicoba dan akan terus dicoba agar semua pihak bisa memahami duduk perkara ini dengan benar dan mau berlaku proporsional. Disisi lain proses hukum sudah berjalan, itu juga harus kita hormati.

Kabarnya, Anda dikalahkan di MA dalam perkara ini?

Begini, soal gugatan atas sertifikat HGB no. 032 itu, saya menggugat BPN Tangerang di PTUN di Bandung agar BPN membatalkan keberadaan HGB no. 032. Di tengah perjalanan, muncul gugatan intervensi kepada saya dari JDS. Saat itu, di PTUN Bandung saya dimenangkan. Sertifikat HGB 031 dinyatakan sah dan berharga dan sertifikat HGB no. 032 dinyatakan cacat hukum.

Pihak JDS lalu mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi TUN di Jakarta. Putusannya, saya dinyatakan tidak memiliki legal standing (kedudukan) untuk berperkara dalam soal sertifikat ini. Saya lalu mengajukan kasasi, tapi ditolak. Jadi, putusan Pengadilan Tinggi TUN dan MA hanya menyatakan saya tidak punya legal standing (kedudukan) untuk menggugat. Soal pokok perkara, yaitu keaslian sertifikat HGB 031 seperti dinyatakan pengadilan TUN di Bandung — tidak pernah diuji oleh PT TUN atau MA karena para pihaknya dianggap masih harus membuktikan legal standing-nya sebagai pihak. Selain itu tahun lalu, JDS juga menggugat saya ke PN Jakarta Pusat. Ternyata dalam perkara ini malahan, PN Jakarta Pusat dalam putusannya tetap menyatakan keberadaan sertifikat HGB no. 031 ditangan saya sebagai jaminan (atas adanya hutang piutang) adalah sah. Salah satu yang menjadi pertimbangan hukum majelis hakim saat itu adalah bahwa sertifikat tanah sebagai jaminan adalah dimungkinkan. Sedangkan gugatan JDS ditolak seluruhnya.

(rmol/gerpol)