Benarkah Jakarta Telah Jatuh Ke tangan Kaum Intoleran?

1410
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Anies Rizieq Tenung Kebangsatan

Tiap menjelang pemilukada maupun pilpres, sektarianisme mencuat ke permukaan publik. Ini pula yang terjadi menjelang pemilukada DKI Jakarta beberapa hari lalu. Masyarakat terbelah menjadi beberapa kelompok yang saling berhadap-hadapan yang dapat memicu konflik horizontal. Pada pemilukada DKI Jakarta itu, bahkan label kafir pada kaum muslim yang mendukung Ahok pun semburat menjadi hal yang lumrah. Gejala ini seperti telah menjadi siklus yang timbul tiap menjelang pemilukada dan akan surut ketika pemilukada usai.

Sayangnya persoalan politik sektarianisme tak sesederhana itu. Sesungguhnya ia tampil ke permukaan sekaligus dengan menenggelamkan aspek yang lebih fundamental dalam politik, yakni pertarungan agenda programatik tiap calon. Perdebatan penting ini tersuruk oleh menyeruaknya caci maki antar pendukung dan fanatisme pada figur yang didukungnya, yang sama-sama tidak berdasar pada kerangka pandang ideologis. Tak hanya itu, perseteruan seputar pemilukada juga telah menyeret kalangan pro demokrasi pada perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan melihat persoalan. Khusus dalam kasus pemilukada Jakarta, mereka terbelah dalam mendudukkan persoalan identitas dan keadilan sosial. Apakah memenangkan Ahok dengan dalih demi membela keragaman dan melawan sektarianisme atau menolak Ahok dengan dalih demi perjuangan keadilan sosial, atau posisi ketiga, tidak mendukung keduanya, baik Ahok maupun Anis yang berarti golput, karena keduanya dianggap tidak merepresentasikan kepentingan politik rakyat.

Kalangan kelas menengah liberal memilih berada di kubu Ahok dengan alasan menyelamatkan keragaman sembari tutup mata atas berbagai kebijakan Ahok yang telah menyingkirkan kelas bawah. Warga kelas bawah, termasuk di dalamnya warga korban gusuran, memilih berspekulasi mendukung Anis yang dibayangkan akan bersikap adil pada mereka, sembari menutup mata pada persoalan sektarianisme. Sementara kalangan kiri, kalaupun ada, seperti biasanya memilih absen alias golput. Anehnya semua pihak saling menuding naif atas pilihan politik masing-masing.

Kita tunda dulu membahas masalah kenaifan ini.

Ada persoalan lain yang kita lupakan dalam perdebatan seputar politik sektarianisme dan keadilan sosial bagi masyarakat kelas bawah, yakni pertanyaan mengapa kota yang seharusnya memancarkan kosmopolitanisme sebagai prasyarat membangun keadaban justru tak muncul di DKI Jakarta? Apakah ungkapan ancaman dan suara kebencian atas yang lain sebagai gejala penyakit yang dimungkinkan oleh berbagai aspek yang saling kait kelindan, atau memang penyakit itu sendiri? Atau mudahnya begini, demam di tubuh kita sesungguhnya gejala di permukaan atau penyakit itu sendiri? Jika gejala, kemudian apa penyakit sesungguhnya? Pertanyaan ini terdengar mudah namun sesungguhnya sulit dicari jawabannya yang kokoh dan pasti.

Meski demikian, saya sendiri melihat kekerasan dan ujaran kebencian dalam politik sektarian hanyalah gejala dari sebuah penyakit yang terhibernasi lama yang diwariskan oleh rezim otoriter Orde Baru. Suatu kekerasan yang muncul dari akumulasi kekecewaan dan kebuntuan kran politik maupun birokrasi yang membatin dalam kesadaran masyarakat, sehingga kekerasan itu sendiri menjadi lumrah terjadi di hampir semua aspek kehidupan, mulai ranah domestik hingga publik. Sebab terbentur kebuntuan kran politik dan birokrasi, semua orang mencari jalan penyelesainnya sendiri-sendiri secara serampangan. Penggusuran Kampung Pulo dan Nelayan teluk Jakarta oleh Ahok, dan ujaran kebencian Rizieq Shihab, merupakan cerminan itu semua. Pada derajat tertentu bobotnya sama: mengumbar kekerasan.

Kekeliruan Memahami Islam Politik

Jika kita petakan dengan sederhana, setidaknya ada dua hal yang bagi saya perlu dikoreksi bersama dalam perdebatan politik sektarianisme di seputar pemilukada jakarta. Pertama, salah kaprah di seputar terminologi Islam radikal. Kedua, kekeliruan melihat Islam Politik yang dilabeli radikal sebagai entitas tunggal, serta mempunyai orientasi politik yang sama.

Kedua hal ini pada dasarnya muncul dari situai konkrit-objektif di Jakarta menjelang dan sesudah pemilukada, sebagaimana kita saksikan.

Seperti sudah kita tahu, yang dimaksud radikal (dari kata radix = akar/sumber asali) di DKI Jakarta adalah FPI. Saya secara pribadi cukup gelisah dengan terminologi Islam radikal yang terus direproduksi, baik di lingkungan akademis maupun publik luas, nyaris tanpa kritik. Entah siapa yang mulanya memakai terminologi ini, tapi yang jelas dalam banyak kajian Islam, sosial dan politik di Indonesia, terminologi ini kerap dipakai dan dibayangkan telah terang dengan sendirinya. Akibatnya, kata sifat radikal yang bermakna positif sebagai prasyarat berpikir ilmiah dan ketat menjadi negatif. Kata radikal yang luhur sebagai bentuk sikap politik tanpa kompromi dalam memperjuangkan keadilan menjadi terjatuh sebatas olok-olok murahan. Justru dengan berpikir secara radikal lah seseorang tak akan terjatuh menjadi kaum ekstrimis yang dengan mudah mengobarkan kekerasan, karena mampu membaca persoalan dengan jernih. Kegagalan berpikir radikal inilah penyebab utama —entah yang beragama, agnostik, maupun ateis, entah yang kiri maupun yang liberal— terjatuh pada simplifikasi dan kesewenang-wenangan yang brutal.

Mengikuti Deepa Kumar, saya lebih tertarik menyebut tendensi Islam yang berorientasi pada pendirian kekuasaan Islam sebagai Islam Politik, yaitu sejenis Islam yang dimensi keberislamannya tunggal: kekuasaan. Mereka percaya bahwa hanya melalui perjuangan politik, atau perebutan kekuasaan di tangan kaum muslim, Islam bisa ditegakkan secara paripurna (kaffah) sebagai tuntunan hidup yang total, yang mengatur segala hal.

Dari kekeliruan terminologis menyebut Islam Politik sebagai Islam radikal, merembet pada simplifikasi lainnya, melihat Islam politik sebagai entitas tunggal. Maka tak aneh, ungkapan FPI sebagai sama dengan Wahabi, berhamburan di media sosial. Bahkan ada yang dengan percaya diri menganggap FPI sebagai gerakan anti negara dan hendak mengubah haluan negara menjadi khilafah Islam.

Untuk mengurainya, terpaksa kita harus mundur ke belakang melihat sekilas sejarah terjadinya atau lahirnya sekte-sekte teologi dalam Islam. Namun untuk kebutuhan menganalisa jenis kelamin teologis FPI, kita tak akan membahas secara rinci perdebatan teologis dalam Islam, cukup membatasinya pada perbedaan khawarij dan Sunni saja.

Seperti agama pada umumnya, Islam sejak masa-masa awal pembentukannya telah terpecah menjadi beberapa golongan atau sekte (firqah) dalam masalah teologi atau akidah, yang bertahan hingga sekarang.[1] Menariknya, kemunculan persoalan perpecahan teologi dalam Islam, pertama-tama bukan dipicu oleh perdebatan teologi itu sendiri, melainkan sebab persoalan politik,[2] menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan, khalifah ketiga, yang berujung pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, pengganti Utsman. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib berujung pada peristiwa perang Shiffin yang menghasilkan keputusan tahkim (arbitrase).

Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin al-Ash, delegasi dari pihak Muawiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian pasukannya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. ‘La hukma illa lillah’ (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) demikian semboyan mereka. Dari sini, sebagian pasukan Ali yang tak setuju dengan putusan Ali, memandang Ali telah berbuat salah karena meninggalkan hukum Allah dengan menerima arbitrase. Sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, sikap kelompok yang keluar dari barisan Ali ini kelak dikenal sebagai kaum khawarij, yaitu mereka yang keluar dan memisahkan diri atau secerders.[3]

Di luar pasukan yang keluar dari barisan Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai kaum Syi’ah, yang secara harfiah berarti partai. Menurut W. Montgomery Watt, Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah itu. Ketika Ali menerima arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua: satu kelompok mendukung sikap Ali, yaitu kaum Syi’ah, dan kelompok lain yang menolak sikap Ali, yaitu kaum Khawarij.[4]

Dari sanalah, persoalan teologi yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij, sebagaimana yang telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, adalah kafir berdasarkan firman Allah pada Q.S al-Maidah ayat 44.

Persoalan itu telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu pertama, aliran Khawarij, yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau murtad, dan wajib dibunuh.[5] Kedua, aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni dan menghukumnya. Ketiga, aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi aliran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dikenal dengan istilah al-manzilah baina al-manzilatain (posisi di atara dua posisi). Selanjutnya, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah (aktifisme) dan Jabariyah (pasifisme). Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, sedangkan Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.

Singkatnya, kelompok Islam yang oleh para penstudi Islam seringkali secara serampangan disebut sebagai radikal ini secara teologis dikelompokkan sebagai khawarij. Iman dalam pandangan mereka tak hanya sekedar percaya pada Allah, tapi meliputi segala perintah Allah (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian kaum muslim yang menyatakan percaya Allah dan Muhammad sebagai rasulnya, tanpa menjalankan perintah-perintah Allah, termasuk dalam hal kekuasaan, bagi kaum Khawarij dianggap kafir.[6] Kaum khawarij sendiri dalam sejarahnya tidak tunggal. Terdapat beberapa sekte di dalamnya.[7]

Meski aliran-aliran seperti Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah tidak terlembagakan lagi seperti Asy’ariyah (Sunni) dan Syiah, tapi tendensi pemikirannya masih tetap ada hingga sekarang. Maka seringkali pemikiran pembaruan Islam yang berciri demonstratif-rasional disebut sebagai neo-Muktazilah. Pemikir seperti Jamaludin al-Afghani dan muridnya Muhammad Abduh yang menyerukan pembaruan dan perubahan Islam selain Pan-Islamisme, seringkali dianggap sebagai neo-Muktazilah. Bahkan pada tahun 1899, ketika ditunjuk dan diangkat menjadi mufti Mesir, Abduh memelopori reformasi peradilan di Mesir. Ia melakukan reinterpretasi terhadap hukum Islam dalam konteks kondisi modern. Melalui kebijakan-kebijakannya yang progresif, khotbah-khotbah, dan tulisan opini , ia menjadi pahlawan bagi perjuangan reformasi yang memberi pengaruh besar pada generasi-generasi sesudahnya, yang menyebabkan dirinya dijuluki sebagai “Father of Islamic Modern” (Bapak Pembaruan Islam).[8] Atau pemikir seperti Harun Nasution di Indonesia, oleh banyak kalangan konservatif dianggap sebagai tokoh neo-Muktazilah yang hendak menyusupkan paham Muktazilah di IAIN (sekarang UIN).

Demikian pula dengan khawarij, yang juga seringkali disebut sebagai ‘Manhaj al-Hakimiyyah’, ia tak pernah sungguh-sungguh mati. Sehingga menganggap kecenderungan ekstrimisme dalam Islam sebagai neo-Khawarij tak sepenuhnya keliru, karena memiliki gejala-gejala yang secara teologis nyaris sama dengan Khawarij di masa-masa awal Islam.

Banyak sejarawan dan peneliti gerakan Islam menganggap bahwa khawarijme bangkit kembali secara massif-agresif melalui paham wahabi yang dibawa oleh Abdullah bin Wahab yang berkolaborasi dengan Muhammad bin Sa’ud untuk menjadikan wahabisme sebagai paham kerajaan Saudi Arabia, setelah dipersatukannya Hijaz dan Nejd menjadi imperium Saudi Arabia. Gerakan wahabi awal yang biasa disebut dengan gerakan al-Muwahhidun ini menjadi fondasi bagi berdirinya negara Saudi Arabia. Oleh kesultanan Ottoman, gerakan agama + politik hasil kolaborasi Abdullah bin Wahab dan Muhammad bin Sa’ud ini dianggap membahayakan stabilitas politik Ottoman, sehingga gerakan tersebut dijuluki dengan Gerakan neo-khawarij atau Khawarij masa kini (Khawarij hadza al-‘ashr).

Disinilah, saya kira, letak kesembronoan banyak pihak yang menganggap Islam Politik sebagai entitas tunggal. Adalah kesalahan fatal menganggap FPI sebagai neo-Khawarij atau wahabi yang memiliki orientasi pada pembentukan pemerintahan Islam yang sama dengan Ikhwanul Muslimin[9], atau hendak membangun kekhalifahan Islam seperti HTI. FPI secara teologis adalah Asy’ariyah (Sunni) yang secara tradisi sama dengan NU.[10] Keliru juga menganggap bahwa pelaku intoleran dan punya kecenderungan ekstrimis adalah otomatis Islam Politik. Para pembakar perkampungan warga Syiah di Sampang Madura, bukanlah kaum neo-Khawarij, melainkan Sunni yang berafiliasi pada NU. kalau kita amati dengan jeli, tiap aliran dalam Islam atau lebih khusus dalam Islam Politik, mempunyai kadar kekentalan fanatisme yang berbeda-beda. Kadang dalam aspek tertentu mereka bisa bertemu dan dalam aspek lain saling bermusuhan.

Jadi, sulit kita bayangkan, FPI, Ikhwanul Muslimin, HTI, Jama’ah Islamiyah, atau ISIS duduk dalam satu kursi merencanakan aksi merebut kekuasaan dan menggulingkan fondasi negara. FPI, sama dengan NU, ziarah kubur, memuja para wali dan habaib, yang dianggap bid’ah atau menyimpang oleh Ikhwanul Muslimin, HTI, Jama’ah Islamiyah apalagi ISIS. Bahkan, Ikhwanul Muslimin dan HTI juga saling bermusuhan. Kalau kita prosentase kekentalan kadar intoleransi dan ekstrimisme di antara kelompok tersebut, FPI paling encer. Ia tak ubahnya kelompok vigilante lainnya semacam Pemuda Pancasila. Jika Pemuda Pancasila jualan nasionalisme NKRI Harga Mati!, FPI jualan Islam. Kalau pun FPI punya orientasi politik sendiri, paling banter hanya akan memperjuangkan Piagam Jakarta dan tak akan mau masuk dalam aliansi kekhalifahan Islam sebagaimana imajinasi politik HTI. Seandainya, kalau sampai HTI, Ikhwanul Muslimin, atau ISIS yang dominan di Indonesia, maka bisa dipastikan FPI akan dilibas oleh salah satu di antara mereka.

Sekali lagi, FPI yang sekarang dominan di DKI Jakarta, fungsinya sama dengan Pemuda Pancasila atau milisi lainnya di Indonesia, yakni sebagai pelumas kekuasaan oligarki dan tak memiliki orientasi politik mandiri semacam Ikhwanul Muslimin, atau HTI. Jika pernah kita dengar Pemuda Pancasila bentrok dengan FPI, bukan karena persoalan ideologis, tapi karena semata-mata tuannya berbeda. Bahkan, mereka yang mempunyai orientasi politik mandiri saja seringkali tanpa mereka sadari hanya menjadi sebatas boneka kapital yang jauh lebih besar di belakangnya, yang satu sama lain diskemakan untuk saling berhadap-hadapan dalam pertumpahan darah.

Perlunya Menafsir Ulang Inklusifisme dan Multikulturalisme

Banyak kalangan, khususnya kelas menengah liberal, menganggap kekalahan Ahok sebagai kekalahan toleransi, multikulturalisme dan pluralisme dan merupakan kemenangan kaum intoleran. Apakah benar demikian?

Rupanya, dari kesembronoan yang satu terbit kesembronoan lainnya, menganggap Ahok sebagai simbol keragaman dan toleransi. Memang kampanye Anis-Sandi menggunakan isu primodial-sektarian yang sangat menjijikkan dan berpotensi besar menyuburkan ekstrimisme beragama, tapi dengan ini tidak serta merta Ahok merupakan simbol multikulturalisme jika kita melihatnya dari perspektif kelas.

Spekulasi melihat gejala intoleransi di Jakarta tanpa melihat profil teologis dan sosiologis para aktor, serta relasi kuasa pelaku intoleran tak ubahnya histeria massal dalam salah satu episode film Spongebob. Hanya gara-gara tak mampu memahami kupu-kupu yang aneh dan tak dikenali sebelumnya, warga kota Bikini Bottom secara serampangan menganggapnya sebagai monster yang akan mengancam kota mereka. Alih-alih menggali informasi mengenai makhluk aneh tersebut dan mencari cara penanggulangannya, warga kota Bikini Bottom lebih percaya pada desas-desus, yang justru menggiring mereka pada kepanikan massal yang menyebabkan terjadinya huru-hara sosial. Sebagaimana kita tahu, di akhir episode, Sendy, si tupai yang hidup di kota dalam air bernama Bikini Bottom, yang menangkap kupu-kupu tersebut dan memperlakukannya sebagai hiburan.

Inilah kiranya, gambaran kelas menengah liberal kita hari ini, yang secara serampangan menganggap Islam Politik sebagai tunggal dan secara hiperbolik mengatakan Jakarta telah jatuh ke tangan kaum intoleran. Kondisi Jakarta gawat iya! Tapi apa sebabnya? Persis seperti pertanyaan di awal, mengapa Jakarta menjadi sedemikian? Mengapa warga kota yang seharusnya kosmopolit justru gampang dihasut oleh politik sektarian?

Sepertinya perlu kita uji kembali apa yag disebut dengan toleran dan intoleran di sini. Apakah ini juga hendak mengatakan bahwa penggusuran Ahok sebagai perilaku mengobarkan kekerasan dan anti keragaman, dengan hendak menciptakan Jakarta untuk kelas menengah saja? Jika tidak, saya kira perlu kita koreksi batok kepala kita sebelum menjejalinya dengan banyak teori, yang ujungnya menjadi sekadar tumpukan sampah.

Parahnya lagi, seringkali kelas menengah liberal menumpahkan keluh kesah dan kekesalan atas kekalahan Ahok dengan menuntut pertanggungjawaban pada kelompok kiri, yang kerap kali di musim pemilukada tiba hanya mampu menyerukan golput. Siapakah kiri ini sebenarnya? Kalaupun kiri itu ada di Jakarta dan menyerukan golput, seberapa kuat resonansinya? Paling banter hanya bergema di kos-kosan kumuh kelas kere sekular saja. Atau kontrakan mahasiswa-mahasiswa perantauan yang tak ber KTP Jakarta. Tak akan menembus majelis-majelis pengajian yang menjamur di hampir tiap kampung di Jakarta. Justru kemenangan politik sektarianisme menunjukkan krisis di jantung Islam liberal atau Islam demokrat perkotaan yang gagal menginjeksikan gagasannya ke basis kampung di Jakarta. Islam model ini adalah model Islam manja, berjarak, Islam tipe asyik, Islam ber-AC, dan Islam rasa donor. Semakin kalian kutuk ibu-ibu di gang-gang kampung Jakarta yang kalian anggap naif keberagamaannya, makin kalian hindari pergumulan sehari-hari dengan ibu-ibu pengajian, makin kalian suburkan ekstrimisme pada ranah identitas atau suprastruktur di Jakarta. Persis seperti kalian tumpahkan bensin agar lebih cepat terbakar.

Majelis pengajian tak bisa dipungkiri telah menjadi semacam defence mechanism ala Freudian, atau kohesi sosial kalangan bawah di perkotaan seperti Jakarta dari gempuran pembangunan. Mereka menemukan dan menguatkan diri mereka dalam majelis pengajian. Dalam arti ini, majelis pengajian lah yang telah menyatukan mereka tak sekedar sebagai serpihan-serpihan pembangunan ekonomi yang tak diperhitungkan, menjadi satu keluarga besar. Di sanalah solidaritas dipupuk, persaudaraan dijaga, dan desas-desus politik disalurkan.

Tendensi ekstrimis akan terus mengemuka, selama intoleransi dan diskriminasi dalam bentuk yang lain yaitu penggusuran, dan sinisme pada masyarakat yang tersisih oleh penggusuran terus mengemuka. Saya sendiri kerap mendengar ungkapan bernada pejorative dari kelas menengah Jakarta pada masyarakat Betawi dengan menganggap mereka sebagai ‘orang udik yang berada di Kota’. Padahal suatu hal yang lumrah dan wajar saja sebuah komunitas berada dalam tegangan antara meneguhkan interioritas dan mengafirmasi eksterioritas. Ini terjadi hampir pada semua komunitas dan kebudayaan di mana saja menghadapi tantangan perubahan, yang selalu terjebak pada dilema.

Maka penting pula di sini kita singgung jargon kalangan liberal yang menutup mata pada kondisi sosial yang timpang dan carut marut dengan terus mengulang-ngulang pernyataan manipulatif bahwa negeri ini sebagai Darus Salam (Negeri yang Damai). Damai dari Hongkong! fakta empirik menunjukkan sebaliknya. Negeri ini, khususnya Jakarta, sulit kita sebut sebagai kota damai, manusiawi, toleran dan tanpa kekerasan. Sementara pertunjukan kekerasan secara vulgar justru digelar sendiri oleh pemprov DKI Jakarta dalam penggusuran-penggusuran warga kelas bawah tanpa mengindahkan proses dialog yang setara dan demokratis. Apa yang dilakukan oleh pemprov DKI tak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh FPI yang sejak semula menutup rapat-rapat dialog demokratis-partisipatoris, dalam proses apa yang disebut sebagai pembangunan kota.

Apa bisa dikatakan sebagai negeri damai, atau kota damai jika mengeksklusi warga kelas bawah? Bisa jadi, jika yang dimaksud damai adalah kapling para kelas menengah yang menggusur kaum miskin kota. Dengan demikian, kekerasan penggusuran adalah monokulturisasi pada aspek ekonomi politik, sementara sektarianisme adalah monokulturisasi pada aspek identitas dan kebudayaan. Keduanya musuh dari inklusifisme dan multikulturalisme.

Penutup

Irasionalitas keberagamaan atau irasionalitas pengikut sekte tertentu sesungguhnya tak jauh berbeda dengan irasionalitas perkumpulan hobi yang seringkali tak bisa kita tangkap secara rasional dan objektif, juga tak bisa dikalkulasi secara matematis. Mengapa ada orang yang begitu fanatis pada hewan tertentu, kucing, misalnya, hingga mengorbankan segalanya, bahkan rela mati demi hewan kesayangannya.

Yang hendak saya katakan adalah, memang tak sepenuhnya, fanatisme, ekstrimisme dan intoleransi pada ranah identitas melulu disebabkan oleh problem ketertindasan atau karena problem kelas, namun juga tak bisa dipungkiri bahwa realitas yang timpang dan tidak adil memicu kekecewaan yang terakumulasi yang dapat dengan mudah menjadi ladang subur sektarianisme dan ekstrimisme beragama. setidaknya, kalau kita belajar pada fakta historis terbentuknya perpecahan teologis dalam Islam dipicu oleh persoalan politis dan kemungkinan besar ujung pangkalnya adalah persoalan ekonomis yaitu logika: siapa dapat apa.

Siapakah yang naif? semuanya. Menutup mata pada peggusuran adalah kekeliruan dan membiarkan sektarianisme juga kekeliruan. Golput yang seringkali diglorifikasi sebagai alternatif, sebenarnya menunjukkan para penganjurnya tak mempunyai alternatif.

Alternatifnya adalah merebut basis perkampungan di Jakarta, mengubah politik identitas dengan politik kelas, perhebat pembasisan melalui pendidikan politik di kalangan ibu-ibu pengajian. Mungkin tidak terdengar heroik, tapi itulah kuncinya mematahkan lingkaran setan oligarki dan politik sektarianisme.

Agar kelak DKI Jakarta dan Indonesia mendapatkan pemimpin yang adil dan toleran semacam khalifah Umar bin Khattab, yang digambarkan sangat santun dan damai bahkan pada momen penaklukan yang biasanya kerap diselimuti dengan darah. Sehingga dicatat oleh sejarah sebagai penakluk paling penuh kasih sayang dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, karena ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, tak ada pembunuhan, tak ada penghancuran properti, tak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tak ada pengusiran atau pengambilalihan, dan tak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam.[11]

Kita katakan pada para ibu-ibu di majelis pengajian di Kampung-kampung Jakarta, bahwa pemimpin atau pelayan publik dipilih atas dasar kompetensi, kemampuan dan kecakapan, bukan berdasarkan agama (al-kafa’ah wal kifayah wa laysa ad-din). Karena keadilan tak mengenal agama. Kita sampaikan pula pesan Nabi “Barangsiapa berkata pada saudaranya: Hai orang kafir, maka salah satu dari keduanya telah menyandang sebutan itu”.[12]

Kita kembalikan nilai luhur politik yang dalam bahasa arab disebut dengan al-siyasah, yang secara etimologis dapat berarti mengatur, mengurus, dan memerintah,[13] atau bisa juga berarti pemerintahan yang membuat kebijaksanaan.[14] Secara terminologis, siyasah berarti mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemashlahatan bukan kehancuran,[15] atau membuat kemashlahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan yang mengendalikan tugas administratif dalam mengatur kehidupan umum berdasarkan prinsip keadilan.[16] Atau mudahnya, siyasah adalah seni mengatur dan menangani urusan rakyat yang mendatangkan kemashlahatan bagi mereka.[17]

Terdengar utopis? Tidak jika kita mau memperjuangkannya. Atau kita hendak merelakan lingkaran setan kuasa oligarki dengan politik sektarianisme selamanya menjerat kehidupan kita. Naudzubillah mindzalik***

Jombang, 25 April 2017

Roy Murtadho

(gerpol)

————

[1] Selain disebut sebagai Ilmu Kalam, teologi dalam Islam juga dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya menitikberatkan pada problem ke-Esa-an Allah Swt. Lih. Abu Fattah Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani, Milal wa al-Nihal, (Kairo: Muassasah al-Malabi, 1968), hal. 42.

[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2012), hal. 3.

[3] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), hal. 10.

[4] Ibid., hal. 6-7.

[5] Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, (Kairo: Dal al-Fikr al-‘Arabi, 1996), hal. 63.

[6] Abu Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wakhtilafu al-Mussallin, (Beirut: al-Maktabah al-Asy’ariyah, 1990), Juz I, hal. 168.

[7] Setidaknya tercatat ada tiga sekte di dalam Khawarij: Sekte al-Najdah pengikutnya Najdah Ibn Amir al-Hanafi, sekte al-Ajaridah pengikutnya Abdul Karim Ibn Ajrad, dan sekte al-Azariqah pengikutnya Nafi’ Ibn al-Azraq. Lih. Amir al-Najjar, al-Khawarij: Aqidah wa Fikr wa Falsafah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1990).

[8] John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 63-71.

[9] Ikhwanul Muslimin didirikan Hasan AI-Banna di Mesir pada 1928, sementara Jemaah Islamiyah didirikan Abul Ala al-Maududi di Pakistan pada 1941, yang bertolak dari pemahaman teologis sama dan mempunyai orientasi politik hampir sama pula.

[10] Bahkan ada juga di kalangan warga NU yang menganggap FPI sebagai versi lain dari NU. Jika dalam dakwah NU lebih menitikberatkan pada amar makruf atau mengajak orang pada jalan kebaikan, sebaliknya FPI dalam dakwah menitikberatkan pada nahi munkar atau mencegah kemungkaran.

[11] Karen Amstrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.

[12] Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, (al-Maktabah al-Syamilah) hadis No. 5753.

[13] Kata al-Siyasah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja sasa-yasusu, yang subjeknya disebut sa’is. Lih Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari Ibn Manzhur, 1968, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1968), juz VI, hal. 108.

[14] Abd al-Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syar‘iyyah, (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), hal. 4.

[15] Opcit., Lisan al-‘Arab, juz VI, hal. 108.

[16] Louis Ma‘luf,  al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1976),  hal. 362

[17] Yusuf al-Qardhawi, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 1999), hal. 34-35; J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hal. 22-23.