Dulu kita pernah dihebohkan oleh seorang pelopor “bahasa langit” bernama Vicky Prasetyo. Saya katakan bahasa langit sebab bahasanya ketinggian, mungkin hanya Vicky dan Tuhan yang mampu mengerti. Sebagai awam kita hanya bisa planga-plongo sambil ngetawaiin karena memang itu unik, lucu dan tak bermanfaat sama sekali. Bahasa langit tak cocok untuk obrolan sehari-hari, kecuali anda satu jenis dengan Vicky.
Saya akan tulis kata-kata Vicky yang sangat fenomenal. Beruntung, orang seperti Vicky langka bahkan endemik di negeri. Kalau tidak, sepertinya kita perlu membuat sebuah kamus baru.
Di usiaku saat ini ya.. twenty nine my age ya, tapi aku masih tetap merindukan apresiasi karena basicly ya, aku seneng. Seneng musik gitu walaupun kontroversi hati aku menunjukkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya.. Nggak, kita belajar ya, apa ya.. Harmonisisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita tidak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan. Dengan adanya hubungan ini bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga dia gitu, tapi kita mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga.
Hanya Vicky Prasetyo dan yang seendemik dengannya yang bisa paham dengan kata-kata di atas. Ini sudah menyimpang jauh dari tujuan berbahasa. Andai Vicky booming di era ini, era dimana sedikit-sedikit penistaan, tentu Vicky akan dipolisikan dengan tuduhan menista bahasa Indonesia.
Itu Vicky, baginya berbahasa langit, ya hanya untuk keren-kerenan saja. Sebab, ia bukan tokoh publik yang setiap kata-katanya didengar dan dicatat juga dijadikan acuan untuk melangkah. Bagaimana kalau seorang tokoh publik menggunakan bahasa langit seperti halnya Vicky? Apa respon masyarakat yang menitipkan banyak harapan di balik kata-katanya?
Kini, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sepertinya hendak mengikuti jejak Vicky Prasetyo. Dalam masa-masa kampanye, Agus mau tidak mau harus berkata-kata di depan publik meski ia kemarin-kemarin enggan mengikuti debat publik. Agus harus mendengar keluh kesah warga, lalu memberikan solusi sesuai dengan visi misi yang telah mereka buat. Agus kan kini tokoh publik, bukan lagi tentara yang kesempatan bicaranya di depan publik terbatas.
Sayangnya, Agus suka menggunakan “bahasa langit” saat menjelaskan ke publik mengenai program atau solusi atas keluh kesah warga. Padahal, lawan bicaranya hanya rakyat jelata dengan perbendaharaan diksi-diksi ilmiah yang amat minim. Seharusnya, Agus dapat menurunkan bahasanya menjadi bahasa pasar seperti Ahok, bukan bahasa-bahasa yang sarat retorika. Warga tak butuh keindahan bertata bahasa, yang mereka butuhkan adalah solusi.
Dalam sebuah kampanyenya, Agus berjanji akan meningkatkan kualitas transportasi publik. Bagaimana caranya?
Agar masyarakat mau menggunakan transportasi publik, Agus akan memberi insentif. Insentif yang Agus maksud adalah mempermudah akses transportasi publik, meningkatkan keamanan dan kenyamanan, dan seterusnya sampai masyarakat Jakarta teryakinkan untuk menggunakannya.
“Kalau tidak ada insentif yang baik, artinya insentif itu kalau transportasi publik belum memiliki aksesibilitas yang luas, kemudian juga belum terlalu dirasakan aman nyaman, bisa digunakan kapan saja oleh siapa pun, dimana pun. Kemudian juga kalau masih ada hambatan terkait manajemen transportasi publik tersebut yang mengakibatkan tidak tepat waktu, kita harus meyakinkan bahwa transportasi publik dapat terjangkau oleh masyarakat, siapa pun,” paparnya.
Saya berulang-ulang membacanya masih juga belum memahami apa yang ingin Agus sampaikan. Itu saya. Apalagi warga yang berdiri mendengarkan pidatonya? Mereka mungkin hanya bisa garuk-garuk kepala. Bahasa langit yang Agus sampaikan ini tidak cocok digunakan oleh seorang calon pemimpin rakyat. Apalagi disampaikan saat kampanye.
Saya masih belum mengerti apa yang dimaksud insentif oleh Agus? Saya cari di kamus, insentif artinya perangsang atau stimulan. Kata Agus, insentif ini perlu agar aksesibilitas transportasi publik lebih luas. Insentif ini juga digunakan agar (transportasi publik) dapat menciptakan rasa aman dan nyaman, bisa digunakan kapan saja, oleh siapa saja, dimana pun.
Jadi, siapa yang akan diberi insentif atau perangsang itu? Kalau berkaitan dengan transportasi publik berarti supir dan kondektur. Dan, bentuk perangsangnya seperti apa? Apa itu upah yang layak? Bukankah upah untuk supir-supir transJakarta sudah sangat layak? Insentif apalagi yang mereka butuhkan? Apakah masalah transportasi di Jakarta disebabkan ketiadaan insentif ini? Atau masyarakat yang akan diberikan insentif (ongkos) biar nggak pada ngeluh di medsos?
Lalu Agus mengatakan, “Kalau masih ada hambatan terkait manajemen transportasi publik tersebut yang mengakibatkan tidak tepat waktu, kita harus meyakinkan bahwa transportasi publik dapat terjangkau oleh masyarakat, siapa pun.”
Apa hubungannya antara “tidak tepat waktu” dengan “terjangkau”? Tepat waktu itu berkaitan dengan jumlah armada dan tingkat kemacetan di jalan. Ini bukan masalah ongkos yang terjangkau atau tidak. Di Ibukota orang tak lagi melihat ongkosnya berapa, yang penting bisa tepat waktu tidak?
Duh.. Mas Agus. Antara wajah dan omongan kok singkronisasi visualnya memperlihatkan kontroversi yang terlihat labil. Tidak seperti Gus Joy, dimana antara wajah dan kesaksiannya menyimpulkan harmonisasi kesuraman. Eh maaf Mas, nanti saya dikira ad hominem lagi.
Saya rasa, begitulah kura-kura.
sumber: Seword