Tim pemenangan Ahok-Djarot tetap tak bisa menerima bila KPU berniat menyusun jadwal kampanye di putaran II Pilgub Jakarta, walau dengan alasan diskresi. Penggunaan diskresi oleh KPU dinilai tak logis.
Juru bicara tim pemenangan Ahok-Djarot, I Gusti Putu Artha menyatakan, sebagai mantan komisioner KPU, dirinya paham bahwa lembaga penyelenggara pemilu itu memang memiliki diskresi. Namun, diskresi yang dimaksud bisa dipakai ketika menghadapi sebuah masalah yang belum ada basis aturan untuk menyelesaikannya.
Baca:
- Mampus! Curut FPI yang Ngusir Ibu-Ibu di BKT disatronin Polisi dan Relawan
- Jangan Kejang-Kejang Ya! Investasi Arab Saudi Mayoritas di Negeri Komunis dan Kafir
- Akibat Diintimidasi, Relawan Kotak-Kotak Gelar Aksi Simpati
- Perempuan yang Mau Bikin Pengobatan Gratis Ini Malah Diteriakin Setan dan Diusir
“Diskresi itu bisa dilakukan kalau belum ada aturan, sehingga kebijakan bisa diambil dan itu diskresi. Tetapi situasi sekarang kan tak seperti itu. Jadi kalau KPU bilang ini diskresinya, tetap logikanya tak nyambung alias dipaksakan. Substansi yang mau didiskresikan tak nyambung.“,” kata Putu Artha di Jakarta, Rabu (1/3).
Menurutnya, diskresi bisa diambil bila belum ada norma yang dibuat. Padahal, terkait kampanye di putaran kedua dalam Pilgub DKI, sudah diatur secara jelas dalam surat keputusan (SK) KPU dan sudah ada jadwal yang jelas. “Kok tiba-tiba di tengah jalan ada tafsir baru?” tanyanya.
KPU DKI Jakarta, lanjut Putu Artha, seharusnya konsisten saja dalam menetapkan aturan pilkada sesuai SK yang sudah dibuat. Dalam jadwal yang sudah dibuat KPU DKI Jakarta jelas tertulis “kampanye penajaman visi misi (debat)”. Sesuai pengalamannya di KPU, perubahan aturan dimungkinkan bila ada perubahan aturan di atasnya, seperti ada ada perubahan UU yang mendadak atau ada putusan MK.
“Tetapi ini tak ada. Makanya tak logis. Ada problem hukum di keputusan KPU kali ini,” imbuhnya.
Lebih jauh dikatakan, ada masalah serius bila tak ada kepastian hukum seperti yang saat ini sedang dilakukan KPU DKI Jakarta. Perubahan aturan main dalam Pilgub DKI Jakarta berpotensi mendorong pasangan calon melanggar hukum terkait penggunaan dana kampanye.
“Jadi ini dipaksakan sekali. Ini ibarat pertandingan sepakbola. Salah satu tim sudah kalah 1-0, lalu dipaksakan agar waktu ditambah 100 menit lagi. Apabila (rencana perubahan aturan, Red) terus dilanjutkan, kita akan menggugat ke Bawaslu. KPU bisa terkena pelanggaran etik dan berpotensi kena sanksi pemecaran. Kita sudah ingatkan, tetapi dipaksa terus. Mesti ada hidden agenda ini,” tutupnya.
(beritasatu/gerpol)