Jurnalisme investigatif membawanya punya sejarah dan relasi kuat dengan Indonesia. Bagi Indonesia, dia semacam “jurnalis detektif” yang menguak rentetan fenomena terselubung di balik hiruk-pikuk dan kasus. Saat berbicara sebuah kasus atau fenomena, ia seperti “orang dalam” dengan rentetan informasi A1 yang mau berbagi secara apa adanya pada publik.
Disebut “apa adanya” lantaran pada kenyataan, akhirnya semua tuduhan yang ditulisnya, meski ditolak tentu oleh mereka yang tertuduh, tak pernah berani ia diseret ke pengadilan, baik sebagai saksi atau tersangka.
Di sisi lain, pada 1980-an, ia yang melaporkan pembunuhan massal di Guatemala yang dilakukan oleh Efrain Rios Montt, mantan pemimpin militer yang berkuasa pada 1982 hingga 1983, sebagai aktor intelektual di balik aksi pembunuhan terhadap 300 warga sipil dari suku Maya. Ketika itu dia akhirnya dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi atas kasus tersebut, dan justru pada 2013 membawa pengadilan memvonis mantan pemimpin militer Guatemala itu 80 tahun penjara.
Untuk apa semua itu dia lakukan? Untuk mencerdaskan publik dan menghindarkan mereka dari rezim dan kejahatan, khususnya kalangan militer. Karenanya, seperti dikatakannya ketika ia secara mengejutkan mengungkapkan percakapan off the record-nya dengan mantan Panglima Kostrad Letnan Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto pada tahun 2001, ketika negeri ini sedang panas oleh persaingan Prabowo-Jokowi untuk RI 1, ia tak peduli jika itu harus melanggar kode etik jurnalistik.
Baca juga:
- Siapakah Allan Nairn yang Menjadi Target TNI?
- Kapuspen TNI Bantah Tulisan Allan Nairn dan Tirto.id tentang “Kasus Ahok Hanya Dalih untuk Makar”: HOAX!
- Heboh, Netizen dan Admin TNI AU Terlibat Polemik Terkait Tulisan Allan Nairn
“Jadi, yang saya lakukan ini memang pelanggaran serius dalam praktik jurnalistisk. Tapi ini pengecualian. Saya memiliki informasi ini dan saya rasa masyarakat Indonesia berhak untuk tahu,” katanya saat itu. Karenanya, ia disebut-sebut sebagai jurnalis cum aktivis.
Namanya Allan Nairn. Jurnalis Amerika Serikat yang kian muncul kembali di tengah hiruk pikuk kita terkait Pilkada DKI Jakarta dengan laporan berjudul: “Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President”, yang rilis pertama kali di situs The Intercept.
Saat ini, laporan itu sedang heboh dibaca publik Indonesia. Ketika kolom ini ditulis, laporannya yang telah dipublikasikan dalam versi terjemahan Indonesia kurang dari dua jam lalu itu oleh Tirto.id, membawa namanya menjadi trending topic di Twitter. Disebarluaskan ke mana-mana. Memicu perbincangan dan kontroversi. Ada yang percaya, ada yang mencela.
Ia ungkapkan banyak hal, sebagai bagian dari bangunan utama tesis bahwa “menyerang Ahok hanyalah dalih untuk makar pada Jokowi dan mencegah tentara diadili atas peristiwa pembantaian sipil 1965: pembantaian yang dilakukan militer Indonesia dan didukung pemerintah AS”.
Titik pangkalnya adalah “Simposium 1965” tahun lalu. Laporan Nairn bisa jadi tertuduh bermuatan politis. Ia kerap hadir di hajatan-hajatan politik besar dengan laporan yang menyudutkan mereka yang berkontestasi. Dulu Pemilihan Presiden 2014 menyudutkan Prabowo, kini Pilkada DKI Jakarta. Itu soal motif. Tapi, jelas bahwa datanya berani ia pertanggungjawabkan.
Karenanya, laporannya biasanya ditentang, tapi tak diseret ke pengadilan.
Perkenalan Nairn dengan Indonesia dimulai pada 1991 ketika ia datang ke Timor Timur. Fokus utama investigasinya sebenarnya adalah kebijakan-kebijakan AS di negara-negara konflik. Dan Timor Timur saat itu salah satunya, selain ia pernah meliput ke Haiti dan Guatemala. Di sana ia menjadi saksi “Pembantaian Santa Cruz”, yaitu peristiwa pembunuhan massal demonstran Timor Timur di Pemakaman Santa Cruz, 12 November 1991.
Saat itu Nairn dan Amy Goodman menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia hingga ia dilarang masuk Timor Timur lantaran dituduh bahwa penanya menjadi ancaman nasional. Namun, ia kemudian masuk secara ilegal, mengais info, dan membuat laporan yang, sebagaimana menjadi tujuan awal dan utamanya: pada 1993 laporannya membantu meyakinkan Kongres AS untuk memutus bantuan militer ke Indonesia. Sesuatu yang membawa Nairn di tahun itu juga diganjar penghargaan Memorial Prize Pertama Robert F. Kennedy untuk Radio Internasional.
Laporan mengenai Pembantaian Santa Cruz itu pula yang membawa Nairn pada 21 Juni 2001 petang dan 2 Juli 2001 sore diterima untuk wawancara oleh Prabowo. Sebuah wawancara yang disepakati off the record dan anonim (tak menyebut nama sumber), namun kemudian “dikhianati” Nairn untuk apa yang ia sebut semacam misi aktivisme untuk Pilpres 2014.
Namun, apa yang dibocorkan Nairn sebenarnya justru adalah informasi-informasi yang tak ada kaitannya dengan Pembantaian Santa Cruz, yang diakuinya justru tak banyak informasi yang ia dapat dari Prabowo, kecuali mengenai latar belakang saja. Yang dibocorkan adalah curhat di luar tema, yang Nairn sendiri mengaku tak tahu kenapa Prabowo mengisahkannya: dari obrolan yang dinilai menyinggung mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga pendiriannya bahwa Indonesia tak siap berdemokrasi dan karenanya dibutuhkan rezim otoriter yang jinak.
Maka, laporan soal Ahok kali ini adalah laporan ketiga Nairn, setelah sebelumnya laporan soal Timor Timur dan Prabowo. Semuanya selalu mengguncang jagat politik kita. Ia seolah lebih tahu dari kita tentang negeri kita sendiri. Sebagian yang diungkapkannya bisa jadi telah disinyalir oleh sebagian kita, tapi kemauannya menelisik dan keberaniannya menuliskan adalah poin tersendiri.
Ihsan Ali-Fauzi
Sumber: geotimes.com