Catatan Buruk Saat Anies Jadi Mendikbud dari Soal Pluralisme sampai Korupsi

1095877
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Dengan latar belakang pendidik dan tokoh pluralisme, Anies Baswedan digadang-gadang sebagai orang baik yang pantas memimpin kementerian di sektor pendidikan.

Nyatanya Anies tidak bertahan lama, gagal memimpin birokrasi sehingga kemudian di-reshuffle oleh Presiden Jokowi.

Hal tersebut diungkap oleh Direktur Lembaga Pemantau Akuntabilitas Pendidikan (LPAP) Abi Rekso dalam dialog publik “Relasi Indeks Prestasi Pendidikan dan Dugaan Praktik Korupsi” di Jakarta, Senin (13/3/2017).

Baca: Pencitraan Anies Baswedan dan Buruknya Birokrasi Kemendiknas

Hadir dalam dialog, peneliti anggaran Seknas FITRA Gulfino Guevarrato dan peneliti LIPI Anggi Afriansyah, dipandu oleh Maria Anneke.

“Jika dibanding masa M. Nuh, key performance index (KPI) Anies tampak buruk saat masa transisi,” jelas Abi.

KPI diukur berdasarkan indikator kompetensi guru, indeks prestasi sekolah dan angka perkelahian siswa. Pada masa Anies, grafiknya menurun, sulit untuk kembali menyetarakan ke masa M Nuh, tutur Abi.

Kinerja Anies juga terbilang buruk dalam menghilangkan gejala puritanisme di sekolah-sekolah. “Sebagai tokoh pluralisme, tidak ada perubahan signifikan pada masa Anies,” papar Abi lebih lanjut.

Baca: Membongkar Kebusukan Anies Baswedan Saat Menjabat Mendikbud

LPAP mengukur indeks perbandingan pluralisme di sekolah-sekolah menengah di Jakarta, seperti keharusan membaca Al-Quran dan siswa perempuan berhijab.

LPAP juga menyoroti dugaan praktik korupsi Anies, seperti proyek pengadaan VSAT (Very Small Aperture Terminal) yang diduga melibatkan adik Anies (Rasyid Baswedan) dan kelebihan dana sertifikasi guru sebesar Rp 23,3 T.

“ICW merilis adanya manipulasi 381 proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 942 M pada masa Anies,” rinci Abi.

“Riset FITRA menunjukkan besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen tidak direalisasikan dengan baik di daerah-daerah,” kata Gulfino.

Belanja langsung atau program rata-rata di bawah 30 persen, sebagian besar habis untuk belanja tidak langsung atau biaya pegawai, lanjut Gulfino.

Sering terjadi diskontinuitas dalam hal kebijakan setiap pergantian rezim atau menteri.

“Menteri-menteri baru terjebak pada populisme, seperti Anies mengajak orang tua mengantar anak ke sekolah, tetapi bagaimana kalau si anak tidak punya orang tua?” kritik Anggi. Apalagi di era media sosial, menteri-menteri sibuk mencari popularitas, lanjut Anggi.

LPAP didirikan dengan latar belakang wajah pendidikan nasional yang masih jauh dari standardisasi global serta problem anggaran dan lemahnya akuntabilitas institusi pendidikan.

“LPAP akan mengawal Nawacita dalam implementasi pendidikan nasional dan mendorong akuntabilitas serta profesionalisme birokrasi pendidikan,” pungkas Abi.

(tribunnews/gerpol)