Debat resmi terakhir untuk Pilkada DKI Jakarta diadakan lagi pada hari ini, tanggal 12 April 2017 untuk sekali lagi menajamkan visi dan misi kedua pasangan calon sehingga rakyat Jakarta bisa memilih siapa gubernur mereka untuk 5 tahun ke depan. Debat resmi terakhir ini dipimpin oleh moderator pertama debat resmi Pilkada DKI Jakarta, yaitu Ira Koesno. Jadi, Ira Koesno memegang peranan penting di pilkada jakarta tahun ini, sebagai pembuka pertandingan resmi yang ditonton seluruh insan di Indonesia, sekaligus penutup pertandingan.
Berkaca dari debat calon gubernur di acara Mata Najwa, debat resmi terakhir malam ini diharapkan agar bisa lebih baik atau setidaknya sejajar dengan kualitas isi debat yang dipimpin Najwa Shihab waktu silam karena menurut pengamat, debat yang diadakan di acara Mata Najwa berhasil meraih esensi debat pilkada itu sendiri. Oleh karena itu, debat malam ini menghadirkan format baru yaitu adu argumen setiap calon.
Formatnya adalah Basuki vs Anies dan Djarot vs Sandiaga, saling beradu argumen dengan waktu kurang lebih 1 setengah menit. Format ini unik karena waktu tidak ditampilkan agar penonton tidak tahu waktu dan lebih fokus kepada argumen setiap calon. Kemudian, jarak yang begitu dekat antar calon yaitu sekitar 1 m ketika adu argumen membuat intensi emosi setiap calon bisa terbaca oleh penonton.
Putaran pertama adalah adu argumen Djarot dengan Sandiaga. Pertanyaan pertama dilontarkan oleh Djarot yang agak susah dimengerti oleh lawannya, Sandiaga, terlihat ketika Sandiaga menanyakan kembali pertanyaan Djarot dengan alasan bahwa agar penonton semua juga mengetahui padahal yang ditanyakan adalah mengenai anggaran daerah. Hal ini terlihat, bahwa Sandiaga mengaitkan anggaran daerah dengan anggaran perusahaan yang secara jelas dibantah oleh Djarot bahwa kedua hal tersebut berbeda karena anggaran Pemprov adalah hal yang kompleks karena harus melalui birokrasi yang sudah ada di peraturan.
Poin pertama, calon wakil gubernur nomor 3 tidak mengerti betul tugas seorang wakil gubernur dan bukannya mengakui tetapi malah ngeles bahwa masyarakat juga ingin tahu. Saya rasa ini adalah sebuah kesalahan fatal seorang calon wakil pemimpin karena tidak mengetahui tugasnya. Poin kedua, Sandiaga jelas tidak mengerti sistem pemerintahan yang jelas karena selalu mengaitkannya dengan program “oke-oce” milik dia. Sudah beberapa debat diadakan dan sudah banyak pertanyaan yang ditanyakan ke Sandiaga, tetapi jawabannya selalu oke-oce.
Putaran kedua adalah adu argumen antara Ahok dengan Anies. Berawal dengan senyuman dan kondisi emosi stabil, pertengahan hingga akhir intensi emosi meningkat tajam dari kedua pihak. Adu argumen yang dilakukan oleh kedua calon gubernur sedikit lebih dinamis dikarenakan pertanyaan yang diajukan lebih banyak daripada adu argumen calon wakil gubernur. Saya menilai dua pertanyaan dari Ahok adalah brilian karena banyak warga merasa terwakili karena warga sebenarnya bingung mengenai inkonsistensi pasangan Anies dan Sandi.
Inkonsistensi pertama adalah mengenai penolakan reklamasi. Berulang kali, ketika tampil di media, Anies dan Sandi selalu berubah-ubah mengenai kebijakan reklamasi ini. Awal kampanye mengatakan bahwa mereka akan menolak reklamasi dengan tegas, kemudian pertengahan mengatakan bahwa mendukung reklamasi kemudian malam ini mengatakan akan menolak reklamasi. Setelah mengatakan akan menolak reklamasi di Jakarta, Ahok kembali menanyakan solusi apa yang diambil oleh Anies apabila menolak reklamasi, sekali lagi Anies beretorika tidak menjawab secara konkrit pelaksanaannya. Bagaimana bisa seorang calon pemimpin ibukota Jakarta tidak konsisten mengenai program yang akan dia jalankan 5 tahun ke depan?
Inkonsistensi kedua adalah mengenai program rumah dengan dp 0%, dp 0 rupiah, dan sejenisnya yang datang dari pasangan calon nomor 3. Kemudian ditanyakan oleh Ahok mengenai program rumah ini kepada Anies. Seperti biasa Anies kembali tidak menjawab pertanyaan dengan cara menyerang Ahok bahwa mereka sudah memikirkan program ini dari awal tidak seperti Ahok yang baru muncul 2 minggu belakangan. Justru, yang saya heran, mengapa program yang sudah dipikirkan dari awal, tapi tidak kalian mengerti sepenuhnya sedangkan kesannya pak ahok yang baru mengeluarkan program ini lebih jelas dan sistematis dalam pelaksanaan? Apakah benar Anies hanya bisa beretorika tetapi tidak bisa mengeksekusi programnya sendiri?
Poin pertama, Anies tidak bisa menjawab langsung to the point apa yang ditanyakan oleh Ahok padahal secara jelas bahwa ini adalah debat pilkada terakhir yang ingin membuat warga Jakarta mantap dalam memilih. Sebenarnya Ahok mau membantu Anies dengan beberapa kali mengingatkan Anies tidak menjawab pertanyaan yang diajukan dan mengatakan bahwa Anies kembali beretorika, tetapi seakan tidak digubris oleh Anies dan terus melanjutkan retorika milik dia. Debat yang sejatinya adalah debat mengenai program, tetapi disulap oleh Anies menjadi debat perasaan sehingga Joko Anwar mencuit postingan seperti di bawah ini.
Poin kedua, substansi debat kedua belah pihak masih dominan sama. Ahok – Djarot yang terus menerus menjelaskan program-program yang diserang dan Anies – Sandi yang terus menerus menyerang program Ahok sehingga program-program yang sebenarnya ingin warga Jakarta dengar dari pasangan nomor 3 kembali tidak terjawab. Memang logika Anies sangat susah dipahami (bisa baca di sini).
PENUTUP
Pertanyaan Anies mengenai bagaimana mempersatukan warga DKI Jakarta setelah pilkada ini kepada Ahok menjadi lucu menurut pengamat politik, karena kredibilitas Anies dipertanyakan ketika berbicara mengenai mempersatukan warga karena secara jelas bahwa pendukung pasangan calon nomor 3 terus mengkotak-kotakkan warga Jakarta. Jadi, menurut saya agak kurang pantas ketika Anies ingin menyerang Ahok bahwa Ahok kurang bagus sebagai komunikator dengan mengaitkan dengan isu persatuan.
Saya yakin debat final ini dipastikan menggerus suara Anies dan Sandi bukan karena sentimen pribadi warga jakarta tetapi lebih kepada ketidakpastian program pasangan calon nomor 3.
Saya pikir warga Jakarta sudah sangat cerdas dalam memilih apalagi pilihannya sekarang tersisa 2, Ahok dan Djarot atau Anies dan Sandi. Terlepas dari segala macam perseteruan selama proses pilkada, saya harap segala kalangan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta bisa seperti kedua pasangan calon yang meminta maaf dan merangkul satu sama lain setelah pilkada Jakarta berakhir nanti karena kehidupan akan terus berlanjut siapapun yang terpilih nanti.
Salam Waras.
(seword/gerpol)