Deradikalisasi Melalu Politik Kebudayaan

255
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Indonesia Bukan Indonistan

Apa itu deradikalisasi?

Deradikalisasi, dalam defenisi saya, adalah segala upaya untuk melemahkan ideologi dan gerakan ekstrim yang menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuan parsial/kelompok dan menggantikannya dengan ideologi moderat. Dalam batasan yang lain, deradikalisasi adalah “the practice of encouraging those with extreme and violent religious or political ideologies to adopt more moderate views” (Collins, n.d.).

Kenapa tema ini diangkat?

Di Indonesia, aksi terror dan kekerasan atas nama agama menguat sesudah 1998, terutama setelah tragedi 11/9 di Washington, AS. Kecendrungan radikalisasi terjadi di dua ranah: (1) ranah sosial dan (2) ranah politik.

Dalam ranah social, kita perlu membedakan dua kelompok radikal: kelompok radikal ciptaan dalam negeri (made in Indonesia) dan kelompok radikal buatan luar negeri/hasil import dari Timur Tengah (injected ideologies). Dalam diskusi ini, saya tidak banyak bercerita tentang faksi radikal yang diimpor dari luar, karena itu akan menjadi tema tersendiri yang luas dan dalam. Dalam diskusi ini, kita fokus pada kelompok radikal “buatan dalam negeri”.

Pada ranah sosial (the social realm), yang sebetulnya tidak murni sosial karena kontaminasi dengan kepentingan politik, radikalisasi adalah bentuk mobilisasi sosial baru di Indonesia pada jaman pasca-Suharto.

Sejumlah oknum militer yang tidak siap dengan tuntutan “kembali ke barak” yang merupakan salah satu ide besar reformasi 1998, membentuk ormas-ormas paramiliter—sipil yang dilatih secara militer. Ormas-ormas ini direkayasa sebagai the loci of power untuk mempengaruhi proses politik di Parlemen pada masa sesudah Suharto jatuh tahun 1998.

Seiring waktu, dan selaras dengan kesuksesan reformasi militer di Indonesia, ormas-ormas ini mulai kehilangan patron karena (1) para oknum militer mulai kehilangan pengaruh dalam politik, dan (2) tuntutan pembiayaan yang tidak bisa ditangani lagi oleh patron yang terbatas.

Maka, ormas-ormas ini mulai mencari jalan hidup sendiri. Dalam upaya mencari modus vivendi (cara hidup) baru, ormas-ormas ini bertemu dan bersilaturahmi dengan sejumlah oknum petinggi di institusi kepolisian yang kemudian menjadi patron baru, terutama pada kurun 2000-2014. Penggerebekan kafe, pemalakan di restoran atau hotel, dan sebagainya adalah modus operandi (cara kerja) dan modus vivendi (cara hidup) baru ormas-ormas garis keras untuk bertahan hidup.

Celakanya, ormas-ormas ini kemudian berkembang dan makin kreatif sehingga masuk ke dalam ranah politik, entah karena kepentingan patron tertentu maupun karena ada pihak ketiga yang “menyewa” jasa kelompok ini untuk kepentingan politik taktis. Hal inilah yang menjelaskan kenapa dalam isu korupsi, ormas-ormas ini tidak berteriak keras, tetapi dalam isu penodaan agama oleh Ahok, mereka berteriak, bahkan tanpa jedah.

Pada ranah politik (the political realm), partai agama sudah ada sejak awal NKRI berdiri. Bahkan perdebatan tentang Dasar Negara Pancasila cukup sengit pada decade 1940an, terkait the Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Namun, perdebatan ini dimenangkan oleh kelompok nasionalis. Sukarno ketika itu memainkan peran yang sentral. Pada tahun 1973, fusi partai dilakukan oleh Suharto sehingga semua partai religious menyatu dalam PPP. Perkawinan paksa ini menyisakan kekecewaan besar di kalangan tertentu dalam kelompok Islam politik. Apalagi tahun 1983, Pancasila sudah mulai diwajibkan sebagai landasan ideologis bagi semua organisasi.

Benturan agama-negara meledak di permukaan dalam peristiwa Tanjung Priuk 1984 dan beberapa kejadian lain di lain tempat.

Sejak 1980an sampai 1998, kelompok Islam politik ini berupaya bertahan hidup dengan bersembunyi di tubuh Golkar dan PPP. Maka, sesudah 1998, mereka keluar memperlihatkan dirinya dengan membentuk partai agama yang baru. Kelompok politik ini menjadikan agama dan segala simbolnya sebagai basis dan orientasi politik. Meskipun demikian, tidak pernah ada partai yang secara terbuka berani mengusung ide “Negara Agama”.

Radikalisasi yang terjadi sesudah 1998 sedikit banyak mendapat dukungan besar dengan hadirnya partai agama di parlemen dan munculnya ratusan peraturan daerah (perda) di tingkat local yang mendukung cita-cita syariah dari kelompok politik yang berjubah agama tersebut.

Lantas, seperti apa proyek deradikalisasi yang ideal ke depan?

Proyek deradikalisasi yang ada saat ini lebih banyak mengacu pada pendekatan keamanan. Dalam banyak kasus, pendekatan keamanan menuai resistensi, baik dari kelompok radikal sendiri maupun dari kelompok libertarian yang mengedepankan kebebasan dan hak asasi manusia. Deradikalisasi mesti dilakukan pada dua ranah: social dan politik.

Pada ranah sosial

  1. Propaganda dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisasi perlu diarahkan pada upaya melibatkan masyarakat dalam upaya pemberantasan kelompok radikal mulai dari tingkat paling kecil yaitu keluarga;
  2. Pendekatan kebudayaan yang dicanangkan oleh Bupati Purwakerta Dedi Mulyadi adalah alternative yang menarik, yaitu perlunya penguatan identitas kebudayaan sebagai Indonesia untuk mengurangi pengaruh indoktrinasi keagamaan, terutama suntikan ideology transnasional yang dibawa dari luar;
  3. Peningkatan pendidikan formal dan informal untuk masyarakat di daerah yang berpotensi sebagai sarang radikal, selain untuk penyadaran social juga untuk peningkatan taraf hidup karena kemiskinan seringkali berbanding lurus dengan kurva radikalisasi.

Pada ranah politik

  1. Komitmen dan kemauan politik dari pemerintah dan parlemen adalah harapan utama; yang didukung oleh
  2. Peran serta birokrasi dalam membangun kultur kerja dan pelayanan publik yang bebas dari nilai-nilai sektarian dan sikap mementingkan kelompok sendiri. Pegawai negeri dan publik tidak boleh memperlakukan masyarakat secara diskriminatif atas dasar agama karena hal itu adalah bentuk dukungan tidak langsung terhadap kelompok fundamental-radikal.

Persoalan utama kita ada di parlemen, pusat maupun daerah. Pembuatan UU atau Perda seringkali tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis tetapi pada kepentingan pragmatis. Itu sebabnya UU atau Perda yang memberi ruang bagi kelompok radikal biasanya lolos dan disahkan. Transformasi pada level partai politik penting terjadi agar praktek legislasi di parlemen benar-benar memperhitungkan masa depan Demokrasi Pancasila yang tengah terancam karena gelombang radikalisasi.

Berapa tahun lagi Umur Indonesia?

Saya perhitungkan, kalau dalam 2-3 pemilu ke depan, partai berjubah agama yang memperjuangkan ‘Indonesia Syariah’ (atau NKRI Syariah) memperoleh suara yang signifikan, dan pada saat yang sama ormas-ormas garis keras makin subur, maka nasib Indonesia akan terancam serius dalam 4-5 pemilu dari sekarang. Dengan kata lain, umur Indonesia tinggal 20-25 tahun dari sekarang kalau partai politik yang bekerjasama dengan ormas garis keras meraih dukungan besar dalam 2-3 pemilu mendatang. Bagaimana itu bisa terjadi?

Langkahnya sederhana: dalam 2-3 pemilu, partai pengusung NKRI Syariah menancapkan kaki di berbagai institusi negara dan membangun basis yang kuat di semua titip strategis di pelosok RI. Sesudah pemilu ke-4, mereka mengubah kultur politik di parlemen untuk prakondisi menuju amandemen Konstitusi sesudah pemilu ke-5 dari sekarang.

Keputusan amandemen Konstitusi yang dilakukan melalui mekanisme voting di DPR. Kelompok pengusung NKRI Syariah akan meraih dukungan juga dari wakil rakyat yang pragmatis meskipun berasal dari partai nasionalis. Preseden sudah ada, yaitu dalam pengesahan 232 perda Syariah di seluruh Indonesia sejak 2005. Perda-perda itu justru didukung oleh para wakil dari partai yang mengaku ‘nasionalis’. Modus yang sama akan terjadi apabila partai pengusung Syariah meraih suara signifikan dalam 2-3 pemilu mendatang. Wallahualam!

Cikini, 10 Maret 2017 / Boni Hargens/Pengamat Politik dan Direktur Lembaga Pemilih Indonesia

(gerpol)