Dinasti Cikeas SBY Ancaman Demokrasi Indonesia

40
Share on Facebook
Tweet on Twitter
Demokrat Parpol Koruptor
Gelaran pilkada serentak 2017 tidak sekedar memenuhi sirkulasi kepemimpinan daerah lima tahunan. Lebih dari itu, pilkada menyiratkan pesan peneguhan demokrasi di tingkat lokal yang lebih substantif. Substansi demokrasi diacukan kepada sejauh mana pilkada memberikan ruang seluas-luasnya bagi lahirnya kompetisi (fair, jujur, adil) dan partisipasi (rakyat sebagai subyek sentral). Namun, belakangan ancaman politik dinasti menyeruak ketika sejumlah pasangan calon kepala daerah memiliki kedekatan (kekerabatan) dengan penguasa daerah sebelumnya.
Untuk menyebut misalnya Dodi Reza Alex, calon Bupati Musi Banyuasin, yang tak lain adalah anak dari Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Andika Hazrumy, calon wakil Gubernur Banten merupakan anak kandung Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten yang mendekam di penjara karena kasus korupsi. Karolin Margaret Natasa, anak Gubernur Kalimantan Barat, lolos sebagai calon tunggal Bupati Landak. Di Jawa Timur ada Dewanti Rumpoko, calon Walikota Batu, merupakan istri Eddy Rumpoko, Walikota Batu (Koran Tempo, 26/10).
Iklim demokrasi memang memberikan jaminan bagi setiap orang untuk dipilih dan memilih dalam kompetisi politik apapun. Namun, bentangan kasus korupsi yang menjerat kepala daerah produk politik dinasti menjadi gambaran tentang bagaimana hasrat berpolitik menihilkan integritas dan kompetensi. Politik dinasti masih mengisahkan intimitas kekuasaan dan uang. Mental permisif dan kuatnya jejaring politik dinasti dalam praktiknya memuluskan praktik-praktik korupsi, penyelewengan anggaran, jual beli proyek dan lain sebagianya.
Menjadi Racun
Politik dinasti tentu tidak hanya terbatas pada jejaring kekerabatan atau pertalian darah (kinship politics) saja, tetapi juga jejaring bisnis dan kelompok-kelompok kepentingan. Gaetano Mosca dalam The Rulling Class (1980) mengungkapkan bahwa setiap kelas menunjukkan tendensi untuk membangun suatu tradisi politik secara turun temurun (hereditary). Bahkan, dalam organisasi demokratis sekalipun, seorang pemimpin yang terpilih cenderung akan membuat kekuasaannya sedemikian mapan agar sulit untuk digeser atau digantikan.
Relasi kuasa bergerak dan berputar di lingkungan keluarga atau jejaring kelompok tertentu saja, sehingga menutup partisipasi politik publik. Aktor-aktor yang datang pada periode berikutnya boleh saja berbeda, tetapi punya peran duplikatif-identik dari pendahulunya. Perubahan suksesi kepemimpinan hanya kamuflase pembungkus status quo untuk mengamankan jejaring mereka terhadap akses sumber-sumber finansial. Politik dinasti ini menjadi parasit ketika dihadapkan pada khittah demokrasi yang menyuburkan kompetisi dan memberi fasilitas bagi perluasan partisipasi publik.
Pertama, politik dinasti mengkerdilkan system politik demokratis, karena struktur kesempatan atau akses bagi publik untuk terlibat langsung dalam menentukan pilihan politik, termasuk dalam sirkulasi kepemimpinan tersumbat oleh belenggu kepentingan segelintir orang (keluarga, jaringan bisnis dan kelompok kepentingan). Kedua, dinasti politik mereduksi system politik ke arah privatisasi kepentingan publik. Dominasi akses pengelolaan sumbar daya ekonomi-politik yang sebenarnya merupakan aset publik hanya dinikmati oleh jejaring penguasa dinasti bersama kroni-kroninya. Ketiga, dinasti politik menggerus budaya dan etika politik.
Jika siklus politik semacam ini dibiarkan terus berlangsung, maka akan menggerus prinsip-prinsip demokrasi di lapangan permainan politiknya. Politik dinasti dan mental korupsi adalah racun yang mematikan bagi proses check and balances, prinsip transparansi, partisipasi, dan efektivitas kerja-kerja politik untuk kemaslahatan publik.
Kualitas Pilkada
Maraknya politik dinasti menunjukkan ada masalah serius dalam perekrutan calon kepala daerah. Rekrutmen politik di dalam parpol masih terjebak dalam permainan politik yang menyelewengkan arah demokrasi menjadi tawanan kepentingan sempit jaringan elite politik dan pemodal. Padahal, menurut Bung Hatta berpartai politik adalah menghimpun beragam potensi dan kecerdasan politik anak-anak bangsa atas nama Indonesia, bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi kemaslahatan bersama.
Kemampuan parpol dalam menjalankan fungsi imperatifnya terletak pada kondisi internal yang menekankan proses regenerasi dan rekruitmen politik berdasarkan kapasitas dan kapabilitas kader sebagai penentu konsolidasi agenda publik. Selain itu, pilkada juga harus lepas dari lilitan politik uang dan monopoli kekuasaan. Regulasi pelaksanaan pilkada juga harus menyentuh mekanisme demokrasi internal parpol agar lebih transparan, akuntabel dan melibatkan partisipasi publik, baik dalam proses rekruitmen maupun pencalonan kepala daerah.
Tak kalah penting adalah penguatan fungsi pengawasan beserta sanksi yang tegas bagi pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok mereka sendiri. Inilah tantangan berat bangsa ini dalam mewujudkan demokrasi otentik yang mengabdi kepada kepentingan mayoritas publik, bukan melayani kuasa politik dinasti.
http://indonesiana.tempo.co/read/96912/2016/11/01/djowhy/pilkada-dan-ancaman-politik-dinasti