Bahwa lebih banyak penduduk Jakarta yang memilih gubernur berdasarkan alasan agama daripada kinerja adalah fakta. Bahwa masjid adalah sarana efektif untuk memobilisasi dukungan politik adalah kenyataan. Tetapi pertanyaannya adalah apakah demokrasi dibiarkan begitu saja berjalan mengikuti fakta dan kenyataan yang ada?
Baca:
- Sandi Menghadap Prabowo Sendirian, Anies dan Eep Tidak Diajak, Koalisi Makin Retak?
- Soal Dana Kampanye, Sandi Sudah Kucurkan 200 M, Anies Ngutang 50 M
Jawaban sebagian konsultan politik ada iya! Mereka merumuskan strategi berdasarkan kecenderungan persepsi yang berkembang. Mereka menawarkan jasa pemenangan pemilu dan pilkada berdasarkan kecondongan sentimen yang bergelora. Dan, ini yang terpenting, mereka sangat paham bahwa sumber dari segala sumber persepsi dan sentimen yang paling laku hari ini adalah agama!
Video Eep Saifulloh Fatah yang viral hari-hari ini sesungguhnya tidak mengejutkan. Sebagai konsultan politik dia mengetahui apa sedang terjadi di tengah masyarakat dan mengerti apa yang bisa dilakukan dari situ. Secara tepat dia merekomendasikan kepada Anies Baswedan untuk menggunakan masjid sebagai sarana mobilisasi demi pemenangan pilkada.
Masalahnya, dari apa yang ada kita tidak bisa menyimpulkan apa yang harus. Ini adalah prinsip dasar teori moral. Jika ternyata lebih banyak penduduk Jakarta yang memilih gubernur berdasarkan agama, maka bukan berarti hal itu harus diikuti. Sebaliknya, dari sudut pandang etis hal itu justru harus ditolak. Sebab kemudorotannya lebih besar daripada kemaslahatannya!
Tetapi nasi sudah menjadi bubur, polarisasi di tengah masyarakat sudah terlanjur. Demokrasi Indonesia yang seharusnya menjadi ruang bagi kebhinekaan sekarang sudah berubah menjadi ruang bagi kebencian; isu pribumi dan non-pribumi mengemuka, kafir-mengkafirkan merajalela. Memang kondisi ini bukan kesalahan penuh konsultan politik, tetapi mereka membantu menyiapkan jalan menuju situ.
Amin Mudzakkir
Tulisan ini kami temukam di WAG dengan judul KONSULTAN POLITIK MEMBUNUH DEMOKRASI