Geram Atas Kasus Ahok, LBH Tegaskan Kasus Ahok Alat Kriminalisasi di Pilkada DKI 2017

832
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, menilai Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah menjadi korban dari penggunaan pasal antidemokrasi, Pasal 156a KUHP, pasal penodaan agama, pada Pilkada DKI 2017 yang seharusnya demokratis.

Demikian disampaikan Aqsa terkait peluncuran Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) dalam kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Ahok, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Sabtu (15/4/2017).

Baca:

“Hal ini adalah sebuah ironi namun nyata, karena negara dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah RI masih belum menaati rekomendasi dari putusan MK dalam Uji Materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” beber dia.

Aqsa menjelaskan, majelis hakim MK pada putusannya mengamini adanya permasalahan dalam UU tersebut. Oleh karena itu, MK mendesak perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama.

“Pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (27/9/2016) sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Al quran) untuk menipu pubilk dalam kegiatan politik,” tutur dia.

Pernyataan Ahok itu pun, Aqsa menambahkan, tidak memenuhi itikad buruk/evil mind/mens rea yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP. Bahkan, pernyataan Ahok dilindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin Pasal 28E Konstitusi, UU Nomor 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

“Penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok tersebutlah yang sesungguhnya menimbulkan keresahan di masyarakat,” kata dia.

Orang Ketiga

Aqsa mengungkapkan, ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok, yang tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut.

 “Sehingga memunculkan gerakan massa 411, 212 dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama,” ujar Aqsa.

Tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal penodaan agama. Aqsa menjelaskan, merupakan tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakkan hukum (supremacy of law).

Apalagi, dia menambahkan, perilaku sesat berdemokrasi dan pelecehan hukum seperti ini sepanjang sejarah memang selalu terjadi dalam penggunaan pasal penodaan agama sejak hari dilahirkannya kebijakan tersebut.

“Dan hari ini kita masih berada di titik yang sama di mana lembaga peradilan seolah tunduk pada tekanan massa. Mulai dari penguasa sampai masyarakat awam tak lepas dari jerat pasal ini,” ucap Aqsa.

Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama, dia menegaskan, secara jelas justru meruntuhkan tatanan penegakkan hukum, demokrasi dan kebhinekaan di Indonesia. Selain itu juga merupakan wujud nyata dari peradilan sesat.

“Di atas segalanya LBH Jakarta sangat menyayangkan keberadaan dan penggunaan kebijakan antidemokrasi dan inkonstitusional di iklim demokrasi Indonesia hari ini terlebih di proses Pilkada kota DKI Jakarta (terhadap Ahok),” ujar Kadiv Advokasi LBH Jakarta, Yunita.

LBH Jakarta, ia menambahkan, sudah sejak lama mengkritisi keberadaan kebijakan ini, namun pemerintah dan DPR sama sekali tidak bergeming untuk menyelesaikannya.

4 Rekomendasi

LBH Jakarta merekomendasikan empat hal kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara Ahok.

1. Agar Majelis Hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat 1, pasal 28 E ayat 1 dan 3, pasal 28 I ayat 2, dan pasal 28 D UUD 1945.

2. Agar Majelis Hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.

3. Agar Majelis Hakim dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti dengan mengacu pada: (1) Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan Pasal dengan sanksi pidana; dan (2) Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005;

4. Agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

Selain itu LBH Jakarta juga menyarankan kepada Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan review kebijakan-kebijakan antidemokrasi dalam hal ini PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP.

“Karena jelas niscaya pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Negara Republik Indonesia,” tegas Aqsa.

(liputan6/gerpol)