Guru Besar Hukum Pidana Ini Sebelumnya Ahli dari Jaksa, tapi Malah Bela Ahok

1097759
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Ahok dan Edward

Sidang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Ke 14 menyisakan catatan kemenangan untuk pihak Ahok, pasalnya salah satu Ahli yang dihadirkan adalah Ahli yang sebelumnya berpihak pada Jaksa Penuntut Umum. Harusnya Ahli ini membenarkan tuntutan JPU. Tapi Ahli Hukum Pidana ini malah membela Ahok.

Kenapa Ahli ini bisa membelot jadi Ahli yang meringankan? Sederhana saja, Ahli yang bernama Edward Omar Sharif alias Eddy Hieariej seorang Ahli Hukum Pidana dan Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini tahu kalau kasus Ahok ini hanyalah rekayasa politis saja.

(baca: Eksklusif: Novel Bamukmin FPI Ungkap Rekayasa Kejahatan terhadap Ahok)

Sempat terjadi heboh saat JPU menolak kesaksian Ahli, tapi percuma karena Majelis Hakim mengijinkan Ahli menyatakan kesaksiannya, keberatan alasan JPU ditolak oleh Hakim. Jaksa sempat berdebat dengan tim kuasa hukum Ahok dan menolak kesaksian Eddy.

“Itu ada ceritanya tersendiri kenapa Prof Eddy ini tidak kami ajukan (pertanyaan). Di penolakan, saya mengatakan, ada sesuatu yang tidak etis,” kata Ketua JPU Ali Mukartono, di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, tempat sidang itu digelar.

Baca: Ahli Hukum Pidana Ini Membongkar Keraguan Jaksa yang Menuntut Ahok

Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan harus ada niat pada pasal yang dipakai dalam kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Ahok.

Edward mengungkapkan hal tersebut ketika dihadirkan kuasa hukum Ahok sebagai saksi ahli pada sidang lanjutan di auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (14/3/2017).

“Pada Pasal 156 dan 156a KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mensyaratkan harus ada niat, niat untuk memusuhi atau menghina agama,” kata Edward di hadapan majelis hakim.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Edward menjelaskan, faktor niat bersifat subjektif, sedangkan faktor kesengajaan bersifat objektif. Sehingga, tidak mudah untuk membuktikan faktor niat tersebut.

Namun, Edward menilai majelis hakim bisa menilai unsur niat dari terdakwa pada saat agenda persidangan pemeriksaan terdakwa.

“Kalau bicara niat, yang tahu hanya Tuhan dan pelakunya. Kita harus lihat keadaan sehari-hari orang itu hingga sampai pada justifikasi orang tersebut punya niat untuk menghina agama,” tutur Edward.

Dalam kasus ini, Edward menilai Ahok tidak ada niat untuk menodai atau menghina agama. Edward juga menyarankan untuk meminta pandangan dari ahli lain, seperti ahli gestur dan agama, guna menguatkan justifikasi apakah Ahok memang menodai agama atau tidak.

“Berdasarkan keahlian, dengan tegas saya katakan (Ahok) tidak memenuhi unsur (dugaan menodai agama),” ujar Edward.

(kompascom/gerpol)