Ayam-ayamku tertawa ngguling-ngguling melihat para pentolan HTI marah-marah dan curhat gara-gara aksi-aksi dan pengajian mereka dilarang dan dihadang massa di sejumlah daerah. Mereka “ngeles” kalau Indonesia itu negara “demokrasi Pancasila” yang mestinya menghormati ekspresi kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul.
Giliran ditolak merengek-rengek demokrasi, tapi giliran dibiarkan mencaci-maki demokrasi. Giliran diprotes berlindung di balik Pancasila dan UUD 1945, giliran didiamkan bengak-bengok anti ideologi dan konstitusi negara yang mereka anggap sebagai sistem thoghut, kapir, tidak islami, dlsb.
Mestinya kalian harus konsisten menggunakan “logika khilafah” dong seperti yang selama ini kalian lakukan, jangan memakai “logika demokrasi”. Kalian merasakan sendiri kan enaknya hidup di dunia demokrasi sehingga khilafah bisa berkembang seenaknya. Coba kalau hidup di dunia khilafah, apakah demokrasi bisa berkembang dengan leluasa? Jelas tidak Mat. Mikirrrr.
HTI adalah contoh dari ormas Islam impor gemblung, semprul dan sontoloyo yang tidak mau bersyukur dengan nikmat berdemokrasi dan berpancasila di bumi majemuk Indonesia.
Kenapa HTI anti-demokrasi? Apakah karena Al-Qur’an mengajarkan anti-demokrasi? Bukan. Apakah karena Tuhan anti-demokrasi? Mana ketehe, tanya sama Tuhan sono.
HTI (dan juga semua simpatisan HT dimana saja) anti-demokrasi itu sesungguhnya karena “nabi” mereka, Taqiyuddin al-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah pencela ulung demokrasi. Dialah yang menulis kitab atau buku berjudul “Demokrasi: Hukum Kafir” (Democracy: The Law of Infidels) yang kemudian dijadikan sebagai “pegangan hidup” simpatisan HT di seluruh dunia, termasuk HTI.
Para cheerleaders HT dimanapun mereka berada, termasuk di Indonesia, sejatinya adalah mengikuti “Firman a-Nabhani” ini bukan mengikuti “Firman Tuhan” dalam Al-Qur’an karena kitab ini justru menggarisbawahi tentang pentingnya prinsip-prinsip demokrasi dalam hidup bermasyarakat. Para cheerleaders HT memang menggunakan dasar Al-Qur’an dalam berbagai pemikiran sosial-politik-ekonomi-keagamaan tetapi Al-Qur’an menurut pemahaman dan tafsir al-Nabhani.
Bukan hanya soal demokrasi saja, tetapi hampir semua produk-produk pemikiran sosial-politik-ekonomi-keagamaan para fans Hizbut Tahrir di seluruh pelosok dunia diambil dari pemikiran al-Nabhani ini yang menulis banyak buku dengan beragam topik.
Buku-bukunya itu diterbitkan oleh Al-Khilafah Publications di London yang menjadi markas gerakan Hizbut Tahrir internasional. Buku-buku al-Nabhani itu ada yang membahas tentang pemikiran takfiri, sistem peraturan Islam, kepolitikan Islam, dlsb, yang semuanya menjadi acuan bagi para makelar, pengasong, dan pengecer HT. Al-Nabhani pula yang membuat aturan dan pandangan-pandangan tentang sistem Khilafah, Konstitusi “Negara Khilafah”, mekanisme pemilihan seorang khalifah (pemimpin Khilafah) dan Amir (“Komandan Tentara” dalam “Negara Khilafah”), dlsb.
Sekarang kenapa al-Nabhani anti-demokrasi? Karena sistem demokrasi dipandang sebagai ancaman baginya yang berambisi menjadi pemimpin otoriter “kawasan Islam”. Karena ambisinya itulah, ia kemudian mengadopsi strategi dan taktik Komunisme-Marxisme-Leninisme. Gerakan Khilafah yang bertumpu pada “revolusi global” itu sama persis dengan Trotskyite, sayap gerakan internasonal komunis.
Dan memang, al-Nabhani dulu banyak berkoalisi dengan para pentolan Arab Komunis yang diback up oleh Uni Soviet untuk merontokkan rezim-rezim “sekuler-demokrasi” yang disponsori oleh Amerika Serikat. Selain dengan Komunis, para initiator HT juga bersekutu dengan sisa-sisa Nazi. Salah satu “guru gerakan” al-Nabhani adalah Amin al-Housseini yang merupakan pentolan dan sekutu Nazi di kawasan Arab dalam menumpas Yahudi.
Lagi-lagi, para simpatisan HTI itu dikibuli saja. Ada aroma politik berbau busuk di balik pendirian HT. Sayangnya, bau busuk itu tampak wangi karena dibungkus dengan jargon agama! Waspadalah! (Bersambung).
Sumber: Akun Facebook Sumanto Al-Qurtuby
(gerpol)