“Teman teman…sekarang kita dengarkan orasi Ibu Salma seorang penyandang disabilitas dari Cengkareng”, ucap Efendi Achmad dari atas mobil komando.
Ibu Salma? Siapa dia? Aku bangkit berdiri, berjalan mendekat ke tempat duduk Bu Salma tidak jauh dari mobil komando. Biasanya orator yang akan bicara akan naik ke mobil komando. Di atas mobil komando sang orator akan orasi.
Tapi Bu Salma memilih bicara di tepi trotoar jalan depan pagar Kementan. Ia bilang kaki sebelah kirinya cacat. Ia berjalan dengan bantuan tongkat yang ditopang di ketiak tangan kanannya.
Bu Salma tampak lain siang itu meski keringat mengucur dari balik jilbabnya. Wajahnya begitu bersemangat. Panas terik tidak menyurutkan semangatnya menunggu giliran orasi. Ia datang bersama anak tertuanya. Sabar menunggu di bawah pohon taman depan Kementan.
Biasanya aku memimpin orasi dari atas mobil komando. Kemarin aku absen karena suaraku belum pulih. Aku hanya mengamati aksi kawal Ahok. Kali ini aku merekam orasi Bu Salma. Ia berdiri dengan satu kaki dibantu anak laki lakinya yang sigap membantunya berdiri. Ia memegang mikrophone dengan tangan kanan.
(baca: Pesan Kyai Dien Buntet, Terkait Jokowi, Ahok dan Indonesia)
Ia membuka orasinya layaknya seorang ibu bicara pada kepada anak anaknya.
” Satu nasihatku pada anak anakku…jangan kita tiru sifat ayam di kandang. Bertelur sebutir, tapi ributnya sekampung. Tapi tirulah penyu yang bertelur ratusan tapi diam dan tidak bangga”, ucap Bu Salma berapi api.
Orasi pembuka Bu Salma mendapat aplaus meriah relawan. Ia bicara dengan gelegar kuat. Bertenaga meski badannya hanya ditumpu oleh kaki kanannya saja. Kaki kirinya cacat.
” Pak Ahok saya ibaratkan bagai bunga. Bunga mawar yang harumnya sampai ke dasar lautan. Harum dan baunya tercium kemana mana. Pak Ahok adalah gubernur yang hebat, yang pintar, yang jujur di Indonesia ini.
Wahai anak anakku, mari kita berkumpul di sini untuk mengawal Pak Ahok di sidang ini agar Pak Ahok terbebas dari masalah ini. Wahai umat Islam dan umat Nasrani mari kita selipkan doa buat Pak Ahok agar Pak Ahok terbebas dari masalah ini. Karena Pak Ahok bukanlah penista agama”, ucap Bu Salma lantang berapi api diiringi tepuk tangan dari relawan yang takjub melihat orasi menggebu gebu Bu Salma.
“Saya seorang muslim memilih Pak Ahok bukan karena agamanya, tapi menghormati agamanya. Karena agama Pak Ahok untuk Pak Ahok tapi kejujurannya buat kita semua. Betulkan anak anakku?”, tanya Bu Salma yang mendapat aplaus relawan.
“Saya memilih Pak Ahok bukan sebagai pemimpin mesjid atau imam di rumah saya. Tapi saya memilih dia sebagai gubernur Jakarta pelayan Jakarta”, teriaknya lantang keras.
“Banyak yang bilang tangkap Rizieq bubarkan FPI. Benar. Saya cinta Islam tapi saya anti FPI !! Saya harapkan buat Bapak Kapolri tolong..tolong tangkap Rizieq. Tolong Bapak Kapolri tolong… tangkap Rizieq”, ujar Bu Salma sambil mengatupkan kedua tangannya.
“Bukan Ahok yang membuat kita masuk neraka atau surga tapi akhlak dan amal perbuatan kita. Oleh karena itu anak anakku pandai pandailah meniti buih agar sampai ke tepian, tapi kita harus lebih pandai mengkaji diri agar selamat sentosa di kemudian”, ucap Bu Salma menutup orasinya dengan nasihat pantun. Semua relawan bertepuk tangan mendengar orasi Bu Salma yang luar biasa.
Usai Bu Salma menutup orasinya dengan doa, sontak relawan yang melihat dan mendengarnya bicara mendatanginya. Mereka datang untuk memeluk, mencium, menjabat tangan Bu Salma yang telah menyuarakan suara hati yang tulus dan jujur. Ada yang menangis haru.
(baca: Panggung Lucu Para Saksi Palsu)
Aku menyaksikan drama keharuan di antara banyak orang yang tidak saling mengenal di sana. Drama keharuan itu mengalir spontan dalam jiwa para relawan. Semua meleleh dalam haru karena ada satu bahasa yang mengalir dalam relung jiwa mereka. Ahok tidak pernah menista agama tapi dipaksa masuk pengadilan karena tekanan massa.
Aku mendekat dan menjabat tangan Bu Salma. Kuucapkan terimakasih atas suara gelegar yang menembus akal dan pikiran banyak orang. Mewaraskan banyak orang. Menyentuh hati banyak orang. Bu Salma membalas dengan senyum hangat.
Aku duduk disebelahnya. Mengajaknya bicara. Mencari tahu siapa Bu Salma dan apa motifnya hadir di depan Kementan mendukung Ahok.
“Anakku empat. Cucuku sudah tujuh. Cucuku semua sekolah dapat KJP”, ujarnya memperkenalkan diri.
Ia hadir karena dorongan hatinya sendiri. Untuk membalas kebaikan Pak Ahok yang telah membuat anak cucunya bisa sekolah. “Ini cara saya berterimakasih kepada Pak Ahok”, ucapnya semangat.
“Enak kali di Jakarta ada Pak Ahok. Semua sekolah dibantu. Mana ada di daerah lain begini. Lihat Medan??? Ada gak dapat bantuan seperti cucu cucuku? Pejabatnya korup semua”, ujarnya berapi api memuji Pak Ahok sambil mendamprat pejabat korup di Medan.
Aku hanya tertawa kecut mendengar uneg uneg Bu Salma yang nampaknya sudah berada pada level dongkol bukan kepalang. Dongkolnya sudah ke ubun ubun.
“Ini Ahok, orang paling jujur, orang paling baik malah dicoba dijegal?? Mereka yang mau menjegal itu karena pundi pundi jarahannya distop sama Pak Ahok !!”, ujar Bu Salma menjelaskan mengapa Ahok dibombardir musuh politiknya dari kiri kanan atas bawah depan belakang.
Wajahnya semakin menegang. Matanya mulai membasah. Berkaca kaca. Ia membetulkan kakinya. Tampak telapak kaki kirinya membengkok ke kiri. Telapak kakinya terlihat kecil, kira kira seperti kaki anak balita, menyatu dengan betis kaki yang tidak sama besarnya dengan kaki kanannya.
“Sejak kecil Ibu lahir begini nak. Tapi ibu tidak pernah menyerah. Ibu tidak mengemis. Ibu bekerja keras untuk keluarga”, ujarnya bangga.
Bu Salma punya kios di Tanah Abang. Ia membuka praktik pijat di sana. Sehari hari Bu Salma mencari nafkah menjual keahlian pijat kesehatan yang sudah dikuasainya sejak lama.
“Umur ibu sudah 65 tahun nak. Tak ada lagi yang hendak ibu inginkan. Tapi ibu tidak terima jika Pak Ahok, orang paling baik diperlakukan seperti penjahat. Ibu tidak habis pikir mengapa ada orang begitu keji dan jahat mau memenjarakan Pak Ahok?”, ujarnya sambil menunggu jawabanku.
Aku hanya geleng geleng kepala saja. Aku melihat sinar mata Bu Salma yang nelangsa. Ia tahu arti terimakasih. Ia tidak bisa membantu Pak Ahok dengan cara lain. Ini kali kedua Bu Salma hadir di Kementan memberi suport. Menyuarakan suara kebatinannya yang marah pada orang munafik.
Siang terik itu, aku menyaksikan pembela Ahok yang tidak disangka sangka. Pembela yang datang atas kehendak sendiri utuk membela Ahok orang tak bersalah. Mereka datang tanpa diundang. Mereka datang tanpa diajak.
Mereka tahu ada aksi kawal Ahok dan bersama sama melebur menjadi rantai kuat dalam mengawal Ahok dari pencaci maki penyumpah sumpah serapah yang keterlaluan. Ahok tidak boleh lagi dibiarkan berjalan sendirian. Ahok tidak boleh lagi dibiarkan bersidang sendirian.
Bu Salma yang sudah tua dari Cengkareng, seorang penyandang disabilitas mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya untuk membela Ahok dari sumpah serapah caci maki.
Bu Salma di bawah terik matahari berdiri dengan satu kaki selama sepuluh menit membela Ahok dengan gelegar suara yang merontokkan penghujat Ahok.
Dengan satu kaki, Bu Salma mampu bertahan menyuarakan kemarahannya yang terpendam. Kemarahannya pada mereka yang bersiasat jahat mau menjatuhkan Ahok dengan cara keji. Semua itu karena cintanya pada Ahok, Gubernur yang dikaguminya.
Salam Perjuangan
Birgaldo Sinaga