Jauh-jauh Didatangkan Ke Indonesia, Zakir Naik Ceramah Hanya Untuk Gampar PKS dan Cecunguknya

500885
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Al Maidah 51 Cuma dimainkan untuk Ahok Saja

Dr. Zakir Naik, Ustadz yang terkenal karena debat-debat perbandingan agamanya akhirnya datang dan ceramah di Indonesia. Kedatangannya pun tepat di momen Pilkada DKI yang memanas karena isu soal al-Maidah 51.

Bagi kalangan pendukung gubernur muslim di Pilkada DKI, al-Maidah 51 tak dapat dipahami lain, ayat ini merupakan perintah setiap muslim harus memilih gubenur muslim.

Baca:

Kembali pada sosok Zakir Naik, ustadz satu ini telah memulai tur ceramahnya, diantaranya di kampus UPI Bandung.

Dari ceramah Zakir Naik di kampus UPI ini kemudian beredar satu dialog soal haramnya memilih pemimpin kafir seperti berikut:

“Nama Saya Sofi dari Jakarta, saya hadir di sini Spesial untuk Anda (Dr Zakir Naik). Berdasarkan Pilkada di Indonesia, apa yang terjadi di sini adalah, Apakah dakwah atau pengrusakan saat Anda megumpulkan massa dan mengarahkan mereka untuk TIDAK memilih pemimpin kafir, meskipun orang tersebut sudah terbukti bekerja dengan sangat bagus membangun negara dan kota.”

“Apakah dakwah atau pengrusakan, saat Anda meminta masyarakat menutup mata dan telinga atas bukti nyata kinerja pemimpin kafir yang Luar Biasa tersebut? Jadi dimana letak Toleransinya jika seperti itu?”

Tanya saudari Sofie sembari menambahkan informasi bahwa dirinya terlahir di keluarga muslim dan ber KTP Islam, namun dia tidak mempercayai agama apapun.

Dan di awal Dr Zakir Naik menjawab “Bahwa seorang muslim dilarang memilih pemimpin kafir, meskipun sudah membangun infrastruktur yang baik”

“Pemimpin kafir ini tidak hanya membangun gedung, tapi juga bersikap baik dengan menghapus kemiskinan dan membangun masjid, lebih banyak masjid dan lebih banyak masjid” ujar saudari sofie menambahkan keterangannya.

Dan seraya langsung dijawab oleh Zakir Naik “Munafik, Dia membangun tempat ibadah untuk muslim tapi dia sendiri tidak sholat, Munafik”

Kemudian Dr Zakir Naik dengan tenang melanjutkan jawabannya:

“Di Al-Quran (Al-Maidah 51) disebutkan kata Aulia, yang pada konteksnya tidak selalu pemimpin namun, Kata Pemimpin termasuk dalam terjemahan kata Aulia dan pada konteks yang dimaksud ayat tersebut Aulia juga bisa diartikan sebagai pemimpin.” Ujar Dr Zakir Naik.

“Dan janganlah sekali-kali kamu (umat muslim) menjadikan mereka (non-Muslim) sebagai Aulia. Dan jika kamu melakukannya maka kamu termasuk dalam golongan mereka” Ujar Dr Zakir Naik mengutip terjemahan bebas dari Surat Al Maidah 51.

“Dan saat kita menterjemahkan Al-Quran, tafsir terbaik adalah dengan merujuk pada Al-Quran itu sendiri, kemudian baru merujuk pada tafsir dari hadist shahih.

Dalam ayat lain Allah memerintahkan Umat Islam agar selalu berbuat baik pada Non-Muslim (Kafir), Tapi Allah mengecualikan satu hal, Kalian Umat Islam yang beriman Jangan memilih Non-Muslim (Kafir) sebagai Aulia, teman sejati, penolong, pemimpin.

Jika ada dua pilihan pemimpin, yang satu kafir dan yang satu muslim, kemudian kita sebagai muslim memilih pemimpin kafir, maka pertolongan Allah tidak akan datang.” Ujar Dr Zakir Naik.

Zakir Naik melanjutkan bahwa “Itulah Perintah Allah, dan Perintah ini bukan ditujukan untuk Non-Muslim, Jadi Non-Muslim tidak diwajibkan mengikuti perintah ini.

Namun perintah ini ditujukan kepada Muslim yang percaya kepada Al-Quran.” Ujar Dr Zakir Naik yang diikuti dengan pertanyaan

“Jadi sebaik apapun orang tersebut untuk dijadikan pemimpin, Jika tidak sesuai dengan perintah Al-Quran, Maka kita sebagai seorang muslim yang taat, akan meninggalkannya.” Sanggah Zakir Naik seraya menyindir orang-orang yang mendukung pemimpin kafir dan meninggalkan perintah Al-Quran.

Pertanyaannya sekarang, membahas Al-Maidah 51 tentang haramnya seorang muslim memilih calon pemimpin non muslim kenapa hanya berlaku di JAKARTA?

Bahkan PKS, partai pendukung Anies Baswedan – Sandiaga Uno pun ternyata tak sekali saja mendukung pemimpin non muslim untuk maju di pentas Pilkada.

Di Pilkada 2017 yang baru saja berlangsung, setidaknya PKS mendukung 15 pasangan CALON NON MUSLIM. Diantaranya di Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kota Ambon, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Lembata, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Pulau Morotai, Kabupaten Mappi, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Dogiyai, dan Provinsi Papua Barat. Belum lagi di pilkada-pilkada sebelumnya.

Alasannya di tempat umat Islam minoritas PKS bisa mengusung pasangan non muslim. Seperti misalnya di Papua Barat, yang semua calon gubernurnya memang dari non muslim.

Namun meski demikian tak lantas hal itu menjawab kegelisahan bangsa Indonesia mengenai karut marutnya Pilkada DKI yang begitu kental dengan politisasi ayat. Di Pilkada DKI hanya ada satu penafsiran tunggal terkait al-Maidah 51, HARAM MEMILIH AHOK yang NON MUSLIM itu.

Bukankah ini tamparan keras bagi umat Islam yang terlanjur demo berjilid-jilid mengatakan AHOK menista agama karena bilang ‘jangan mau dibohongi pakai al-Maidah 51’. Umat Islam kadung percaya hanya ada satu penafsiran tunggal atas al-Maidah 51, tidak boleh memilih gubernur kafir titik!.

Meski kenyataannya, parpol-parpol Islam semacam PKS yang lebih memilih penafsiran tunggal pada al-Maidah 51, tetap mengusung pemimpin non muslim di berbagai daerah. PKB dan PPP masih membuka ruang untuk menyebut al-Maidah 51 sebagai persoalan khilafiyah. Tetapi jelas, setidaknya yang senter menyebar saat ini, bagi PKS dan pendukungnya yang tengah mengusung Anies-Sandi, tak ada penafsiran lain.

Ketidakonsistenan itu bermula dari para politisi Islam sendiri. Kalau memang al-Maidah 51 dimaknai tunggal, HARAM umat Islam memilih pemimpin kafir, kenapa masih ada pengecualian. Dan itupun hanya di DKI Jakarta. Kenapa hanya berlaku di DKI Jakarta?

Sebagai non muslim dan tengah bersiap-siap menghadapi pertarungan Pilkada DKI, Ahok tentu melihat adanya ketidakberesan. Tentu jauh-jauh hari sebelumnya partai Islam seperti PKS juga mendukung pasangan calon non muslim di Pilkada-pilkada lalu.

Secara naluri dapat kita pahami, kenapa kemudian lontaran AHOK soal adanya para politisi yang gemar mempolitisi ayat muncul sebegitu lugas. Ahok yang suka blak-blakan dengan ceplas ceplos kemudian melontarkan komentar ‘jangan mau dibohongi pakai al-Maidah 51’. Jelas argumen AHOK bukan tanpa dasar. Tapi karena para politisi yang gemar mempolitisi ayat tidak konsisten dengan diri dan firman Tuhan mereka sendiri.

Ya kalau hanya penafsiran tunggal pada al-Maidah 51, pasti berlakunya juga untuk semua daerah, mau yang muslim minoritas maupun mayoritas. Kecuali anda bilang bahwa penafsiran al-Maidah 51 memang masih bersifat khilafiyah, masih debatable, ada yang membolehkan, dan ada yang saklek tidak membolehkan memilih pemimpin non kafir.

Sehingga di JAKARTA pun berlaku begitu. Jadi tidak menjadi persoalan kemudian kalau di JAKARTA ada muslim yang memilih calon GUBERNUR NON MUSLIM, dan ada yang wajib baginya memilih GUBERNUR MUSLIM. Baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan memiliki dasar sendiri dan tak perlu dipertentangkan.

Lalu tak perlu juga ada cerita jenazah muslim pendukung AHOK tak boleh dishalatkan, atau dimakamkan di kuburan muslim. Tak perlu juga ada julukan muslim MUNAFIK karena mendukung AHOK-DJAROT. Dan tentu pasti tak bakalan ada cerita demo berjilid-jilid yang menghabiskan dana milyaran rupiah, ditunggangi dugaan agenda makar pula.

Sayangnya tidak bagi PKS, politik tetap politik, khusus JAKARTA al-Maidah 51 berlaku, menafikan 15 daerah ternyata boleh memilih pemimpin non muslim. Betapa naifnya! Dan kemudian kedatangan Zakir Naik ke Indonesia pas di momen Pilkada DKI kembali menegaskan soal haramnya memilih Pemimpin non muslim. Uh, betapa tak langsung Zakir Naik datang menampar muka PKS yang mengusung sekian puluh Pemimpin non muslim di berbagai Pilkada di Indonesia. Benar-benar tamparan keras.

Oleh: Ahmad Khan

(detikmetro/gerpol)