Masih ingat dengan Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno, yang memasang foto profil WhatsApp dengan foto kegiatan doa bersama di Monas yang dikenal dengan nama Aksi Super Damai 212 di Monas?
Sebagai Ketua KPU DKI Jakarta yang seharusnya bersikap netral di Pilgub DKI 2017, tindakannya yang memasang foto profil foto “Aksi Super Damai 212” yang sejatinya merupakan aksi anti-Ahok, merupakan suatu masalah.
Meskipun Sumarno telah mengklarifikasikan perbuatannya itu dengan menyangkal ia telah menunjukkan sikap keberpihakannya dengan pemasangan foto profil tersebut, sulit rasanya untuk menyingkirkan begitu saja rasa curiga bahwa sebenarnya ia memang berpihak kepada aksi tersebut yang sejatinya sangat kuat muatan politisnya.
Baca Juga:
- Undangan Aksi Pecat dan Ganti KPUD DKI
- Banyak Pelanggaran dan Kecurangan, Ganti KPU DKI
- Mampus DKPP Bakal Selidiki Pertemuan KPU DKI dengan Anies
Sumarno mengatakan ia tetap netral, dan pemasangan foto profil aksi super damai itu hanya merupakan suatu kebetulan, karena tertarik dengan foto itu yang sudah menjadi viral di dunia maya, ia lalu memasangnya di profil WhatssApp-nya. Kata dia, aksi doa bersama di Monas itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Padahal semua orang tahu bahwa meskipun disangkal aksi tersebut sesunggunya merupakan suatu gerakan politik yang dibungkus dengan agama untuk menyingkirkan Ahok sebagai calon gubernur DKI terkuat, yang dicurigai pula sponsor utamanya berada di Cikeas demi memuluskan calon nomor urut satu: Agus Yudhoyono – Sylvia Murni.
Apapun alasannya, jujur atau tidak, sebagai Ketua KPU, Sumarno juga harus paham bahwa lepas dari apakah benar aksi super damai yang diselenggarakan oleh GPNF-MUI yang dikoordinasi oleh FPI itu bermuatan politik atau tidak, yang pasti aksi itu sudah menimbulkan kontraversi yang sangat tajam, sehingga seharusnya sebagai Ketua KPU DKI Jakarta, ia menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang bisa dikaitkan dengan aksi tersebut.
Mungkin karena terlalu bersemangat, secara spontan Sumarno telah menunjukkan keberpihakannnya itu. Setelah dipermasalahkan, dituduh tidak netral, ia pun takut dicopot, lalu ia menyangkal tuduhan itu dengan argumen foto itu dipasang di profil WhatssApp-nya tanpa maksud apa-apa, dan bahwa aksi itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pilgub DKI Jakarta, padahal publik menilai sebaliknya.
Untuk menghilangkan rasa curiga publik terhadap kenetralan KPU DKI Jakarta, seharusnya Sumarno sudah dicopot dari jabatannya itu, minimal diskor sampai pilgub DKI selesai diselenggarakan.
Tetapi itu tidak dilakukan, Sumarno masih menjadi Ketua KPU DKI Jakarta sampai sekarang.
Kredibilitas kenetralan KPU dan Bawaslu menjadi diragukan, setelah terungkap pula bahwa ternyata Ketua Bawaslu, Muhammad, yang kini mencalonkan dirinya untuk menjadi Komisioner KPU periode 2017-2022 pernah menjadi anggota Front Pembela islam (FPI) di Makassar, Sulawesi Selatan.
Ketika ditanya oleh anggota tim seleksi calon komisioner KPU Erwan Agus Purwanto: “Apa benar Bapak pernah bergabung dengan FPI di Sulawesi Selatan?”
Muhammad mengakuinya, bahwa ia memang pernah menjadi anggota FPI di makassar, Sulawesi Selatan, namun tidak sampai masuk di level struktural. Aktifitasnya di FPI pun, kata dia, sudah lama dihentikan, sebelum menjadi Ketua Bawaslu.
Pertanyaannya: Setelah tidak lagi menjadi anggota FPI, apakah Muhammad juga sudah melepaskan paham yang dianut dengan keras oleh FPI, yaitu bahwa hanya orang beragama Islam saja yang boleh menjadi pimpinan di NKRI ini?
Jika belum, patut diduga Muhammad masih merupakan seorang simpatisan FPI dengan segala macam paham radikalisme dan intoleransinya. Dengan demikian tentu saja kredibilitasnya sebagai pihak yang netral sebagai salah satu syrat menjadi Ketua Bawaslu dan Ketua KPU, menjadi diragukan.
Dengan statusnya yang meragukan itu sungguh sangat disayangkan Muhammad ternyata bisa lolos seleksi bahkan sampai menjadi Ketua Bawaslu, dan kini mencalonkan diri untuk menjadi pimpinan KPU Pusat, yang akan menjadi penyelenggara dan penanggung jawab pemilihan umum untuk periode 2017-2022, termasuk kelak pilpres 2019.
Jangan sampai KPU pun kelak dipimpin oleh orang-orang yang ternyata diam-diam merupakan bagian dari atau simpatisan ormas-ormas radikal dan intoleran, atau yang punya paham politik yang sama dengan mereka.
(kompasiana/gerpol)