Siapa yang tak kenal —meski bukan secara pribadi— atau setidaknya pernah mendengar tentang Hj. Irena Handono (selanjutnya disingkat HIH)?
Kisah perjalanan hidup satu-satunya anak perempuan, bungsu dari lima bersaudara, yang lahir di Surabaya dalam sebuah keluarga Katolik, namun kemudian menjadi mualaf setelah gagal menjadi biarawati ini banyak yang meng-copas & menyebar kisahnya itu di blog mereka maupun di media sosial seperti Facebook.
Setidaknya ada 2 versi hasil wawancara media (harian Republika & Majalah Hidayah) yang tampaknya menjadi sumber copas. Sayangnya sebagian besar yang meng-copas tidak mencantumkan keterangan tentang sumber aslinya. Selain itu ada VCD resmi dari lembaga dakwah HIH sendiri, Irena Center, yang diperbanyak oleh entah berapa banyak fans-nya di Nusantara tercinta ini.
Bagi yang jeli, paham atau setidaknya memiliki gambaran tentang tahapan menjadi seorang biarawati, akan menangkap beberapa kejanggalan yang mengindikasikan adanya upaya mengaburkan atau menutupi sesuatu dalam kisah masa lalu HIH yang mengaku sebagai mantan biarawati itu. Sebagian besar Muslim mungkin menyikapinya dengan “EGP, yang penting dia sekarang sudah Islam”, namun nyatanya yang penasaran & mengutamakan fakta tentang HIH tetap ada.
Semoga pembahasan ini mampu memberi jawaban atas rasa penasaran sebagian kalangan Muslim sendiri (serta siapapun yang juga penasaran) terhadap kebenaran sepenggal kisah masa lalu HIH itu, walaupun harus diakui bahwa fakta masa lalu itu mungkin sudah tak berarti apa-apa lagi bagi HIH sendiri sekarang.
Pada akhirnya, semoga bisa disadari oleh semua pembaca bahwa predikat “mantan biarawati” yang tampak sekali diandalkan sebagai “nilai jual” bagi kiprah HIH sekarang sebagai seorang da’i tak lain adalah predikat palsu.
Kejanggalan yang pertama, yang terindikasi sebagai sebuah kebohongan adalah pengakuan HIH bahwa pada tahun pertama, selain kehidupan di biara ia juga sudah dipilih ataupun diperbolehkan mengikuti kuliah di “Institut Filsafat Teologia/Seminari Agung, Fakultas Comparative Religion, Jurusan Islamologi”.
Bagi para calon pastor sendiri (karena ini di Seminari Tinggi), materi perbandingan agama ataupun Islamologi itu bukan diberikan di tahun pertamanya melainkan di tingkat akhir. Sementara yang sudah resmi sebagai suster/biarawati pun kemungkinannya kecil untuk diminta belajar Islamologi.
Status HIH sendiri di tahun pertama itu, menurut tahapan yang harus dilalui seorang calon biarawati Ordo St. Ursula atau yang lebih populer dengan sebutan Ursulin itu dalam situs resminya ini (klik), adalah seorang Aspiran, yang walaupun sudah boleh tinggal & beraktivitas di dalam biara selama 1-2 tahun sebagai proses mengenal cara hidup dalam biara tersebut sekaligus mendalami apakah memang terpanggil kepada kehidupan seperti itu, namun ia masih sebagai seorang awam yang bahkan belum sah menjadi calon biarawati apalagi untuk menyandang sebutan “biarawati”.
Baru—ini mengutip saja apa yang dijelaskan dalam situs resmi Ursulin tersebut— “kalau ia ingin masuk, ia dapat melamar menjadi postulan selama satu atau dua tahun”. Jadi, kalaupun materi itu memang diberikan kepada seorang biarawati, HIH belum berhak mendapatkan kesempatan itu.
Walaupun demikian, demi pembahasan ini maka klaim HIH bahwa dia adalah salah satu dari dua orang biarawati yang dipilih untuk mengikuti kuliah di Seminari itu kita anggap saja sebagai fakta. Tinggal kita lihat apa konsekuensinya pada tahapan proses HIH menjadi biarawati.
[Note: institusi yang sekarang disebut Seminari Tinggi memang pernah (di era 1950-an) disebut Seminari Agung (lihat contoh ini & ini), ataupun belakangan juga disebut Institut Filsafat-Teologi].
Dalam kuliahnya itu, HIH mengaku sempat berdebat dengan dosennya, yang menjadi awal keraguan iman HIH pada ajaran Katolik. Kondisi keraguan iman ini, jika mengacu pada apa tujuan dari aktivitas pada masing-masing tahapan yang harus dilaluinya, akan membuat HIH mustahil diijinkan melanjutkan ke tahap selanjutnya (dari Aspirat menjadi Postulat). Selama tak mampu mengatasi keraguan imannya itu, ia tak akan pernah mencapai status layak dilantik menjadi biarawati, berapapun lamanya ia memaksa untuk tinggal di biara.
Secara psikologis pun tak masuk akal pula jika dalam kondisi seperti itu HIH sendiri masih punya keinginan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya di biara. Sebagai konsekuensi logisnya, pilihan bagi HIH adalah untuk keluar/berhenti dari biara atas keputusan pribadi (dan kepada publik menyatakan alasannya adalah karena sakit dsj., agar kegagalannya di biara tidak terlalu mencolok, hehe..), atau menunggu dikeluarkan sesuai ketentuan tahapan-tahapan keanggotaan biara Ursulin. Ini berarti kehidupan HIH di biara tak akan lebih dari 2 tahun tahapan Aspirat itu.
Kejanggalan yang kedua ada pada pengakuannya bahwa ia sakit “menjelang pelantikan sebagai Suster”.
Jika kita lihat kembali pada situs resmi Ursulin tadi, yang disebut HIH sebagai “pelantikan menjadi Suster” kemungkinan besar adalah (1) ikrar kaul pertama/kaul sementara yang dilakukan pada tahapan Novisiat (setelah minimal 5 tahun sejak masuk ke tahap Aspirat), atau (2) peralihan dari tahapan Postulat ke Novisiat (3-4 tahun sejak masuk ke tahap Aspirat). Maka kalau kita melihat apa yang terjadi pada HIH, dimana dia sudah keluar 1-2 tahun sebelum kemungkinan makna pelantikan yang terdekat, maka pengakuan itu menjadi tak logis karena masa 1-2 tahun bukanlah masa yang bisa dibilang dekat/singkat antara waktu pelantikan menjadi Suster terhadap momen keluarnya HIH dari biara.
Sekeluarnya dari biara, HIH mengaku kuliah di Atma Jaya. Tak ada kejelasan kapan tepatnya ia mulai kuliah ataupun kapan lulusnya, serta mengambil jurusan apa. Ia hanya bercerita bahwa di Atma Jaya kemudian menikah dengan seniornya yang aktivis kampus. Tujuannya, menurut pengakuan HIH sendiri, adalah karena ia berharap keraguan imannya bisa hilang. Namun itu tidak berhasil; kehidupan perkawinannya diisi dengan perdebatan tentang agama hingga akhirnya kandas setelah HIH memutuskan untuk menjadi mualaf pada tahun 1983. Pernikahan pertamanya ini konon hanya berusia 5 tahun dengan dikaruniai 3 orang anak. Kalau dihitung berarti HIH menikah pada tahun 1977-1978.
Sementara itu, HIH juga menyebut bahwa saat menjadi mualaf pada tahun 1983 itu adalah 6 tahun setelah keluar dari biara. Itu akan berarti ia keluar pada tahun 1977-1978. Sementara kita sudah menghitung bahwa HIH tidak mungkin lebih dari 2 tahun di biara (artinya maksimal sampai tahun 1975). Kalau benar HIH keluar pada tahun 1977-1978, artinya dia keluar dari biara langsung menikah? Lalu tahun berapa masuk Atma Jaya, berapa lama kenal dengan seniornya itu sebelum menikahinya? Apa baru kenal langsung diajak menikah? Bukankah dia mengaku keluar dari biara dalam keadaan sakit sehingga harus masuk Rumah Sakit? Sibuk benar dia di tahun 1977-1978 itu kalau begitu; masuk Rumah Sakit, mendaftar kuliah, dan menikah? Jika ditambah fakta bahwa tahapan persiapan pernikahan Katolik tidak singkat, semua hal ini menjadi kejanggalan yang ketiga.
Akan lebih masuk akal jika kita pegang tahun 1975 sebagai tahun keluarnya HIH dari biara. Karena berarti ia menikah setelah kenal seniornya itu setidaknya 2 tahun. Dan itu artinya dia bukan di biara selama “bertahun-tahun” sebagaimana dikatakan dalam versi kisah berbeda di beberapa blog lain.
Dalam postingan berbagai blog, termasuk di blog milik Sally Setianingsih, staf lembaga dakwah (ataukah anak perempuan?) HIH sendiri yang menjadi salah satu referensi saya, bisa kita lihat bahwa umur yang disebutkan saat HIH menjadi mualaf pada tahun 1983 adalah 26 tahun, padahal kalau dihitung maka yang benar adalah 29 tahun. Apakah ini typo yang luput dari perhatian staf/anak perempuan HIH sendiri yang seharusnya bisa memberikan kisah yang lebih kredibel & personal, yang bukan hanya copas?
Kemungkinannya adalah HIH sendiri yang keceplosan karena terbawa oleh pernyataannya sendiri bahwa ia menjadi mualaf “6 tahun setelah keluar dari biara” tanpa mengacu kapan tepatnya tahun ia menjadi mualaf itu. Karena jika HIH keluar dari biara sebelum genap 2 tahun masa Aspirat, berarti dia keluar pada umur 20 tahun lebih sekian bulan, maka “6 tahun setelah keluar dari biara” memang umurnya 26 tahun. Akibat keceplosan ini, indikasi kapan sebenarnya dia keluar dari biara sekaligus berapa lama dia di sana menjadi lebih jelas.
Dari semua rangkaian fakta ini, kesimpulannya tetap bahwa HIH berbohong dan tidak tidak berhak menyebut diri sebagai “mantan biarawati” karena saat keluar dari biara Ursulin ia tetap sebagai seorang awam yang tak pernah dilantik menjadi biarawati. Sungguh disayangkan bahwa seorang da’i yang seharusnya mengajarkan akhlak mulia, namun keukeuh memelihara sebuah kebohongan.
Kesaksian Sr Lucyana Bongkar Kebohongan Hj Irena Handono
Berikut adalah kesaksian Sr Lucyana dari Biara Ursulin yang pernah dimuat tabloid Sabda tahun 2005 tentang Hj Irena Handono setelah kesaksian kemantan-biarawatiannya beredar meluas lagi.
Menurut kesaksian Sr. Lucyana, Irene masuk postulan biara Suster Ursulin tahun 1974 di Jalan Supratman I Bandung. Hanya beberapa bulan sebagai postulan, karena selanjutnya dia tidak diterima untuk melanjutkan ke tahap berikutnya yang diawali dengan proses “kleding” (penerimaan pakaian suster).
Alasannya tidak diterima karena Irene mengidap berbagai penyakit seperti asma, sehingga sampai kasur tidur harus special tidak seperti kasur-kasur biarawati yang lain, selain itu Irene juga membawa motor pribadi merk Suzuki.
Maklum orang tuanya adalah pengusaha pabrik plastik dan peternakan ayam di Jawa Timur. Lebih dari itu, ada kekhususan yang dimiliki Irene, yaitu irene tidak lebih dulu melalui tahapan pengenalan selama 1 tahun (aspiran) sebagaimana biasanya, melainkan langsung menjadi postulan yang merupakan tahap kedua setelah aspiran.
Saat postulan Irene mendapat tugas studi filsafat di Jalan Pandu yang sekarang menjadi Fakultas Filsafat dan Teologi Bandung. Tetapi, berhubung dia tidak diterima untuk proses kleding, maka ia hanya beberapa bulan saja studi filsafat dan berhenti, menurut Suster Lucy, ia baru pada tahap Pengantar Ilmu Filsafat dan Sejarah Gereja. Karena tidak bisa melanjutkan pada proses tahap selanjutnya di biara, dia pun pindah ke Jakarta dan tinggal di asrama putri St.Ursula di Jalan Pos II.
Kemudian Irene masuk kuliah di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Sebagai mahasiswa dia harus melanjutkan proses ploncoan. Pada saat orientasi itulah dia mengenal seorang senior bernama Maxi Sintu Da Rato yang menjadi pemimpin plonco, yang pada akhirnya menjadi suaminya pada tahun 1975 mereka menikah di gereja Katolik Pacet, Mojokerto, Jawa Timur.
Dari pernikahan itu Tuhan mengaruniai 3 orang anak. Pasangan ini tidak langgeng. Karena itu keduanya berpisah. Kabarnya, Irene akhirnya hidup dengan seorang pria Arab-Pakistan, yang bekerja pada perternakan warisan ayahnya yang dipercaya kepada mantan suaminya Maxi.
Lebih lanjut teman-teman yang seangkatan yang sudah menjadi suster antara lain: Sr. Engeline menjadi kepala sekolah SMP Vincentius Putri Jakarta di Jalan Otista, Jakarta Timur, Sr. Imelda, suster di St. Theresia Jl. Sabang, Jakarta, Sr. Benigna yang dulu pemimpin postulan dan novisiat Biara Ursulin di Bandung, dan kini tinggal di biara Otista.
Jadi dengan tegas Sr. Lucyana mengatakan bahwa Irene bukan mantan biarawati, karena tahapan menjadi seorang biarawati tidak dilalui Irene.
Menurutnya, tahapan menjadi biarawati Ursulin adalah pada saat menerima pakaian suster (kleding) atau masuk masa novisiat. Masa itu harus dijalani selama setidaknya 2 tahun. Kemudian masa yunior dengan mengikrarkan kaul pertama yang harus dijalani 5 tahun.
Setelah itu baru seorang biarawati menjadi biarawati sesungguhnya dengan mengikrarkan kaul kekal. Dengan demikian klaim Irene bahwa Ia adalah mantan biarawati sampai belajar di perguruan tinggi teologi sama sekali tidak benar.
Sumber: komunikatolik.wordpress.com, semakinra.me