Kekalahan Ahok Adalah Bukti Meningkatnya Kekuatan Kelompok Radikal di Indonesia

493
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
212

Meskipun beragama Kristen, Ahok adalah Gubernur Jakarta di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Kemudian, dalam sebuah pidato di Kepulauan Seribu saat meresmikan budidaya ikan kerapu pada bulan September lalu, pidatonya dipelintir oleh Buni Yani. Sebuah video, diedit untuk membuatnya tampak bahwa dia telah mengatakan bahwa kitab suci umat Islam menyesatkan orang, menjadi viral di Facebook.

Ahok dituduh melakukan penghujatan, demonstrasi massal dimobilisasi melawan dia dan Ahok sudah menyampaikan permintaan maaf jika dirasa menghujat dan melecehkan Islam karena sama sekali hal tersebut tidak pernah dia lakukan, Ahok dikalahkan dalam pemilihan putaran kedua bulan lalu.

“Setengah menit menghancurkan karirnya,” kata Komaruddin Hidayat, mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kalahnya Ahok adalah tanda paling menonjol dari praktek politisasi Agama di Indonesia. Demokrasi sekuler yang moderat dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia dalam banyak hal memberikan penyeimbang terhadap bentrokan sektarian dan peraturan otokratis yang telah melanda negara-negara Muslim di Timur Tengah, sekitar 5.000 mil jauhnya.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, Muslim radikal yang telah mencoba mengubah Indonesia menjadi negara Islam yang ketat telah berangsur-angsur mendapat pengaruh, menghasilkan serangkaian kemenangan yang signifikan.

Selagi Pemilu DKI Jakarta sedang berlangsung, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang kurang diperhatikan oleh masyarakat, namun bisa memiliki dampak yang lebih luas. Mahkamah menetapkan undang-undang yang mengizinkan pemerintah membatalkan undang-undang lokal yang diskriminatif, seperti perda berbasis Agama yang mengatur moralitas atau perilaku perempuan.

Perda jelas memberikan angin segar bagi kelompok Islam untuk menghasilkan keuntungan terbesar. Sejak tahun 1998, dengan diperkenalkannya demokrasi dan desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah, lebih dari 440 peraturan daerah telah diadopsi menerapkan elemen hukum Islam, atau syariah, seperti mewajibkan wanita mengenakan hijab atau membatasi penjualan alkohol, menurut Michael. Buehler, seorang dosen senior di University of London School of Oriental and African Studies, dalam bukunya “The Politics of Shari’a Law.”

“Agama telah dipolitisasi dalam pilkada, dan kami melihat hal itu muncul dalam pemilihan gubernur di Jakarta,” kata Melissa Crouch, seorang dosen senior di Universitas New South Wales di Sydney yang meneliti sistem hukum Asia. “Demokrasi memberi ruang lebih besar kepada semua orang, termasuk ruang yang lebih besar untuk Islam radikal.”

Sementara tujuan akhir dari mereka yang mempromosikan undang-undang semacam itu adalah negara Islam, prospek itu tampaknya jauh. Indonesia tetap toleran dan moderat. Di Jakarta, ibu kota, banyak wanita Muslim bersosialisasi dengan bebas dengan laki-laki, mengendarai sepeda motor dan turun memakai jilbab. Dan juga Partai-partai Islam yang berazas syariah belum bernasib baik dalam pemilihan nasional.

Tapi kelompok Islamis terus menekan berbagai bidang.

Ada upaya untuk mengubah undang-undang nasional: Ada RUU, sebelum Parlemen melarang alkohol secara nasional, sementara Mahkamah Konstitusi sedang mendengarkan sebuah petisi oleh kelompok Islam yang menuntut agar seks homoseksual dilarang dan bahwa hukum perzinahan diperluas untuk mengkriminalkan seks di antara orang-orang yang belum menikah.

Hukum penghujatan, yang jarang digunakan sebelum tahun 2004, telah digunakan di lebih dari 120 kasus, membantu membangun dukungan bagi kelompok Islam dan pembungkaman pendapat, kata Andreas Harsono, perwakilan Indonesia untuk Human Rights Watch.

Sebuah brigade moralitas bernama Front Pembela Islam, yang paling dikenal dalam hal perusakan, baru-baru ini menyerang orang-orang untuk menjual makanan pada bulan Ramadhan atau mengenakan pakaian Santa saat Natal.

Meskipun hal semacam itu oleh kelompok aktivis bukanlah hal yang baru, tapi yang paling menonjol dalam Pilkada DKI adalah penerimaan isu penistaan Agama secara diam-diam oleh Muslim moderat, banyak di antaranya tersinggung oleh penghinaan terhadap agama mereka.

Kelompok radikal mengorganisir demonstrasi dengan tajuk “Aksi Bela Islam” dengan banyak seri sesuai tanggal bulan pelaksanaan, menuntut Ahok dipenjara atau dibunuh dan memperingatkan umat Islam akan konsekuensi mengerikan jika mereka memilih seorang Kristen. Puncaknya pada demo 212, sekitar setengah juta orang pada sebuah demonstrasi di bulan Desember. Cukup mengejutkan untuk Jakarta yang kosmopolitan, bahkan banyak pemrotes telah dipindahkan dari daerah pedalaman yang lebih konservatif (demo impor)

Tak satu pun dari saingan Ahok secara terbuka mempertanyakan tuduhan penghujatan tersebut, Bahkan membentuk aliansi dengan kaum radikal.

Anies Baswedan, mantan menteri pendidikan moderat yang memenangkan Pilkada, mengunjungi markas Front Pembela Islam dalam kampanye, berkampanye dalam kelompok tersebut dan bersebelahan dengan Rizieq Shihab, duduk di sisinya.

Bahkan Presiden Joko Widodo, yang di isukan sebagai pendukung Ahok, muncul tak terduga pada reli Desember di samping Rizieq, berterima kasih kepada orang banyak karena mengadakan demonstrasi damai.

Kedua hal tersebut menunjukkan seberapa besar pengaruh militan terhadap kampanye pemilihan.

Salah satu kelompok di balik demonstrasi tersebut adalah Hizbut Tahrir, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk menciptakan sebuah negara yang diatur oleh bentuk syariah yang keras, termasuk perzinahan harus dirajam dan pemotongan tangan pada pencuri. Ismail Yusanto, juru bicara HTI di Indonesia mengatakan “Dari perspektif Islam, negara hanya ada satu tujuan,” katanya, “bagaimana menerapkan Syariah.”

Kelompok ini dilarang di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim.

“Ini adalah ideologi yang berpotensi mengancam demokrasi,” kata Yenny Wahid, direktur Wahid Institute, sebuah pusat penelitian Islam yang didirikan oleh ayahnya, mantan presiden Abdurrahman Wahid.

Dia menyamakan seruan syariah ini dengan proposal populis yang ditawarkan oleh Trump. “Bangunlah tembok. Potong tangan orang. Ini adalah solusi yang sangat sederhana untuk masalah di masyarakat “katanya.

Faksi lain di balik demonstrasi tersebut adalah Salafi, sebuah gerakan yang dipimpin oleh Saudi yang mencoba kembali ke bentuk murni Islam dikatakan telah dilakukan oleh Nabi Mohammad dan generasi pertama umat Islam. Sejak tahun 1980an, Arab Saudi telah mendanai puluhan sekolah, beasiswa, distribusi materi keagamaan dan pembangunan masjid di Indonesia. Komitmen ini relatif kecil mengingat ukuran Indonesia yang luas, namun berpengaruh dalam menyebarkan cara berpikir puritan dan Salafis dan atmosfir intoleransi.

Apa yang ada dalam pikiran Islamis sudah ada di Provinsi Aceh, di ujung utara Sumatra. Provinsi ini mulai menerapkan hukum Syariah pada tahun 2001 setelah mendapatkan otonomi dalam upaya untuk mengakhiri perang separatis yang telah berlangsung lama.

Selama bertahun-tahun, undang-undang tersebut semakin ketat: Wanita diwajibkan untuk berpakaian sopan, alkohol kebanyakan dilarang, dan perzinahan dan homoseksualitas dikenai hukuman denda oleh publik. Polisi moralitas berkeliaran di provinsi tersebut, menjelajahi kamar hotel dan pantai untuk perilaku tidak bermoral dan selalu menyuruh orang untuk pergi ke masjid dan berdoa.

“Ketika Aceh diberi otonomi, ia membuka sebuah kotak Pandora untuk Indonesia,” kata Harsono. Beberapa penduduk setempat menunjukkan dengan bangga bahwa mereka telah menjadi model bagi negara-negara lain.

Indonesia juga menghadapi ancaman terorisme Islam, serangan bunuh diri di Sarinah, Jakarta tahun lalu mengingatkan negara tersebut.

Empat warga sipil dan empat penyerang tewas dalam serangan tengah hari di sebuah pos polisi di sebuah pusat bisnis Jakarta. Polisi mengatakan bahwa serangan tersebut telah dilakukan oleh seorang anggota ISIS.

Sekitar 450 orang Indonesia yang mencoba bergabung dengan ISIS telah kembali ke rumah, paling banyak ditangkap di Turki atau negara lain sebelum sampai di Suriah. Sidney Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, mengatakan sebagian besar dari mereka yang kembali adalah orang-orang yang tidak berkepentingan yang tidak menimbulkan ancaman signifikan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, katanya, ada sekitar dua lusin kombatan ISIS dari Suriah dengan pengalaman pelatihan tempur!

Sama mengkhawatirkannya, lembaga tersebut telah menemukan bahwa Jemaah Islamiyah, kelompok teroris regional yang melakukan pemboman Bali tahun 2002, yang menewaskan lebih dari 200 orang, sedang melakukan regrouping. Beberapa anggotanya telah berlatih di Suriah dengan milisi teroris selain ISIS, lembaga tersebut mengatakan dalam sebuah laporan yang dikeluarkan bulan lalu.

Dalam beberapa tahun terakhir, Polri telah membuat aturan bagi ex-militan atau yang masih aktif dengan kontrol ketat, menangkap atau membunuh puluhan orang dan menggagalkan rencana serangan teroris.

Bagi kelompok politik radikal, yang mengaku tanpa kekerasan, pertanyaannya adalah apakah mereka dapat memanfaatkan keberhasilan mereka untuk berperan dalam pemilihan presiden 2019.

Dalam menentang Ahok, kaum Islamis adalah bagian dari koalisi besar yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal yang mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014 dan kalah. Koalisi ini juga termasuk orang-orang Kristen, di antaranya Hary Tanoesoedibjo, seorang pengusaha miliarder yang merupakan rekan bisnis Trump di Indonesia dan memiliki ambisi untuk jabatan nasional.

Bagi mereka, mengalahkan Ahok adalah cara untuk melemahkan Jokowi menuju pemilihan presiden, bahkan jika itu perlu memang harus bersekutu dengan kelompok garis keras Islam. Pemenangnya Anies, notabene kandidat dari partai Prabowo.

Dalam sebuah perayaan kemenangan sehari setelah pemilihan di Istiqlal, Prabowo secara terbuka mengucapkan terima kasih kepada para pemimpin kampanye tersebut, termasuk Rizieq dari Front Pembela Islam dan Bachtiar Nasir, seorang pemimpin Salafi.

Kemudian, Prabowo menepis kekhawatiran bahwa dia telah memasuki aliansi yang salah dengan para ekstremis. Mereka adalah bagian dari “koalisi besar,” katanya.

“Jika kita mengutuk dan menganggap kelompok tertentu tidak memenuhi syarat untuk mengikuti wacana politik, itu bukan sikap sehat.” pungkasnya.

Tulisan dari Richard C. Paddock, seorang jurnalis The New York Times

(nytimes/gerpol)