Komisi Yudisial (KY) harus segera turun tangan memeriksa majelis hakim yang menangani perkara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena putusan majelis hakim tersebut sangat janggal dan tidak sesuai konstruksi hukum positif yang ada di Indonesia.
Baca:
- Menurut Aturan Mahkamah Agung dan Kejaksaan, Harusnya Ahok Tidak Ditahan. Ini Penjelasannya
- Abdul Rosyad, Hakim yang Vonis Ahok Bersalah Ternyata Pemuja Hizbut Tahrir
Demikian dikatakan pengamat hukum dan kebijakan publik dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, RES Fobia kepada Beritasatu.com, Selasa (9/5).
Dikatakan, putusan hakim yang memvonis Ahok melampaui tuntutan jaksa saja sudah merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan konstruksi hukum dan persidangan pada umumnya yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini, ia berpendapat, hakim mengabaikan berbagai keterangan ahli dan saksi di persidangan yang tidak melihat adanya pelanggaran pasal 156a. Hal itulah, mengapa jaksa penuntut umum hanya menerapkan pasal 156.
RES juga menegaskan, jika memang hakim mengacu pada pasal 156a, maka seharusnya majelis hakim tidak boleh sama sekali mengaibakan UU No 1 PNPS Tahun 1965 sebagai akar atau induk dari pasar tersebut di mana UU itu mensyaratkan adanya proses peringatan dan proses non yudisial lainnya sebelum masuk pada proses hukum di pengadilan.
Demikian, ada kontruksi berpikir dan logika hukum majelis hakim yang tidak simetris. Di mana di satu pihak majelis hakim menilai Ahok melanggar pasar 156a namun di pihak lain, majelis mengabaikan UU No 1 PNPS Tahun 1995. ” Ini ada inkonsistensi majelis hakim,” tandasnya.
Malah, ujarnya, majelis hakim dalam perkara ini cenderung bertindak sebagai perpanjangan tangan massa yang sudah memvonis Ahok bersalah sebelum persidangan.
“Ini berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia. Apalagi, dalam pertimbangannya, hakim juga memasukan unsur kegaduhan di masyarakat yang dilihat dari banyaknya aksi demo. Kalau itu dijadikan alasan, seharusnya hakim juga mempertimbangkan silent majority yang terganggu oleh aksi massa yang terus berulang-ulang,” tandasnya.
Selain itu, eksekusi penahanan Ahok yang dilakukan pada hari yang sama seusai sidang juga menjadi tanda tanya besar sebab kasus ini belum berkuatan hukum tetap (inkracht) mengingat terdakwa dan penasihat hukumnya langsung menyatakan banding.
RES Fobia menyatakan, eksekusi sebelum ada kekuatan hukum tetap ini telah merampas hak asasi terdakwa untuk membela diri. Hal ini menunjukkan bahwa majelis hakim benar-benar berada di bawah tekanan massa yang terus berdemo sebelum dan selama persidangan berlangsung. Walaupun majelis hakim menyebutkan bahwa mereka tidak dalam tekanan tetapi jika melihat konstruksi putusan yang dibuat oleh majelis hakim jelas sekali majelis hakim berada di bawah tekanan massa atau setidak-tidaknya takut terhadap amukan massa.
“Apakah dengan melihat banyaknya aksi demo itu lantas hakim beranggapan bahwa yang demo itu sudah pasti benar? Kalau konstruksi berpikir seperti ini diterapkan sangat merusak hukum dan rasa keadilan itu sendiri. Artinya, kebenaran itu ditentukan hanya dengan banyaknya orang yang demo. Ini berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia,” tandas Alumni Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNS) ini.
Bukankah penegak hukum selalu memegang prinsip lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.
Karena itu, ia berharap, MK segera turun tangan memeriksa majelis hakim untuk memastikan bahwa majelis hakim bekerja sesuai koridor hukum yang ada. “Jangan sampai masyarakat kehilangan rasa kepercayaan terhadap pengadilan sebagai tempat mencari kebenaran dan keadilan yang hakiki di bumi Indonesia,” tandasnya.
Ia menegaskan, KY tidak perlu menunggu ada laporan dulu baru bertindak tetapi KY bisa proaktif memeriksa majelis hakim untuk menjaga marwah hakim sebagai pengadil dan pemberi rasa keadilan bagi warga negara. Jika MK membiarkan hal ini, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
(beritasatu/gerpol)