Pertemuan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan dr. Zakir Naik banyak diperbincangkan di media sosial. Naik merupakan salah satu da’i (pendakwah) di televisi paling populer sekaligus kontroversial di dunia saat ini. Sejak November 2016, pemerintah India melarang aktivitas dakwahnya di India, tanah kelahirannya, dan memulai investigasi soal aliran dana sumbangan dari luar negeri dan keterlibatannya dalam aksi-aksi teror, termasuk radikalisasi anak-anak muda untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). (Baca juga: Jusuf Kalla Bertemu Tokoh Penghina Agama dan Pendukung ISIS)
Soal ceramah-ceramahnya yang bisa memicu kebencian dan radikalisasi, memang, tak dapat dinafikan. Naik yang semula berprofesi sebagai dokter dan kemudian beralih menjadi da’i fulltime itu kerap menyerang keyakinan dan kitab suci agama lain sembari menyulut permusuhan dan mengobarkan api radikalisme.
Dalam berbagai kesempatan, Naik mengumbar betapa bahagianya dia sebagai fundamentalis. Dalam ceramahnya di tahun 1998, misalnya, Naik berkata, “A terrorist is… someone who terrorizes. When a robber sees a policeman he is terrified… So… every Muslim should be a terrorist.”
Pertanyaannya, kenapa pemerintah India melarangnya sekarang? Mereka yang mengikuti ceramah dan sepak terjang Naik akan paham bahwa dia mengulang-ulang apa yang dikatakannya sejak kira-kira 25 tahun lalu. Saya akan tulis dalam kolom terpisah tentang ceramah-ceramah Naik yang problematik dan memperlihatkan kedangkalan ilmu agamanya dan agama lain. Dalam tulisan ini saya hanya mempertanyakan pelarangannya di India karena saya meragukan kebijakan rezim BJP (Bharatiya Janata Party) itu akan efektif.
Fenomena Naik
Saat ini Naik hidup mengasingkan diri di Malaysia. Tampaknya, kehadirannya di Negeri Jiran juga memicu polarisasi antara pendukung setia Naik yang menginginkan dia menetap di Malaysia dan mereka yang menganggapnya akan menambah masalah dalam di dan luar negeri.
Pro dan kotra itu sendiri memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh Naik yang bersifat global di luar tanah kelahirannya. Naik berhasil memanfaatkan era Youtube untuk mengglobalkan dakwahnya, yang dia sebut sebagai bentuk jihad terbaik pada abad ke-21 ini. Kata Naik, “Today, the best jihad, according to me, … is da’wa: conveying the message of Allah to non-Muslims.”
Pada 2006, Naik meluncurkan TV satelit “Peace” yang menyiarkan dakwahnya selama 24 jam dan dapat diakses di 125 negara. Walaupun awalnya menggunakan bahasa Inggris, tapi kini sudah tersedia dalam bahasa Urdu dan Bangladesh. Dalam waktu dekat, Peace TV direncanakan menyiarkan dakwah dalam tujuh bahasa lainnya.
Baca:
- Terbongkar, Raja Salman Mencari Romantisme di Bali
- Kehancuran Wahabi Ada di Bali. Jreeeeng!!!
- Jawa Timur Menolak Paham Wahabi
Setelah pemerintah India melarang Naik, beberapa negara lain juga memblokir Peace TV dan ambisi Naik menjadi tanda tanya. Pengaruh global Naik ini sebagian diperoleh dari cara dakwahnya yang mengikuti pendebat Muslim dari Afrika Selatan, Ahmed Deedat. Debat Deedat dengan pastur-pastur Kristen direkam dan disiarkan melalui Youbtube. Naik sendiri mengklaim, dia diajari Deedat untuk mendebat dan mengalahkan orang-orang Kristen.
Islamic Research Foundation (IRF), sebuah lembaga yang dibentuk untuk menopang dakwah Naik, begitu gencar menyebarkan ceramah-ceramahnya lewat berbagai media sosial, seperti Youtube, Facebook, dan Twitter. Sebelum diblokir, situs web IRF mengkampanyekan Naik sebagai “Dynamic international orator on Islam and comparative religion.”
Tentu saja ini klaim sepihak dari Naik sendiri. Dia tidak belajar atau diajarkan tentang “perbandingan agama”. Banyak ulama Debandi dan Barelvi di India mengkritiknya karena dia tidak berbekal pengetahuan Islam (apalagi agama lain!) secara memadai. Naik tidak pernah belajar ilmu-ilmu Islam tradisional di madrasah-madrasah Deobandi di India (semacam pesantren di Indonesia).
Tapi begitulah era Youtube. Asalkan Anda tampil di forum untuk mendebat dan menyerang keyakinan pihak lain, Anda akan diagung-agungkan oleh kelompok seiman sebagai champion. Naik memulai strategi itu sejak tahun 2000-an ketika dia mendebat misionaris Kristen William Campbell. Diprakarsai oleh Islamic Circle of North America (ICNA), debat Naik-Campbell berlangsung di Illinois, USA, dengan tema “The Qur’an and the Bible in the Light of Science”. Dalam debat yang bisa dilihat di Youtube, Campbell begitu defensif menghadapi serangan Naik bahwa Bible penuh kontradiksi dan bertentangan dengan sains.
“Kemenangan” Naik dalam berbagai debat membuahkan pengakuan dari beberapa negara. Dia semakin mengokohkan dirinya sebagai ahli perbandingan agama. Pada 2015, Raja Salman dari Arab Saudi menganugerahi Naik dengan “The King Faisal International Award.” Sebelumnya, Naik mendapat penghargaan dari pemerintah Malaysia sebagai “Tokoh Internasional Ma’al Hijrah” (2013), pemerintah Dubai sebagai “Islamic Personality of the Year Award” (2013), dan dari pemerintah Gambia (2014).
Pelarangan Naik
Berbeda dari gurunya, Deedat, yang hanya membatasi polemiknya dengan Kristen, Naik juga terlibat dalam debat dengan tokoh-tokoh Hindu. Ada beberapa rekaman di mana dia mengislamkan orang-orang Hindu. Tentu, apa yang dilakukan Naik itu membuat “gerah” kalangan Hindu. Dari tahun 2011 hingga 2017, Naik dinobatkan sebagai “the world’s 500 most influential Muslims” dan termasuk “100 most powerful Indians.”
Pemerintah India pasti sudah menyadari pengaruh Naik yang semakin fenomenal, namun tidak menemukan celah untuk menyingkirkannya. Sebagai negara demokrasi yang menjunjung kebebasan berekspresi, rezim BJP tidak mudah begitu saja melarang aktivitas Naik yang dijamin undang-undang India. Baru setelah terjadi serangan di Dhaka, Bangladesh, pada Juli 2016, tekanan terhadap pemerintah meningkat. Naik menjadi pihak yang dicurigai ketika ternyata salah seorang penyerang di Dhaka itu adalah pengagum dakwahnya.
Tentu saja, tidak sulit untuk menilai aspek politik dari kebijakan pemerintah India mengaitkan Naik dengan serangan di Dhaka yang menewaskan setidaknya 29 orang itu. Fakta bahwa salah seorang penyerang nge-fans di Facebook Naik tidak otomatis berarti bahwa ia menjalankan aksinya atas inspirasi dari Naik.
Pemerintah India menuduh sepak-terjang Naik telah menyuburkan gerakan radikal, terutama di kalangan anak-anak muda. Sebagian mereka berupaya bergabung dengan ISIS atau menjadi teroris di India. Pemerintah BJP juga menganggap aktivitas Naik menyebabkan permusuhan antar berbagai komunitas agama yang berbeda. Naik juga dituduh memperkaya diri dengan kepemilikan real estate dari sumbangan para simpatisan luar negeri.
Baca Juga:
- Menuju Khilafah Bersama Anies Baswedan, PKS dan FPI
- Pendukung Teroris di Belakang Anies 1
- Pendukung Teroris di Belakang Anies 2
- Pendukung Teroris di Belakang Anies 3
Saya khawatir, pelarangan Naik di India itu salah kalkulasi. Alih-alih meredupkan nama Naik, justru apa yang dilakukan pemerintah India lebih melambungkan reputasinya. Dalam berbagai kesempatan, Naik mengklaim bahwa dunia memusuhi kaum Muslim dan diskriminasi Islam terjadi di berbagai sudut dunia. Bagi para pendukungnya, apa yang dilakukan pemerintah India membuktikan kebenaran klaim Naik itu.
Naik bukan hanya dilarang di India. Tahun 2010, pemerintah Inggris juga melarang kunjungan Naik untuk mengisi ceramah di beberapa kota. Sebelumnya, Naik bebas keluar-masuk Inggris lebih dari lima belas kali. Pada Mei-Juli, dia dijadwalkan memberikan ceramah di stadium Sheffield Arena, Wembley Arena, dan di Birmingham National Exhibitation Centre. Media dan publik Inggris mempertanyakan bagaimana mungkin seorang penceramah yang menyebarkan kebencian dibiarkan masuk Inggris.
Tapi, larangan di Inggris bukannya meredupkan nama Naik. Sejumlah negara Muslim justru mendeklarasikan sambutan mereka untuk menerima Naik. Bahkan, sejumlah penghargaan yang diterimanya diperoleh setelah pelarangan di Inggris itu.
Karenanya, saya meragukan pelarangan di India itu berdasarkan kalkulasi yang tepat. Memang, masih terlalu dini untuk menilai apakah kebijakan tersebut akan efektif atau tidak. Seharusnya pemerintah India menjamin kebebasan berekspresi dan beraktivitas, kecuali jika terbukti melanggar hukum. Kini, kontroversi Naik bukan hanya masalah di India, tapi juga di Malaysia. Akankah kontroversi ini juga akan menjalar ke negeri kita?
(geotimes/gerpol)