KPK Harus Gerak, Ini Daftar Gurita Proyek Jusuf Kalla yang Mangkrak, Rugikan Negara Triliunan

27751
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
JK

Di bawah naungan Kalla Group, JK memiliki banyak lini bisnis. Kalla Group dibagi dalam enam segmen bisnis, yaitu otomotif, konstruksi, energi, keuangan, properti, dan transportasi. Selain itu, Kalla Group juga membawahi Sekolah Islam Athirah dan Yayasan Kalla.

Di bidang otomotif, Kalla Group memiliki tiga anak usaha, yaitu PT Kars Inti Amanah-Kalla KIA, PT Kars Inti Amanah-Kalla Chrysler, dan PT Hadji Kalla-Kalla Toyota.

Di bidang konstruksi, Kalla Group membawahi empat anak perusahaan, yaitu PT Bumi Karsa, PT Bumi Sarana Beton-Kalla Mix, PT Bumi Sarana Utama, dan PT Bumi Sarana Beton-Kalla Block.

Di bisnis energi, Kalla Group memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT Kalla Electrical System dan PT Poso Energy.

Bisnis keuangan Kalla berada di bawah bendera Amanah Finance. Sementara itu, bisnis properti memiliki empat anak perusahaan, yaitu PT Baruga Asrinusa Development, PT Haka Sarana Investama-Wisma Kalla, PT Kalla Inti Karsa, dan PT Trans Kalla.

Di lini bisnis transportasi, Jusuf Kalla memiliki dua perusahaan, yaitu PT Bumi Lintas Tama dan PT Bumi Jasa Utama.

Di bawah bendera Sekolah Islam Athirah, Kalla Group memiliki tiga sekolah, yaitu Sekolah Islam Athirah Kajaolaliddo, Sekolah Islam Athirah Baruga, dan Sekolah Islam Athirah Bone.

“Dan berbagai perusahaan lainnya yang tak kita ketahui dari grup bisnis JK yang terus mengurita,” kata para aktivis Prodem.

BPKP telah melaporkan hasil sementara audit kepada Jokowi. Dari 34 proyek, 12 di antaranya tidak dapat dilanjutkan. Akibatnya, ada potensi kerugian negara yang cukup besar dari nilai kontrak Rp 3,76 triliun.

Kalangan aktivis GMNI menyingkapkan, Grup bisnis Wapres Jusuf Kalla ditengarai merupakan pelaku proyek-proyek mangkrak itu. Presiden Jokowi mau melaporkan 12 proyek mangkrak era Presiden SBY itu ke KPK.

Maka pertemuan SBY dan JK beberapa waktu lalu disorot dalam kaitan itu, apalagi terkait pula demo 4 Nov kemarin..

Jauh sebelum menjadi Wakil Presiden SBY, JK adalah seorang saudagar yang lumayan sukses. Bisnisnya bisa disebut menggurita di Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia Timur. Sampai tahun awal 1990-an, salah satu bisnis andalannya adalah menjadi agen penjual mobil Toyota.

Nah, waktu menjadi Wapres itu, bisnis Kalla dan keluarganya b

erkembang supercepat. Kok bisa? Buktinya, dalam lima tahun kekuasaannya (2004-2009), grup bisnis keluarganya kebanjiran berbagai proyek skala besar.

Adalah Abdulrachim Kresno, aktivis ITB 1978, yang rajin menelisik sepak terjang Jusuf Kalla yang dinilainya sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) saat berkuasa.

Lewat twitter-nya @abdrachim001, dia bercerita panjang lebar seputar pelbagai proyek yang diguyurkan JK bagi bisnis keluarganya.

Seperti diketahui, keluarga Kalla mengendalikan sejumlah grup bisnis. Di antaranya Kalla Group, Bukaka Group, Bosowa Group, dan Intim Group. Semuanya mengalami masa-masa panen raya saat JK berkuasa.

Bukaka, misalnya, memperoleh order pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Ussu di Kabupaten Luwu Timur, berkapasitas 620 mega watt (MW), dan PLTA senilai Rp1,44 trilyun di Pinrang. Bukaka juga membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang berkapasitas total 780 MW.

Menurut Abdulrachim, selain ditengarai memainkan pengaruh kekuasaan untuk mendapatkan bisnis ini, pelaksanaannya pun melanggar aturan. PLTA Poso, misalnya, mulai dibangun sebelum ada analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang memenuhi syarat. Begitu juga dengan jaringan saluran udara ekstra tiniggi (SUTET)-nya ke Sulawesi Selatan & Sulawesi Tenggara dibangun tanpa AMDAL.

“Di Sumatera Utara, kelompok yang dipimpin Achmad Kalla, adik kandung Jusuf Kalla mendapat order pembangunan PLTA di Pintu Pohan, atau PLTA Asahan III berkapasitas 200 MW. Lewat PT PT Bukaka Barelang Energy, Bukaka juga terlibat dalam pembangunan pipa gas alam senilai US$750 juta. Proyek ini akan melintang dari Pagar Dea, Sumatera Selatan, ke Batam,” katanya.

Bukaka juga digerojok seabrek proyek listrik semasa JK jadi Wapres. Di antaranya membangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) senilai US$92 juta di Pulau Sembilang, dekat Batam.

Lalu ada pembangunan pembangkit listrik tenaga gas di Sarulla, Tarutung, Sumatera Utara, yang akan menghasilkan listrik 300 MW.

Juga ada rencana pembangunan 19 PLTA berkekuatan 10.000 MW. Guna merealisasikan proyek ambisius ini, JK mendorong Bank Pembangungan Daerah (BPD) se Indonesia untuk membiayai dengan mengandalkan dana murah yang dimilikinya.

Itulah sebabnya secara ekonomi rencana tersebut dinilai berbahaya. Pasalnya, dana murah tadi bersifat dana jangka pendek. Padahal siapa pun tahu, proyek pembangkit listrik termasuk berjangka panjang.

Mulai pembangunan hingga menghasilkan fulus, PLTA memerlukan waktu sekitar tujuh tahun. Jika dipaksakan, BPD-BPD itu dipastikan bakal mengalami miss match pendanaan. Sedikit saja ada goncangan, mereka bakal terkapar karena dana jangka pendeknya dipakai membiayai proyek jangka panjang.

Kekuasaan, waktu, uang

Dalam waktu lima tahun menjabat sebagai Wakil Presiden, perusahaannya makin gemilang. Itu tidak mengherankan mengingat group-group usahanya memperoleh berbagai proyek infrastruktur.

Kelompok-kelompok bisnis seperti Bukaka, Bosowa , dan Intim (Halim Kalla) masuk dalam paket kontraktor pembangunan 19 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006).

Kelompok Intim milik Halim Kalla, yang juga salah seorang Komisaris Lion Air, akan membangun PLTU berkapasitas 3 x 300 MW di Cilacap, Jateng.

Proyek ini mengandalkan pasokan bahan baku batubara dari konsesi pertambangan batubara seluas 5.000 ha milik kelompok Intim di Kaltim (GlobeAsia, Sept. 2008, hal. 38).

Dengan rekam jejak seperti ini, wajar saja jika kekayaan JK dan keluarganya melonjak-lonjak dalam masa lima tahun kekuasaannya.

Ini juga yang, konon, menyebabkan SBY tidak lagi menggandeng JK sebagai Cawapres pada Pilpres 2004. Syahwat bisnis ikut mendompleng kekuasaannya. Mana tahaaannn itu?

Jauh sebelum menjadi Wakil Presiden SBY, JK adalah seorang saudagar yang lumayan sukses. Bisnisnya bisa disebut menggurita di Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia Timur.

Sampai tahun awal 1990-an, salah satu bisnis andalannya adalah menjadi agen penjual mobil Toyota.

Nah, waktu menjadi Wapres itu, bisnis Kalla dan keluarganya berkembang supercepat. Kok bisa? Buktinya, dalam lima tahun kekuasaannya (2004-2009), grup bisnis keluarganya kebanjiran berbagai proyek skala besar.

Adalah Abdulrachim Kresno, aktivis 1978, yang rajin menelisik sepak terjang Jusuf Kalla yang dinilainya sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) saat berkuasa.

Lewat twitter-nya @abdrachim001, dia bercerita panjang lebar seputar pelbagai proyek yang diguyurkan JK bagi bisnis keluarganya.

Seperti diketahui, keluarga Kalla mengendalikan sejumlah grup bisnis. Di antaranya Kalla Group, Bukaka Group, Bosowa Group, dan Intim Group. Semuanya mengalami masa-masa panen raya saat JK berkuasa.

Bukaka, misalnya, memperoleh order pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Ussu di Kabupaten Luwu Timur, berkapasitas 620 mega watt (MW), dan PLTA senilai Rp1,44 trilyun di Pinrang. Bukaka juga membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang berkapasitas total 780 MW.

Menurut Abdulrachim, selain ditengarai memainkan pengaruh kekuasaan untuk mendapatkan bisnis ini, pelaksanaannya pun melanggar aturan. PLTA Poso, misalnya, mulai dibangun sebelum ada analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang memenuhi syarat. Begitu juga dengan jaringan saluran udara ekstra tiniggi (SUTET)-nya ke Sulawesi Selatan & Sulawesi Tenggara dibangun tanpa AMDAL.

“Di Sumatera Utara, kelompok yang dipimpin Achmad Kalla, adik kandung Jusuf Kalla mendapat order pembangunan PLTA di Pintu Pohan, atau PLTA Asahan III berkapasitas 200 MW. Lewat PT PT Bukaka Barelang Energy, Bukaka juga terlibat dalam pembangunan pipa gas alam senilai US$750 juta.

Proyek ini akan melintang dari Pagar Dea, Sumatera Selatan, ke Batam,” katanya.

Bukaka juga digerojok seabrek proyek listrik semasa JK jadi Wapres. Di antaranya membangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) senilai US$92 juta di Pulau Sembilang, dekat Batam.

Lalu ada pembangunan pembangkit listrik tenaga gas di Sarulla, Tarutung, Sumatera Utara, yang akan menghasilkan listrik 300 MW.

Juga ada rencana pembangunan 19 PLTA berkekuatan 10.000 MW. Guna merealisasikan proyek ambisius ini, JK mendorong Bank Pembangungan Daerah (BPD) se Indonesia untuk membiayai dengan mengandalkan dana murah yang dimilikinya.

Itulah sebabnya secara ekonomi rencana tersebut dinilai berbahaya. Pasalnya, dana murah tadi bersifat dana jangka pendek. Padahal siapa pun tahu, proyek pembangkit listrik termasuk berjangka panjang.

Mulai pembangunan hingga menghasilkan fulus, PLTA memerlukan waktu sekitar tujuh tahun. Jika dipaksakan, BPD-BPD itu dipastikan bakal mengalami miss match pendanaan.

Sedikit saja ada goncangan, mereka bakal terkapar karena dana jangka pendeknya dipakai membiayai proyek jangka panjang.

Dengan rekam jejak seperti ini, wajar saja jika kekayaan JK dan keluarganya melonjak-lonjak dalam masa lima tahun kekuasaannya. Ini juga yang, konon, menyebabkan SBY tidak lagi menggandeng JK sebagai Cawapres pada Pilpres 2004.

Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Amir Syamsuddin meminta agar pembangunan 34 pembangkit listrik yang mangkrak tidak dikooptasi menjadi sebuah komoditas politik.

Menurut Amir, mangkraknya pembangunan yang dimulai sejak zaman Soesilo Bambang Yudhoyono pasti ada penyebabnya.

Amir Syamsuddin mengingatkan agar Pemerintahan Joko Widodo tidak menjadikan proyek yang mangkrak tersebut sebagai alat untuk menjatuhkan pemerintahan era SBY.

“Jadi begini, tidak merupakan tradisi dari seorang SBY pada saat dia dapatkan alih kekuasaan itu kemudian dia menjelekkan-jelekkan pemerintahan yang sebelumnya, tidak ada tradisi,” kata Amir Syamsuddin di Depok, Sabtu (12/11/2016).

Menurut dia, SBY melakukan transisi pemerintahan dari Megawati Soekartnoputri berlangsung baik.

Jika SBY menemukan permasalahan sebelum dia menjabat, Amir Syamsuddin mengakui itu akan diselesaikan melalui jalurnya.

“Transisi yang dilakukan adalah manis dan baik. Kalau ditemukan ada permasalahan ada jalurnya untuk menyelesaikannya tanpa dipolitisasi untuk menimbulkan lagi kecurigaan atau pun merusak citra seseorang sangat tidak perlu,” ungkap menteri hukum dan HAM 2011-2014 itu.

Walau demikian, Amir Syamsuddin enggan mengomentari jika hal tersebut adalah langkah manuver khususnya berkaitan dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengetahui ada 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak.

Karena itu Presiden Joko Widodo menginstruksikan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit laik atau tidaknya melanjutkan proyek tersebut.

(sebarr/gerpol)