Meskipun proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta sudah selesai namun masih menyisakan permusuhan antara sejumlah kelompok pendukung.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irine Hiraswari Gayatri menyebut hal itu antara lain dikarenakan penggunaan isu SARA dalam Pilkada DKI.
Baca:
- Politik Agama Atau Agama Politik?
- Mampus, HP Rizieq Disita, Polisi Temukan Chat Mesum Antara Rizieq dan Firza Husein
- Okezone Punya Hary Tanoe Terbukti Penyebar Kebohongan
“Terlihat ya, mobilisasi sentimen ras dan agama cukup tinggi, Ujaran-ujaran yang mendiskriminasikan,” ujar Irine Hiraswari Gayatri kepada wartawan di kantor Imparsial, Jakarta Pusat, Selasa (2/5/2017).
Menurutnya permasalahan tersebut penting untuk diselesaikan, antara lain agar kasus serupa tidak terulang di ratusan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar pada tahun 2018 mendatang.
Termasuk di antaranya Pilkada Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Maraknya penggunaan isu SARA tersebut antara lain disebabkan oleh antisipasi yang terlambat oleh pemerintah.
Imbauan dari Polisi agar tidak ada intimidasi terhadap pemilih, dan imbauan dari Kementerian Agama (Kemenag) soal khotbah di rumah ibadah, baru keluar menjelang akhir putaran kedua, Pilkada DKI Jakarta 2017.
“Ini artinya apa, sesuatu sudah berlangsung secara buruk baru diantisipasi belakangan,” ujarnya.
Di Indonesia sudah tersedia sejumlah instrumen mengantisipasi hal tersebut, yang bisa membuat pelaku-pelaku yang menggunakan isu SARA bisa dijerat hukum.
Instrumen tersebut harus diterapkan oleh semua pihak, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tokoh masyarakat hingga tokoh-tokoh agama.
“Supaya besok cetusan-cetusan SARA itu tidak ada lagi,” terangnya.
Untuk permusuhan antar kelompok yang masih terjadi di Jakarta saat ini, cara yang sama juga bisa dilakukan.
Dengan penegakan hukum tersebut, diharapkan masyarkat Jakarta setidaknya tidak lagi menggunakan isu SARA dalam pembicaraan sehari-hari.
(detikcom/gerpol)