Setelah Luthfi Hasan PKS, Patrialis Akbar Adalah Sapi Berjenggot Kedua

489914
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Hari ini (26/01/17), KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap salah satu hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, di sebuah hotel di Jakarta Barat. Patrialis Akbar ini merupakan hakim yang diangkat pada masa kepemimpinan SBY dan dipilih oleh SBY sendiri. Tentakel Gurita Cikeas yang tertangkap ini menyusul pendahulunya, Akil Mochtar yang telah dijatuhkan pidana seumur hidup.

Jakarta – Hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap KPK karena diduga menerima suap terkait dengan uji materi UU. UU yang dimaksud adalah UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Gugatan itu sampai saat ini masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Isi gugatan itu adalah permohonan agar MK membatalkan sebagian pasal 36 dalam UU itu.

Berdasarkan penelusuran detikcom, Kamis (26/1/2017), pasal-pasal yang digugat adalah pasal 36 C ayat 1, pasal 36 C ayat 3, pasal 36 D ayat 1, dan pasal 36 E ayat 1. Pada umumnya, pasal-pasal itu berisi tentang peraturan impor sapi dari luar negeri ke Indonesia.

Para penggugat terdiri atas peternak sapi, dokter hewan, pedagang sapi, hingga konsumen daging sapi. Mereka merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat pemberlakuan zona base di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam UU tersebut.

Seorang netizen, @GunRomli mengingatkan kasus Patrialis Akbar ini dengan kasus Luthfi Hasan Ishaaq yang terjerat kasus sapi impor. Lagi-lagi dua kasus ini ada kemiripan dengan istilah “sapi berjenggot”

Berita rekomendasi:

Para penggugat mengaku kehadiran UU itu membuat peluang impor sapi semakin tinggi dan tidak mendukung perekonomian peternak lokal.

“Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah karena prinsip minimum security dengan pemberlakuan zona tersebut mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati,” ujar penggugat dalam salinan gugatannya.

Hingga Januari 2017, sidang tersebut masih berlangsung di MK. Terakhir, sidang gugatan UU Peternakan itu digelar pada 13 Mei 2016 dengan agenda mendengarkan keterangan ahli pemohon dan DPR.

Berikut ini bunyi pasal-pasal yang digugat:

– Pasal 36 C ayat 1

Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.

– Pasal 36 C ayat 3

Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:

  • dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
  • dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
  • ditetapkan tempat pemasukan tertentu.

– Pasal 36 D ayat 1

Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di pulau karantina sebagai instalasi karantina hewan pengamanan maksimal untuk jangka waktu tertentu.

– Pasal 36 E ayat 1

Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan.

“Ada kasus itu, uji materi mengenai hal itu dan sudah sampai tahap akan dibacakan putusannya. Tapi belum dibacakan putusan itu. Ini sudah selesai finalisasi dan segera dibacakan putusannya,” kata Ketua MK Arief Hidayat dalam konferensi pers di gedung MK di Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (26/1/2017).
(detik/gerpol)