Mengapa Pengadilan Tinggi Harus Tangguhkan Penahanan Ahok

1335
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
3 Hakim Kasus Ahok Memperoleh Promosi Jabatan

Tidak lama setelah dibacakannya putusan hakim yang menghukum Ahok dengan pidana penjara selama 2 tahun, ternyata Ahok langsung dimasukkan ke dalam tahanan.

Secara hukum, apa sebenarnya alasan seorang tersangka atau terdakwa perlu ditahan? Pasal 21 KUHAP menjelaskan bahwa penahanan dilakukan jika timbul kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.

Saat ini Ahok telah menyatakan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri. Proses banding segera bergulir ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Adakah kemungkinan penahanan Ahok dapat ditangguhkan?

Pasal 31 ayat (1) KUHAP antara lain menentukan bahwa hakim berwenang untuk memberikan penangguhan penahanan bagi terdakwa, dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang. Selanjutnya dalam Pasal 238 ayat (3) ditentukan dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.

Melihat ketentuan diatas, dan mengingat terdakwa (Ahok) sudah mengajukan permohonan penangguhan penahanan yang dikuatkan dengan adanya jaminan dari sejumlah pihak, maka sangat penting agar Pengadilan Negeri segera mengirim berkas perkara banding kepada Pengadilan Tinggi, sehingga permohonan penangguhan penahanan tersebut dapat segera dipertimbangkan.

Lebih dari hal prosedural diatas, masih ada satu pertanyaan yang tersisa dan bagi saya justru menjadi inti permasalahan. Pertanyaan itu adalah, berdasarkan alasan hukum apa dan seberapa penting sebenarnya Ahok perlu ditahan? Meski bingung, saya tak akan bertanya pada rumput yang bergoyang, karena yang dibutuhkan adalah jawaban atau alasan yang berdasarkan aturan hukum.

Untuk menemukan kemungkinannya, saya membaca kembali isi Pasal 21 KUHAP tentang alasan penahanan. Kemungkinan pertama, apakah Ahok ditahan karena khawatir dia akan melarikan diri? Rasanya tidak mungkin karena Ahok mempunyai alamat tempat tinggal yang jelas, dan keluarganya pun sudah diketahui. Apalagi saat ini sudah banyak pihak yang bersedia memberikan jaminan untuk Ahok. Sepanjang persidangan di Pengadilan Negeri, sama sekali tidak ada indikasi Ahok akan melarikan diri. Ahok bahkan sangat patuh mengikuti seluruh proses persidangan dan tidak pernah mempersulit jalannya pemeriksaan di dalam persidangan.

Kemungkinan kedua, apakah Ahok ditahan karena khawatir dia akan merusak atau menghilangkan barang bukti? Hal ini juga tidak mungkin karena seluruh barang bukti sudah disita dan dihadirkan dalam persidangan. Saat ini tidak ada lagi satu pun barang bukti yang berada dalam penguasaan Ahok.

Atau kemungkinan ketiga, apakah Ahok ditahan karena khawatir dia akan mengulangi tindak pidana? Rasanya lebih tidak mungkin. Ibarat kata pepatah, keledai pun tentu tak ingin jatuh kedua kali di lubang yang sama. Lalu atas dasar alasan hukum apa Ahok ditahan? Bukankah sudah terbukti tanpa perlu dilakukan penahanan, seluruh tahap pemeriksaan sejak proses penyidikan sampai selesainya persidangan, semuanya dapat berjalan dengan baik? Mengapa kemudian setelah putusan selesai dibacakan Ahok langsung ditahan?

Kejadian ini justru menunjukkan fakta yang sangat kontras dengan jiwa yang terkandung di dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) KUHAP, dimana seorang terdakwa yang awalnya ditahan pun sebenarnya dapat dikeluarkan dari tahanan meski jangka waktu penahanannya belum berakhir, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.

Baca:

Sejalan dengan jiwa Pasal tersebut diatas, terlebih lagi sejak awal penyidikan Ahok tidak pernah ditahan, dan mengingat seluruh kepentingan pemeriksaan bahkan sampai di tingkat persidangan sudah terpenuhi, sebenarnya tidak perlu dilakukan penahanan terhadap Ahok.

Oleh karena itu berdasarkan alasan hukum, sekali lagi, berdasarkan alasan hukum (bukan karena alasan politik apalagi karena aksi-beraksi), saya berkeyakinan bahwa sangat beralasan bagi hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk segera MENANGGUHKAN PENAHANAN Ahok, terlebih Ahok bukanlah pelaku tindak pidana kejahatan terorisme, makar, kejahatan yang membahayakan keamanan negara atau meresahkan masyarakat. Bagi saya, fenomena sosial yang marak terjadi saat ini justru jauh lebih meresahkan.

Harapan saya, hakim yang nantinya akan memeriksa perkara Ahok di tingkat banding adalah hakim yang memiliki integritas tinggi dan tidak tercemar dengan kepentingan. Pasal 220 ayat (1) KUHAP telah menegaskan bahwa tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.

Hendaknya kita jangan lupa bahwa persidangan bukanlah sebuah “permainan untung‐untungan” atau “a game of chance”, “adu nasib” yang tergantung pada nasib sial atau mujur. Bila mendapat hakim yang lembut, maka terdakwa akan mendapat hukuman yang ringan. Sebaliknya, bila mendapat hakim yang keras, maka terdakwa akan mendapat hukuman yang berat. Persidangan adalah sebuah proses pembuktian berdasarkan alat bukti, fakta-fakta yang terungkap, dan aturan hukum. Bila memang terbukti bersalah, maka berikanlah hukuman yang adil kepada Terdakwa, namun bila tidak terbukti bersalah, segera bebaskan Terdakwa.

Semoga harapan ini tidak hanya menjadi sebatas harapan hampa.
Jakarta, 12 Mei 2017.

Gloria Tamba
Praktisi Hukum

(amsik/gerpol)