Nenek Hindun dan Kejamnya Pendukung Anies Sandi

1095596
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Ibu Hindun

Orang mati butuh keadilan. Siapa yang memberikan keadilan bagi orang mati? Orang hidup. Kita yang masih hidup sedaya upaya memberikan keadilan itu bagi orang mati karena orang mati tidak bisa lagi mencari keadilan bagi dirinya. Orang mati tidak bisa lagi bersuara menuntut keadilan bagi dirinya.

Suatu hari di penghujung tahun 2009, seorang anak remaja tewas dalam penjara Polsek Batam Kota. Namanya Josua. Ia anak jalanan yang hidup di kerasnya kehidupan. Kadang Ia pergi ke Jakarta merantau. Kadang ke Medan. Kadang di Siantar kampungnya. Pokoknya Josua pergi kemana ia suka. Langit adalah batasnya.

Suatu hari, Ia tertidur di dalam kedai barang bekas di bilangan Batam Center. Ia terpergok di dalam oleh penjaga kedai itu pada jam 01.30 dini hari. Ia disangka mencuri. Padahal tidak ada barang yang hilang. Lalu Ia di bawa ke Polsek. Dimasukkan ke dalam sel selama 3 hari.

Keluarganya datang menjenguk. Diupayakan perdamaian dengan si pelapor. Sayangnya sebelum perdamaian terjadi, karena masih suasana Natal, pada 26 Desember 2009, Josua tewas. Polisi mengatakan bunuh diri diteralis pintu sel pakai kaos oblongnya. Mayat segera dikirim ke kampung halaman Siantar. Dikuburkan.

Saya mendengar kasus ini. Lalu mencari tahu karena ada kejanggalan yang ku lihat. Saya melakukan investigasi. Investigasi ini menjadi pengalaman paling mendebarkan seumur hidup saya.

Saya mewawancarai para saksi-saksi. Melihat TKP kedai barang bekas tempat Josua tidur. Mewawancarai saksi mata di sana. Berkunjung ke penjara tempat Josua di kerangkeng. Bertemu dengan dokter yang memvisum Josua. Melihat rumah sakit.

Saya melakukan investigasi hingga wawancara dengan penjaga penjara, Wakapolres Barelang, Kapolsek Hilman hingga semua pihak yang menurut saya punya informasi kuat termasuk beberapa teman wartawan yang mangkal di sana.

Hasil investigasi itu saya bagi ke salah satu media lokal terkenal di Batam. Baca di sini liputannya http://iqbalfile.blogspot.co.id/2010/01/duka-dalam-sepotong-kaos-bola.html?m=1

Saya bersama teman teman mahasiswa PMII mendesak Kapolres Batam saat itu melakukan penyelidikan ulang dengan melakukan otopsi menyeluruh atas korban.

Kejanggalan korban disiksa cukup kuat. Analisis investigasi cukup masuk akal dengan kesimpulan bahwa korban di siksa lalu mati dalam sel. Saksi mata yang menjenguk korban sehari sebelum tewas menceritakan korban di siksa saat dalam tahanan.

Ujungnya Kapolres Leonidas saat itu mengabulkan tuntutan saya. Pembongkaran kuburan Josua di Siantar disetujui. Otopsi mayat dilaksanakan sekitar awal Februari 2010 di Pematang Siantar. Hampir dua bulan Josua dikubur. Seisi kampung Josua ikut menyaksikan proses otopsi.

Saya ikut melihat proses otopsi itu. Mulai kebaktian doa pembongkaran jenazah. Membuka peti mati. Mengangkat jenazah dalam tenda otopsi. Saya melihat bagaimana bentuk jenazah yang sudah terkubur selama 2 bulan. Aroma bau mayat yang menusuk hidung. Saya melihat para dokter forensik yang tenang dan santai saat membedah tubuh mayat. Menggergaji, memotong dan mengambil sampel jaringan dalam organ tubuh seperti lambung, hati, jantung, ginjal, otak, paru, empedu dlsb.

Peristiwa itu membekas sampai sekarang. Saya masih ingat detail bagaimana suasana di bawah tenda otopsi mayat itu karena saya ada di sana. Mencari keadilan bagi orang mati.

Pagi sebelum berangkat ke kuburan saya bertemu dengan keluarga Josua. Rumahnya tidak jauh dari kuburan itu. Di rumah sangat sederhana itu, nenek Josua menciumiku. Nenek Josua menangis meraung raung. Ia memelukku begitu kuat sambil menangis pilu menyebut nyebut pahompunya atau cucunya.

Emak Josua menangis kencang. Josua adalah anak bungsu yang kehilangan pegangan ketika ayahnya meninggal dunia. Ia akhirnya hidup di jalanan. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Emak Napitu Ibu Josua adalah janda tua. Petani kecil di kampungnya.

Saat bertemu, Ibu Josua memelukku kuat. Erat sekali dekapannya. Ia berbisik dalam bahasa Batak yang saya tidak tahu artinya karena sambil menangis sesunggukkan. Saya hanya ingat Ia berkata bahwa saya telah mengangkat kehormatan keluarga mereka dari cibiran orang kampung.

Orang kampungnya akhirnya percaya bahwa anaknya bukan bunuh diri seperti kata polisi. Bagi penganut Khatolik, bunuh diri adalah dosa terbesar. Terkutuk. Dengan adanya pencarian keadilan ini membuat mereka semua orang kampung di sana percaya anaknya bukan bunuh diri.

Tidak mungkin bunuh diri. Sama seperti pendapat psikolog yang saya temui pernah bilang jarang ditemukan anak jalanan bunuh diri. Mereka terbiasa hidup keras. Justru anak yang penyendiri dan pendiam yang rentan bunuh diri. Itu fakta empirik.

Proses mencari keadilan itu tidak mudah. Saya menghadapi institusi yang berkuasa. Sambil menunggu hasil otopsi, saya pergi ke Jakarta. Bertemu dengan Arist Merdeka Sirait Ketua Komnas Perlindungan Anak. Melapor ke Kompolnas. Pergi ke TV One dalam Apa Kabar Indonesia Pagi.

Saya meyakini, bahwa orang hiduplah yang menyelesaikan persoalan orang mati. Orang hiduplah yang memberi keadilan bagi orang mati. Orang hiduplah yang memberi penghormatan bagi orang mati. Karena orang mati telah usai hidupnya. Telah berakhir tugas perjuangannya. Tugas orang hidup memastikan roh kebenaran, roh keadilan, roh kearifan nan bijaksana, roh kasih sayang yang dihembuskan Allah Yang Maha Pengasih tetap ada.

Belakangan ini, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah dalam tingkat tidak waras. Rasa kemanusiaan sudah hilang. Kemanusiaan yang bernurani telah bermetamorfosis menjadi kemanusiaan yang berwajah setan. Jahat. Keji. Kejam. Bengis. Tragis. Tragedi.

Bayangkan kepada mayat nenek tua Hindun kita tega melaknatnya. Menajiskannya. Membuang muka dan menyumpah serapahnya. Tidak memberi doa. Apa salah dan dosa nenek renta Hindun yang nafasnya saja tinggal hitungan jam itu? Apakah karena Ia memilih Ahok yang menurutnya layak jadi pelayannya? Yang memberi jaminan kesehatan dan pendidikan buat anak cucunya? Orang yang tidak merampok uang pajak kerja kerasnya?

Kejahatan menolak sholat jenazah ini sungguh mengerikan. Memang tidak ada yang terbunuh dari aksi sekelompok orang yang tidak memiliki hati dan empati pada orang mati. Nenek Hindun itu juga tidak punya kuasa apa-apa lagi selain menunggu pengadilan dari Allah Yang Maha Adil.

Orang mati tidak punya urusan lagi dengan orang hidup. Orang hiduplah yang punya urusan dengan orang mati. Urusan itu menjadi dasar dan pembuktian apakah kita ini manusia yang menjadi manusia bagi sesamanya?

Ataukah kita ini sesungguhnya hanya binatang bagi sesama kita. Hanya binatang yang tidak mau menguburkan dan mendoakan sesamanya kaum binatang. Itupun bukan karena mereka tidak mau, tapi karena mereka tidak mampu dan memang mereka diciptakan oleh Sang Maha Pencipta tidak memiliki akal.

Haruskah kita menjadi binatang bagi sesama kita? Ebiet G Ade menulis dengan indah syair tentang itu. Katanya “Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum. Dengan sinar wajahnya lebih tajam dari matahari. Kemanakah sirnanya nurani embun pagi. Yang biasanya ramah kini membakar hati?”. Kemana? Lenyap karena ambisius kekuasaan. Kebencian menghalalkan segala cara. Mematikan akal sehat dan nurani. Menghanguskan apa saja hingga tulang belulang kita.

Wahai manusia penolak jenajah sesamamu manusia, betapa keji dan jahatnya jiwamu dalam menghalalkan segala cara demi kekuasaan calon yang ingin kau menangkan. Kau begitu keji. Buas. Jahat. Bengis. Sadis. Semoga Tuhan di atas sana tidak menolakmu saat engkau mati seperti halnya engkau menolak Nenek Hindun saat Ia meninggal dunia.

Salam perjuangan
Birgaldo Sinaga

(gerpol)