Saya dulu adalah salah satu orang yang sempat kaget karena Anies Baswedan adalah salah satu menteri yang direshuffle. Apa kesalahan fatal Anies yang membuatnya sampai tergeser dan kemudian digantikan oleh Muhajir Effendi?
Meski kabar angin berembus di kanan kiri, namun saya merasa puzzlenya masih tercerai berai. Malam ini di Mata Najwa Edisi Final Pilkada DKI Jakarta saya akhirnya bisa merangkaikan kepingan puzzle tersebut dan berujung pada kesimpulan : Pantas Jokowi Pecat Anies.
Saya ini orangnya sangat observant. Saya suka dan terbiasa mengamati setiap orang baik dari apa yang mereka lakukan, gerak tubuhnya, kata-katanya, dll. Saya biasa duduk dan diam mengamati lingkungan sekitar atau tanpa ekspresi menyimak lawan bicara saya. Pada momen-momen seperti itu biasanya sadar atau tidak saya sedang mengobservasi mereka.
Melihat Anies sepanjang Mata Najwa ini yang saya lihat adalah sosok arogan yang suka meremehkan orang, ambisius, tidak bisa menghargai orang lain kecuali yang menguntungkan dia, dan menyimpan kemarahan dan dendam dalam dirinya. Entah ke siapa.
Ini pendapat saya pribadi ya, silahkan mungkin yang lebih mengenal Anies atau pernah bekerja sama dengan dia cukup jawab dalam hati betul atau tidak. Dan apa yang saya tulis ini adalah opini pribadi dari observasi saya.
Dari segi gerak tubuh dan ekspresi wajah, lihat sepanjang debat Anies lebih sering menggerak-gerakkan bibirnya persis anak kecil yang sedang dinasehati ayahnya namun sekedar masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Ekspresinya seolah mengatakan “Kamu bicara apa sih, nggak penting.”
Anies tidak bisa menutupi bahwa pribadinya bukanlah pendengar yang baik. Cenderung enggan menerima masukan kecuali mungkin dari orang yang sangat berpengaruh atau menguntungkan dia. Baginya semua harus berfokus pada dirinya. Kalau Anda tidak punya value yang menguntungkan buat dia maka Anda tidak akan dianggap.
Arogansinya pun juga tidak bisa dia sembunyikan dalam balutan kata-kata santun. Sosok seperti inikah yang Anda mau pilih jadi Gubernur? Tidak akan dia mau bersikap ramah dan mendengarkan keluhan orang setiap pagi di Balaikota seperti yang dilakukan Ahok. Merepotkan pasti, batinnya.
Ada beberapa kalimat yang dia ucapkan yang juga membangkitkan sisi observant saya lebih dalam. Mungkin saya tidak menuliskan 100% persis dengan yang diucapkan Anies, tapi poinnya Insya Allah sama. Antara lain :
“Sekarang saja saya sedang berusaha memberhentikan Pak Basuki dari jabatan Gubernur. Jangankan anak buah, gubernurnya saja mau saya ganti,” Serius Pak Anies Anda harus mempergunakan frase seperti ini? Saya tahu Anda ini sedang dalam sebuah kompetisi memperebutkan kursi jabatan. Tapi apakah tepat kata memberhentikan itu Anda pakai? Secara tidak langsung Anda sama saja dengan mengatakan “Apapun caranya benar atau tidak akan akan saya pakai buat mengalahkan kamu.
Yang penting kamu kalah dan saya menang.” Saya jadi tidak kaget bagaimana Anda sekarang berubah dari yang dulunya menjual tenun kebangsaan sekarang malah mengurai tenun tersebut. Ini secara tidak langsung juga jadi jawaban kenapa Anda seolah diam dan membiarkan apa yang dilakukan oleh tim sukses Anda selama proses Pilkada.
Dan saya jadi membayangkan waktu Anda jadi menteri, Anda lebih sibuk dengan ambisi Anda daripada mengerjakan apa yang harusnya jadi tugas Anda. Karena Anda belum selesai dengan diri Anda sendiri. Masih terlalu banyak ambisi, masih belum bisa berlapang dada, dan masih belum bisa mengerti tanggungjawab. Yang Anda tahu hanya tentang mengejar suatu impian, bukan bagaimana melaksanakan sesuatu yang sudah diserahkan pada Anda.
“Pak Basuki jangan emosional dan menyerang pribadi.” Itu perkataan Anies. Namun yang saya lihat justru dia yang banyak emosional dan menyerang pribadi baik dari gestur maupun kata-kata. Lihat saja bagaimana Anies menyerang Ahok soal password dan username wifi dan banyak lagi sepanjang debat.
Sikap ironis Anda ini justru membuat saya menanyakan integritas dan komitmen Anda kelak kalau jadi Gubernur. Ya semoga saja Anda kalah sehingga saya tidak perlu menjadi saksi bahwa intuisi saya malam ini terhadap pribadi Anda itu benar. Jualan Anda adalah kesantunan, tapi bahkan saya lihat Ahok jauh lebih santun.
Mungkin Anda hanya menang di kalem dan intonasi bicara yang sedikit lebih lambat daripada Ahok. Apa mungkin ketika Anda jadi menteri dulu ketika ada rekan menteri, sub-ordinat, atau bahkan Presiden berbeda pendapat dengan Anda atau kemauan Anda tidak terwujud maka Anda terbiasa menyerang mereka baik pribadi maupun secara kelembagaan di depan ataupun di belakang orang-orang tersebut?
Lah kalau nanti Bapak jadi Gubernur jangan-jangan Sandi yang sudah keluar uang banyak untuk kalian juga akan Bapak gembosi dari belakang? Di bagian akhir saat Najwa Shihab mempertanyakan komitmen Calon Gubernur ini seandainya mereka kalah, Pak Ahok sudah bilang akan menuntaskan sisa jabatannya dan meletakkan dasar yang baik asalkan penggantinya pun mau meneruskan kebaikan itu.
Anda saya lihat tidak menjawab apa komitmen Anda jika kalah. Yang saya ingat Anda cuma bilang kalau Anda menang. Susah ya Pak untuk sekadar menunjukkan setidaknya Anda akan berusaha lapang dada kalau kalah? Semakin Anda menunjukkan kemenangan Anda itu harga mati, yang saya lihat malah hanya kobaran ambisi untuk merengkuh sebuah jabatan untuk tujuan yang bukan untuk pengabdian.
Kekeras-kepalaan Anda karena kobaran ambisi ini mungkin juga yang membuat Anda bukan sosok yang tepat bekerja bersama orang lain. Anda lebih cocok kerja sendiri sebetulnya Pak Anies. Oh ya satu lagi Pak Anies, saya baru tahu IPK bagus dan pendidikan tinggi itu ternyata tidak bisa menjamin seseorang bisa berkelas dalam berdebat, saat di akhir Pak Ahok berbicara legacy, Anda malah sibuk berbicara menyerang personal Pak Ahok. So low….
Rahmatika
(gerpol)