Jakarta- Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji menilai putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terkait perkara dugaan penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama janggal dalam proses penegakan hukum di Indonesia selama ini.
Baca:
- Ahok Ditahan, Apa Kabar Penodaan Agama oleh Si “Kafir” Rizieq?
- Pengen Tahu “Gilanya” Pelaksanaan Hukum di Negara Ini? Penahanan Ahok Ini Contohnya!
- Vonis Ahok Bukan “Rule of Law” tapi “Rule by Mass” Alias Takut Tekanan Massa
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan penahanan langsung terhadap Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Majelis Hakim yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto menilai Basuki terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penodaan agama.
“Dalam kehidupan praktik pidana, memang ini dapat dikatakan suatu kejanggalan terhadap penegakan hukum,” kata Indriyanto kepada SP, Selasa (9/5) malam.
Indriyanto mengaku sebelumnya memprediksi hakim akan memutus bebas Basuki. Setidaknya putusan hakim akan sama dengan tuntutan jaksa yang menuntut Basuki satu tahun pidana dengan dua tahun masa percobaan. Selain itu, Jaksa menilai Ahok tidak terbukti melanggar Pasal 156a KUHP sebagaimana dakwaan primer. Jaksa menilai Basuki melanggar Pasal 156 KUHP seperti dalam dakwaan alternatif.
“Prediksi saya akan bebas atau setidaknya hakim akan memutus sama sesuai tuntutan JPU,” ungkapnya.
Indriyanto mengakui hakim memiliki kebebasan dalam menjalankan tugas teknis yudisial, termasuk dalam memutuskan kasus ini. Namun, pada umumnya, putusan hakim terhadap Ahok ini jarang sekali terjadi. Hakim biasanya tidak akan bergeser jauh dari pembuktian jaksa yang terbatas pada Pasal 156 KUHP. Apalagi, hakim memerintahkan Basuki langsung ditahan. Hal ini jarang terjadi karena Basuki masih melakukan upaya hukum banding.
“Dan yang terjadi, Hakim menganggap (Basuki) terbukti (melanggar) Pasal 156a (KUHP) dan pidana dua tahun langsung penahanan. Jarang sekali langsng penahanan dilaksanakan karena ada upaya hukum banding dan kasasi yang membenarkan untuk tidak dilaksanakan penahanan langsung,” ungkapnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia ini membeberkan, sejak berlakunya KUHAP pada 1981, istilah penahanan langsung tidak pernah dilaksanakan karena ada upaya hukum banding atau kasasi. Selain itu, putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama tidak bisa langsung dilaksanakan penahanan karena belum mengikat dan belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Menurutnya, putusan ini memberikan stigma dan inkosistensi terhadap edukasi hukum.
“Diktum putusan pengadilan yang menghukum dua tahun dan penahanan langsung memliki kekuatan eksekutorial saat putusan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan pemahaman bahwa putusan hakim tingkat pertama belum miliki kekuatan eksekutorial untuk melakukan penahanan langsung. Ini memang suatu kejanggalan dari sistem hukum pidana yang sejak KUHAP sangat jarang terkadi seperti ini,” paparnya.
Menurut Indriyanto, putusan ini terkesan menonjolkan subjektivitas hakim. Bahkan, putusan hakim ini terkesan terpengaruh dengan tekanan massa yang selalu mendesak hakim menjatuhkan hukuman maksimal terhadap Basuki.
“Hakim memang bebas, tapi dalam kehidupan praktik peradilan pidana, Hakim akan memutus yang tidak berkelebihan dari tuntutan jaksa yakni Pasal 156 atau memang dibebaskan, juga umumnya kalau Jaksa Penuntut Umum menganggap Pasal 156a tidak terbukti, maka sangat jarang sekali Hakim justru memutus Pasal 156a. Jadi memang terkesan subjektivitas Hakim yang menonjol dari kasus ini. Antara lain apa pun polemiknya adalah public pressure yang melakukan rumor sentimentasi etnis dan keagamaan dan ternyata berpengaruh pada impartial judge,” ungkapnya.
(Beritasatu/Gerpol)