Banyak saksi pelapor yang ‘melucuti’ pakaiannya sendiri di muka sidang kasus Ahok. Yang menarik, itu dilakukan dengan sadar. Seperti tidak tersisa perasaan malu sedikitpun di sana. Kita, masyarakat yang membaca berita dan nonton TV, jadi sering terserang diare menyaksikan kelakuan mereka.
Novel Bamukmin merasa lebih beriman dari masyarakat Pulau Seribu. Inilah alasan dia kenapa masyarakat yang mendengar langsung tidak ada yang protes pidato Ahok. Padahal mereka muslim juga. “Iman mereka tipis,” ujar Novel.
(baca: Saksi-Saksi Pelapor Ahok Terancam Masuk Penjara Karena Bersaksi Palsu)
Tapi kata Novel banyak orang Pulau Seribu yang telpon dan SMS dia memprotes omongan Ahok itu. Ketika ditanya mana bukti SMSnya. “Sudah saya hapus,” jawabnya enteng.
Berbeda dengan Irene Handono. Mualaf yang gemar menjelek-jelekan agama lamanya ini, punya jawaban berbeda. Kata Irene, kenapa tidak ada yang protes saat Ahok pidato di Pulau Seribu, karena yang hadir adalah masyarakat yang terintimidasi dan bawahan Ahok saja.
Irene lupa yang ikut hadir disana ada anggota DPRD dan anggota DPD. Mereka bukan bawahan Ahok.
Memang Irene lebih seru. Dia dengan berani mengungkapkan berbagai tuduhan kepada Ahok. Seperti Ahok melarang murid sekolah memakai jilbab atau Ahok membongkar masjid. Dan itu dilakukan dipersidangan. Tentu saja, Irene cuma mengambil informasi dari kata orang. Sebab tidak pernah ada fakta seperti itu.
Jelas terbaca, tampaknya Irene lebih suka mempercayai khayalanya ketimbang mengecek fakta-fakta. Saya jadi maklum jika dia begitu gemar menyebar karangan tentang keburukan ajaran Katolik. Mungkin begitulah cara dia untuk mendapat pengakuan.
Sedangkan saksi Gus Joy adalah pendukung Agus Yudhoyono. Ini dibuktikan dengan deklarasi yang pernah digelarnya. Sayangnya sebagai saksi pelapor dia pelupa. Bahkan dia lupa kapan dia sekolah. Dia juga lupa bahwa dia bukan lawyer. Padahal kemana-mana blio-nya ngaku advokat.
Untuk mengetahui siapa sesungguhnya Gus Joy, saya sarankan sesekali berkunjunglah ke blog miliknya. Blio-nya banyak menceritakan siapa dirinya di sana.
Ada saksi pelapor yang nonton video pidato Ahok dari kiriman WhatApps. Lalu Pedri Kasman ngotot Ahok menistakan agama. Dia melaporkan ucapan Ahok. Dalam berkas laporan dia bilang omongan yang dilaporkan, ‘Dibohongi surat Al Maidah 51’. Tapi dalam BAP berubah. ‘Dibohongi pakai Al Maidah 51’. Jadi antara yang dilaporkan dengan keterangganya berbeda.
Pedri mengaku tidak mengenal Buni Yani. Tapi ketika ditunjukan foto dia berpose bersama Buni Yani, dia baru mengakuinya. Entahlah, ada sebuah akun atas nama Pedri Kasman yang isinya menunjukan simpati pada ISIS. Apakah itu benar akunnya, kita belum tahu.
Itulah kualitas saksi pelapor yang ngoceh disidang Ahok. Kita jadi maklum, bagaimana mereka berfikir dan mengolah informasi. Jika di depan sidang yang punya konsekuensi hukum saja mereka berani melontarkan opini tanpa fakta, apalagi ketika mereka sekadar ngoceh di depan publik?
Padahal Novel mengaku ulama. Irene sering ceramah di mana-mana.
Kita juga jadi tahu, kenapa anggota DPD Fahira Idris ngotot menyerukan jangan ada siaran langsung pada sidang ini. Mungkin saja Fahira paham, bagaimana kualitas saksi-saksinya. Padahal dia sangat ingin Ahok dipenjara.
Tapi, saya juga setuju dengan Fahira. Coba bayangkan jika tanya jawab persidangan dengan saksi-saksi sekualitas begini disiarkan secara langsung? Apakah itu tidak beresiko Indonesia terkena wabah diare masal?
Mendengar potongan beritanya saja, sejak pagi saya sudah beberapa kali bolak-bakik ke toilet.