Para Politisi Busuk Itu Telah Merampas Paramadina, Diskusi tentang Cak Nur Dilarang!

501057
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Paramadina

Tak kuat saya untuk tidak menulis isi jiwa ini… Pasca Diskusi Publik Merawat Pemikiran Guru-Guru Bangsa, yang sejatinya di Auditorium Nurcholish Madjid namun harus dipindah ke Hotel Atlet itu, perasaan ini masih geram dan sedih.

Bayangkan… Pikiran Cak Nur dilarang didiskusikan di Universitas Paramadina (UPM). Di Universitas yg didirikannya. Di rumah jiwa dan pikirannya…

Tergurat kesedihan mendalam di wajah Bu Omi, ketika saya menyambut kedatangannya di Hotel Atlet tempat acara diskusi di langsungkan.

Saya mencium tangan beliau dengan khidmat dan sayang… Kemudian memeluk tubuh kurusnya yang sudah sering sakit-sakitan.
Mata Bu Omi berkaca kaca dan itu terulang menjelang beliau memberi sambutan. Suaranya bergetar, kedua pelupuk matanya berkaca..

Ya Allah.. saya tahu beliau menahan air matanya untuk tidak jatuh.
Hati serasa tercabik menyaksikannya. Dada ini bergemuruh. Air mata saya menetes tak henti…

Sedih, perih campur geram. Sedih karena, bagi saya, Cak Nur dan Bu Omi sudah seperti orang tua, ayah-ibu bagi saya. Sejak belia, saya sudah mengenal keduanya, beliau berdua sahabat orang tua saya. Ucapan dan keluhuran perilakunya membekas kuat dalam ingatan.

Kini, Bu Omi meneteskan air mata..
Mereka lukai orang tua saya! Perih karena pikiran Cak Nur, ruh UPM dipadamkan justru di lembaga yang dibangun dengan segenap jiwa!

Geram pada mereka yang bangga mengatakan “api itu telah kami padamkan”.

Seperti para pembaca, saya gusar! Nalar ini gelisah, lahir tanya mendesak: Mengapa diskusi tentang pikiran guru-guru bangsa (Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i dipindahkan? Saya telusuri informasinya, khususnya panitia. Hasilnya seperti ini… Diskusi tersebut dirancang oleh Prodi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina (UPM) dan Nurcholish Madjid Society (NCMS). Tujuannya sederhana, mengedukasi publik dengan mengangkat kembali khazanah pemikiran tak ternilai dari guru bangsa tersebut, agar waras dalam melihat fenomena kekinian. Diundur atau dipindah ke tempat lain, begitu rekomendasi komite (sensor) kegiatan. Komite ini pernah disebut oleh Anies R. Baswedan saat ceramah di markas FPI sebagai alat pemadam “api” di UPM. Komite ini berargumen, kampus harus netral! Dengan mengatakan seperti itu, sungguh komite su’udzon, berburuk sangka pada penyelenggara (prodi FA dan NCMS), dan sudah pasti pada pikiran Cak Nur!

Mencurigai bahwa pikiran Cak Nur akan menempeleng Anies! Sungguh sebuah sikap kurang ajar! Komite ini bicara netralitas, tapi komposisi komite juga tak netral. Coba kita lihat, siapakah ketua komite. Orangnya Anies kan? Aaaah…, omong kosong dengan netralitas!

Argumen lain, adanya ancaman rusuh. Jelas, mengada-ada. Intinya, dari sisi prosedur penyelengaraan dan isi diskusi tak ada masalah. Lalu apa sebenarnya?

Eksplisit, tekanan politik dari sebagian pengurus harian yayasan Paramadina pro-Anies (tentunya)! Sebagai informasi, Anies dan Sandiaga pun adalah pengurus inti Yayasan. Inilah konstelasi-konspiratifnya! Ini bukan spekulasi, atau mengada-ada! Silahkan konfrontir pernyataan ini dengan ketua panitia atau kepada rektor. 1000% valid. Ya, penggagalan diskusi tersebut di kampus UPM adalah kerena mengganggu pemuasan syahwat politik seorang Anies-Sandi. Sangat Kotor!!!

Geram! Anies masuk ke UPM sebagai rektor dengan cara abnormal, khas oportunis. Lalu, apa yang dilakukannya di UPM? Anies diamanahi membangun kampus baru UPM, gagal. Ya…, gagal. seperti kegagagalannya sebagai menteri. Rangkuman dari apa yang dilakukan di UPM adalah “Saya yang padamkan api itu.” Demikian pengakuannya. Api Islam Paramadina itu dinyalakan oleh Cak Nur. Anies yang memadamkan. Na’udzu billa min dzalik…

Saat murid murid ideologis Cak Nur berupaya menyalakan api itu, antek-anteknya buru-buru memadamkannya. Bukan dengan argumen rasional, tapi dengan tangan besi! Tragis! Duka mendalam untuk UPM…
UPM babak belur, kehilangan marwah intelektual, gara-gara segelintir orang yang memilih jadi pengkhianat pemikiran cak Nur demi sang pemadam api, pencabut ruh Paramadina.

Bagi saya, Anies kehilangan legitimasi intelektual, sekaligus integritasnya. Integritas yang berbusa-busa diceramahkannya luluh-lantak oleh perilakunya sendiri. Lihatlah rekam jejaknya! Anies bukan pribadi yang pantas dipercaya! Tak pernah setia dengan kata-kata yang pernah diucapkannya. Menjilat ludah sendiri! Rekam-jejak digitalnya melimpah soal ini.

“Blusukan jokowi itu pencitraan,” katanya saat mengikuti konvensi Partai Demokrat. “Jokowi itu kita,” ujarnya saat jadi juru bicara tim kampanye Jokowi seraya mengejek Prabowo Subianto sebagai “orang bermasalah yang didukung para mafia.”

Sekarang dia berkata, “Prabowo itu negarawan.” Ya, tampaknya, demi memuaskan nafsu kekuasaan, Anies berjalan zig-zag dalam politik dan tak sungkan mencabut nyawa lembaga yang membesarkannya.

Ingatan saya melayang jauh ke masa 10 tahun silam… lekat dalam ingatan saya, Gejala kooptasi Paramadina dimulai pasca wafatnya Cak Nur. Ada “kudeta” kepengurusan Yayasan. Ketika 2 orang sahabat Cak Nur yang menjabat sebagai ketua dan sekretaris yayasan Paramadina diberhentikan secara tak adil (menurut saksi mata malah kejam) di hadapan Dewan Pembina, di rumah salah seorang pengurus di Widya Chandra. Kudeta ini digalang salah satunya oleh Didiek J. Rachbini.

Sejak itu Dewan Pembina & Pengurus Yayasan sebagian besar dikuasai oleh pribadi2-pribadi yang enggan menjalankan gagasan & pemikiran Cak Nur. Kini, bahkan lebih parah lagi. Anies Baswedan & Sandiaga Uno masuk dalam struktur. Tak heran bila diskusi kemarin dilarang di kampus. Bahkan Didiek Rachbini selaku ketua harian yayasan Paramadina, politisi PAN, partai pendukung paslon Anies – Sandi itu mengancam akan membuat kisruh dan menggembok gerbang masuk universitas dan menyiapkan keamanan kampus untuk menghadang, apabila murid murid ideologis Cak Nur berkeras menyelenggarakan acara diskusi di kampus UPM.

Paramadina benar-benar dijajah oleh para oportunis dan politisi tak punya integritas. Padahal, Cak Nur pernah menegaskan bahwa, “Paramadina adalah rahim pengembangan pemikiran Keislaman. Pengekangan terhadap hal ini berakibat pada kejumudan pemikiran”. Ya Allah… Paramadina….

Indah Dahlan

(gerpol)