Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rumadi Ahmad menilai, politisasi agama Islam di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta sudah keterlaluan dan over dosis. Menurut Rumadi, situasi itu sangat berbahaya jika dibiarkan dan harganya terlalu mahal jika hanya karena politik maka agama dan kebangsaan dipertaruhkan.
“Ini namanya sudah keterlaluan dan over dosis. Politisasi agama ini sudah sampai ke masyarakat bawah dan bisa memicu konflik horisontal,” ujar Rumadi dalam diskusi bertajuk “Simbol Agama (Keras vs Lembut dan Moderat): Ke Mana Suara NU?” di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (15/3).
Baca: Banser dan Pemuda Ansor Turunkan dan Hancurkan Baleho Rizieq
Rumadi mengungkapkan, pertarungan lantaran perbedaan politik sudah sampai di masjid-masjid, sehingga ada fakta bahwa pengurus masjid dipecat hanya karena mendukung calon tertentu. Selain itu, kata dia, yang lebih menyedihkan adalah beredarnya spanduk yang berisikan pesan tidak menyalatkan jenazah umat muslim yang mendukung calon kepala daerah non-muslim.
“Bahkan, ada spanduk yang berisikan pesan tidak akan memakamkan jenazah yang mendukung calon kepala daerah non-muslim. Ini sudah keterlaluan, politisasi agama. Harus dicegah dan diwaspadai,” tandas dia.
Dia juga tidak bisa membayangkan jika politisasi agama yang terjadi di Jakarta digunakan di daerah lain, seperti di Papua, NTT, Maluku, Bali, atau daerah lainnya. Menurutnya, kebangsaan dan keindonesiaan tidak ada gunanya lagi. “Karena itu, tidak boleh main-main dengan politisasi agama. Ini harus segera direm,” kata dia.
Rumadi mengapresiasi langkah aparat keamanan yang telah mencabut dan membersihkan berbagai spanduk yang berisikan pesan-pesan provokatif. Dia menilai, penegakan hukum yang tegas merupakan langkah tepat.
NU, kata dia, tidak akan mengarahkan umatnya untuk memilih kandidat siapa pun di Pilgub DKI Jakarta. Pilihan politik tersebut, kata dia, diberikan kebebasan kepada masing-masing umat sesuai dengan hati nurani.
“Kami hanya mendorong warga NU untuk memilih pemimpin yang mengedepankan politik kenegaraan dan politik kerakyatan. Siapa itu, bergantung pada hati nurani masing-masing pemilih. NU sudah menarik diri dari politik praktis sejak 1984, karena politik praktis rentan terjadi politisasi agama,” tutupnya.
(beritasatu/gerpol)