Pelanggaran Asas Non Ultra Petita Oleh Hakim Dalam Perkara Ahok

1197
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Meme di 9GAG

Ada prinsip penegakan hukum yang universal:

“Judicis est ius dicare, non dare”.

Artinya, tugas seorang hakim adalah menerapkan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim harus taat pada ketentuan hukum yang sudah ada.

Maka dengan putusannya, seorang hakim tidak boleh menciptakan hukum baru yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang sudah ada.

Itulah yang terjadi dalam perkara Ahok, majelis hakim melanggar larangan “non ultra petita”: seorang hakim dilarang memutuskan suatu perkara yang tidak dituntut oleh jaksa dalam surat tuntutan (requisitoir).

Dimana letak ultra petita-nya?

Pertama, dalam surat tuntutan yang dibacakan tanggal 20 April 2017, jaksa menegaskan bahwa setelah mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa, terbukti, unsur-unsur tindak pidana penistaan agama (Vide Pasal 156 a huruf a KUHP) tidak terpenuhi.

Akibatnya, Pasal 156 a huruf a KUHP didrop atau dikeluarkan dari tuntutan jaksa terhadap Ahok. Maka Ahok pun hanya dituntut dengan pasal alternatif lainnya yaitu Pasal 156 KUHP (penghinaan terhadap satu golongan rakyat Indonesia).

Dengan demikian, majelis hakim hanya terikat untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini sesuai dengan apa yang menjadi pokok masalah antara jaksa dan terdakwa yaitu dugaan penghinaan terhadap satu golongan rakyat Indonesia (“secundum allegata iudicare”).

Kenyataannya, majelis hakim tetap ngotot menghukum Ahok dengan Pasal 156 a huruf a KUHP yang sudah dikeluarkan dari surat tuntutan atau melampaui surat tuntutan, itulah yang disebut “ultra petita”.

Kedua, dalam surat tuntutan (requisitoir), jaksa hanya menuntut Ahok dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 2 (dua) tahun.

Jika majelis tunduk dan taat pada prinsip penegakan hukum universal: “non ultra petita” dan “secundum allegata iuducare” tersebut, maka Ahok hanya bisa dijatuhi hukuman yang lebih rendah atau setinggi-tingginya sama dengan tuntutan jaksa tersebut.

Lalu, mengapa majelis hakim berani melanggar prinsip-prinsip penegakan hukum yang universal itu? Diperkirakan karena majelis hakim terintimidasi oleh tekanan demo dari sekelompok masyarakat tertentu yang menghendaki Ahok harus dihukum.

Akibatnya, seperti kata Cicero: “damnant quod non intelligunt” – mereka (majelis hakim) menghakimi sesuatu yang tidak mereka ketahui (apa kesalahan Ahok sesungguhnya). Majelis Hakim seharusnya menyadari dan mampu meyakinkan masyarakat pencari keadilan bahwa hukum itu lebih berkuasa dari ancaman kekerasan dari para pendemo (“armis potentius aequum”).

Harapan

Perkara Ahok hendaknya jadi pelajaran hakim-hakim lainnya. Masyarakat mempercayai anda karena keahlian dan pengalaman anda di bidang hukum.

Atau, seperti kata Cornelius Tacitus, sejarawan Romawi (55-117 M): hakim itu dipercaya menjadi ahli dalam bidang hukum karena pengalaman-pengalamannya dalam tugas menyelesaikan perkara (“arbiter elegantiarum”).

Keahlian anda benar-benar diapresiasi oleh masyarakat, kuncinya hanya di sini: “quod non est in actis, non est in mundo” – Hai para hakim, anda hanya boleh memperhatikan berkas-berkas perkara (dan fakta-fakta persidangan), sedangkan masalah-masalah di luar itu, jangan anda perhatikan. Demo dan tekanan massa jangan anda hiraukan.

Harapan yang sama ditujukan kepada hakim-hakim di tingkat banding: jaga independensi anda dan jangan tunduk pada tekanan massa.

Edi Danggur

(Penulis adalah anggota Tim Penasehat Hukum Bhinneka Tunggal Ika – Basuki Tjahaja Purnama)

(gerpol)