Sejumlah aktivis senior dari berbagai kalangan berkumpul di Resto PEMPEK KITA, di Tebet Timur Dalam Raya, Tebet, Jakarta Selatan. Peserta bersama sejumlah wartawan terlihat memadati ruangan ini. Tampaknya, pertemuan ini dikonsolidasi oleh aktivis kawakan yang juga politisi senior, Bursah Zarnubi.
Pertemuan tersebut dikemas dalam bentuk diskusi mengenai kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mengusung tema yang datar dan netral “Perkiraan Arah Gelar Perkara Ahok”. Sepertinya acara tersebut memang disiapkan untuk mengawali gelar perkara kasus Ahok yang akan berlangsung Selasa 15 November, besok.
Hadir dalam diskusi, tokoh-tokoh dari berbagai kalangan, di antaranya: Syahganda Nainggolan, Ketua Umum KAMMI, MS. Kaban, Mokhtar Effendi, Sidratahta Mukhtar, Umar Husein, tokoh Al-Irsyad, Panglima FPI Munarman, Hatta Taliwang, Ahli Hukum Profesor Djoko Edi, dan masih banyak tokoh lainnya.
Namun siapa sangka, judul yang terlihat datar ini menyimpan makna penting mengenai nasib demokrasi kita ke depan. Awalnya, saya menduga diskusi ini akan banyak berbicara mengenai nalar hukum yang bekerja di Bareskrim Polri. Nyatanya, saya tak menemukan itu. Arah wacana yang muncul sudah meleset terlalu jauh, bukan lagi berbicara mengenai proses hukum, tetapi sudah menyangkut tentang apa yang akan terjadi pasca putusan hukum. Jadi, orang-orang dalam forum itu sepertinya sudah punya agenda tersendiri, minimal bisa membaca arah politik pasca putusan kasus Ahok. Apa itu? Pemakzulan Pesiden.
Jika Ahok pada akhirnya terbukti dinyatakan tidak bersalah, tampaknya Jokowi pun harus bersiap-siap menghadapi gelombang massa menerjang dirinya dan Istana. Intinya, Ahok harus tumbang. Kalau tidak? Silahkan tafsir sendiri. Begitulah kira-kira kesimpulan umum dari diskusi ini.
Hal ini misalnya tampak dari pernyataan Syahganda Nainggolan. Pendiri Miraoke Circle ini yakin betul dengan kekacauan yang akan ditimbulkan bila Ahok dinyatakan tidak bersalah. Ia menyitir pernyataan bekas Ketum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin: “5 juta umat Islam Jabar siap datang ke Jakarta”.
Ia melihat dinamika politik ke depan akan membuat masyarakat terbelah dalam dua kelompok besar: Kelompok Islam dan Pancasila Versus Kelompok Liberal. Nah, kelompok kedua inilah, kata Syahganda, yang melahirkan LGBT, memberikan keleluasaan terhadap etnis China, memberi pembenaran terhadap penista agama, dan seterusnya dan itu dikonfirmasi oleh penguasa negeri. Maka, terjadilah benturan itu. Saya sendiri yang hadir dalam forum hanya bisa geleng-geleng kepala, dari mana kesimpulan tersebut didapatkan.
Menurut Syahganda, gelombang ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Samuel P Huntington, Profesor Ilmu Politik di Amerika Serikat, dalam bukunya, “Benturan Antar Peradaban”. Ia mengambil teori ini untuk menemukan pembenarannya terhadap musibah besar yang akan terjadi tanggal 25 November besok.
“Kalau ini terjadi, maka Jokowi akan dengan sendirinya mundur, Ahok masuk penjara, lalu elit politik akan melakukan perundingan-perundingan. Dengan siapa? tentu saja dengan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Di situlah nanti akan dirunding, apakah transisi tersebut akan dilalui dengan berdarah-darah, atau sebaliknya, bisa dilakukan dengan jalan damai. Ini akan sangat tergantung nanti dalam perundingan itu,” kata Syahganda.
Tak jauh dari itu, MS Kaban yang turut hadir dalam diskusi ini juga melayanagkan pesan tegas, “Harga ketidakadilan adalah jatuhnya kekuasaan. Apakah Jokowi tega melihat kejadian ini. Karena harga ketidakadilan itu mahal,” kata polisikus PBB ini.
Menurut bekas Ketum Partai Bulan Bintang ini, bila putusan akhir kasus Ahok tidak memenuhi rasa keadilan terhadap umat Islam, maka ledakan itu dipastikan bakal terjadi. Meski kita, dalam hati kecil, mempertanyakan, apa itu rasa adil yang ada di benak MS Kaban, bila proses-proses hukum diabaikan begitu saja.
Begitu juga dengan pembicara lainnya. Tema berat yang diusung berputar-putar di sekitar pemakzulan. Ada kesan bahwa kasus Ahok hanyalah sasaran antara saja. Ada pun tujuan yang sebenarnya adalah pemakzulan itu sendiri. Saya sendiri curiga, tempat ini jangan-jangan memang sengaja disetting sebagai tempat awal gelombang pemakzulan Jokowi berlangsung. Apalagi, isunya sudah sangat liar dan riskan.
Yang paling menarik, pertemuan tersebut berlangsung di sebuah posko pemenangan Agus-Sylvi, yakni sebuah resto yang di dalamnya juga ada beberapa ruang yang dipakai untuk tim pemenangan putra mahkota Susilo Bambang Yudhoyono itu. Hal ini tampak dari spanduk besar terpampang di depan pintu resto tersebut, bertuliskan “Posko Komunitas Asli (Agus-Sylvi). Pengakuan salah seorang sumber, tempat tersebut memang milik Bursah Zarnubi. Jadi, kemungkinan besar, posko tersebut dipakai oleh tim yang dipimpin langsung oleh Bursah.
Fakta ini semakin membuka mata kita mengenai aktor politik di balik demo. Apalagi, bila dihubungkan dengan peristiwa sebelumnya, di mana SBY tiba-tiba muncul di hadapan publik, curhat, merasa tertuduh, seolah ditunjuk-tunjuk publik sebagai dalang atau aktor politik di balik demo. Bayangkan, tak ada angin, tak ada hujan, dia tiba-tiba muncur menerjang isu liar yang tak jelas sumbernya itu.
“Mau sampai lebaran kuda pun demo akan terjadi jika Ahok tak segara diproses hukum,” kata SBY.
Itu sebabnya, tak salah bila Presiden Jokowi yakin betul bahwa ada aktor politik yang berkepentingan di balik demo 411. Benarkah demikian? Wallahu a’lam. (za)
Suara Pemakzulan Jokowi dari Posko Agus-Sylvi, Siapa Aktornya?