Pendukung Ahok dan Jokowi, Waspadalah Propaganda Adu Domba!

1623
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Kali ini saya mau nulis cerita ya, bukan status lagi. Soalnya bakalan panjang. Sekali2 saya nulis serius di Facebook boleh lah ya, karena saya ngerasa saya butuh untuk ngomong.

Tahun 2014 lalu, saat kami sekeluarga memutuskan untuk mencoba mendaftar pindah ke Selandia Baru, isu rasialisme di Indonesia sama sekali BUKAN menjadi alasan kami untuk pindah. Jadi kalau sampai ada yang bilang orang minoritas ganda kayak saya pindah ke luar negeri pasti karena capek dengan keadaan tertekan sama isu SARA, jelas itu salah walaupun ada juga orang yang pindah karena itu.

Justru di tahun 2014 itu saya merasakan kaum minoritas ganda mulai bercahaya lewat Pak Ahok. Seorang keturunan Tionghoa dan Nasrani yang membuka harapan, kalau siapapun dia, apapun agama dan keturunannya bisa juga terjun di dunia politik, jadi pejabat pemerintahan, dan menghasilkan gebrakan-gebrakan positif untuk kemajuan kota Jakarta. Bahkan saya pernah bilang sama suami, suatu hari, masih terbuka lebar kemungkinan kita balik ke Indonesia, melihat Indonesia sudah maju merata dan sejahtera setelah era kepemimpinan Jokowi dan Ahok yang membuka standar tinggi untuk pejabat publik yang pro rakyat dan anti korupsi.

Lalu kejadian kemarin itu, sungguh menampar muka saya. Ternyata Indonesia belum siap untuk diajak maju ke depan. Lagi2 digoyang dengan isu SARA hanya untuk meluluskan kepentingan beberapa gelintir golongan yang haus kekuasaan dan haus dengan kekayaan bangsa ini. Terus gimana perasaan saya? Awalnya sedih, kemudian marah sedikit, tapi saya bawa merenung dan bawa dalam doa. Saya mencoba mencerna, apa sih gambaran besar (big picture) yang sedang berlangsung sekarang ini?

Selama ini, hampir semua sidang Ahok saya tonton. Saya buka youtube di TV saya dan menyaksikan yang terjadi. Tapi baru kemarin saya merasa punya “feeling” akan keputusannya. Makanya kemarin saya mencoba nyantai banget. Sore ke supermarket, sambil lama-lamain ambil daging, roti, juice, pokoknya muter-muter dari lorong yang satu ke lorong yang lain. Bener aja, pas sampai rumah, WA groups saya sudah penuh dengan ratusan baris pesan yang isinya sedih, marah, campur aduk jadi satu. Rata-rata sih kecewa sama bangsa ini. Di timeline Facebook juga begitu.

TAPI (PENTING NIH) ada satu gerakan yang saya lihat sangat aneh! Masih ingat bagaimana kelompok yang tadinya hobi banget menggunakan isu SARA untuk menggulingkan Ahok, mendadak sekarang jadi “sok membela Ahok” dengan bilang Ahok cuma korban dari ketidaktegasan Jokowi dalam menangani isu SARA. Kemudian mendadak mereka mengarahkan supaya kita benci Jokowi karena dia tidak membela Ahok. Sudah keliatan polanya? Nangkep nggak? Kelihatan gak ujungnya misi mereka-mereka ini apa?

Banyak orang yang diskusi dengan saya. Banyak yang marah dan merasa kelompok pendukung Ahok ini harus demo, harus marah, harus pakai cara-cara yang mirip yang dilakukan oleh kaum radikal. Saya tanya, kenapa harus pakai cara begitu? Itu bukan ciri khas kelompok pendukung Ahok kan? Tapi mereka bilang, “Because it works, Le.” C’mon people, anarkis, teriak2 nama Tuhan campur kata bunuh dan bakar-bakar itu sama sekali bukan apa yang diinginkan Ahok dari awal. Mau aksi damai besar-besaran kayak aksi mahasiswa tahun 1998? Gimana kalau mendadak ada sniper lagi? What’s next?

Yang namanya provokator, akan tetap jadi provokator untuk kepentingan pribadinya. Siapa yang akhirnya menderita? Rakyat Indonesia! Apapun itu suku, agama, dan rasnya. Sebagian warga Indonesia di Selandia Baru sini juga merupakan beberapa orang yang pindah karena trauma gara-gara peristiwa 1998. Sudah hampir 20 tahun berlalu, tetapi saya masih merasakan adanya “racial tension” di negeri orang. Yang keturunan Tionghoa kadang cuma mau ngumpul/ ngegank dengan keturunan Tionghoa, begitupun suku2 lainnya juga punya kelompok sendiri. Beberapa orang yang saya temui masih ada rasa “kurang kepercayaan” terhadap saudara sebangsa cuma gara2 beda suku. Padahal ini di Selandia Baru loh! Betapa menyakitkannya bangsa kita dibelah2 oleh provokasi menyangkut kebhinnekaan yang seharusnya bisa jadi HARTA yang sungguh berharga yang dimiliki Indonesia.

Terus, apa saya masih punya keyakinan sama Indonesia? Masih! Masih banget! Makanya ada perasaan sedih saat orang-orang bilang Indonesia itu sudah hopeless, dan berbondong-bondong ingin pindah ke luar negeri. Ditambah kita dipanas-panasi oleh kubu lawan yang bilang Jokowi melempem, gak pantas jadi presiden, mending pada minggat saja (Hari ini terima forward-an soal ini). Sekali lagi saya tegaskan: sudah keliatan polanya lawan belum?

Baca:

Saya juga agak sedih melihat beberapa orang Indonesia di luar negeri, yang lahir dan besar di Indonesia, tapi di sosial media malah menjelek-jelekkan Indonesia dan membanggakan luar negeri. Padahal nih keluarganya semua masih ada di Indonesia. Ayo dong, harapan itu masih ada. Dulu kita tidak pernah punya bayangan seorang minoritas ganda bisa jadi Gubernur DKI. Ternyata itu terjadi walau masih sejibun kendala. Lihat itu Pak Ahok, dia mampu dan bisa kabur ke luar negeri dari kapan-kapan. Tapi cintanya pada Indonesia luar biasa, sampai dia rela dicaci maki, dihujat, difitnah, bahkan sampai dipenjara. Saya percaya, dia mau menjalani itu semua, karena dia masih punya harapan atas Indonesia. Masak sih kita nggak punya harapan?

Mungkin ada yang mencibir saya, dengan bilang, “Ah Le, lu mah enak aja ngomong. Lu udah enak tinggal di luar negeri.” Saya perlu ulang sekali lagi, kalau pilihan saya tinggal di sini sama sekali tidak terkait isu rasialisme. Walaupun jauh, saya terus berusaha memupuk harapan akan Indonesia yang lebih baik. Saya nggak berhenti menegur orang yang terpancing dengan hasutan provokasi atau hoax di sosial media walaupun saya suka di cap sok ideal dan mengganggu “pesta” orang yang lagi menikmati hoax. Saya terus mewartakan kebaikan Indonesia ke orang-orang lokal di sini dengan menepis semua anggapan mereka soal radikalisme agama tertentu, dan sebagai emak2 hobi masak, saya nggak berhenti untuk memperkenalkan makanan Indonesia untuk kawan2 Kiwi di sini untuk menunjukkan kalau Indonesia itu kaya budaya, kaya rasa. Itulah yang membuat Indonesia hebat! The diversity!

Sekali lagi, jangan berhenti berharap, jangan benci Indonesia, jangan tinggalkan presiden kita yang lagi berjuang mati-matian untuk menjaga stabilisasi negara. Speak up yang lantang ke kawan-kawan kita yang masih butuh pencerahan, tapi jangan sampai berantem. Tunjukkan kepada mereka, walaupun mereka benci sama kita setengah mati, kita nggak benci mereka. Perjuangan itu butuh waktu, butuh keberanian, dan yang terpenting, butuh campur tangan Tuhan. Dan saya masih percaya, Tuhan tidak tidur.

Salam Bhinneka Tunggal Ika,
dari saya.

– Yang barusan mewek berat dengar lagu Rayuan Pulau Kelapa karena mengingatkan saya saat Aubade di Istana Negara pas SMP.
– Yang dulu sering dikata-katain dan digodain, “Amoy… Cina… ” saat nyari makan siang di Pasar Baru tapi nggak sakit hati.
– Yang dulu dikatain “Atun… Atun” saat main Tuba di parade Kemerdekaan RI dari Monas sampai Bunderan HI sampai hampir pingsan tapi bangganya setengah mati.
– Yang naik mobil jemputan umpel2an ber-18 demi bisa pulang ke rumah saat kerusuhan Mei 1998.
– Yang nekad ikut papanya anter nasi box buat tentara saat kerusuhan Ketapang di tahun 1999.
– Yang 3 tahun berturut2 jadi ketua bake sale makanan Indonesia pas kuliah di Amerika sampai gak tidur 3 hari 3 malam.
– Yang nggak pernah menyesal memutuskan pulang ke Indonesia di tahun 2006 padahal di Amerika punya kerjaan dan kehidupan bagus.
– Yang tetap bangga memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia di negara manapun walaupun punya kulit putih dan mata sipit.
– Yang ngga pernah kehilangan harapan buat negara kita tercinta.”

Status Facebook Leony Halim

(gerpol)