Pengusiran Djarot dari Masjid dan Anies-Sandi yang Terperangkap

501574
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Djarot yang selalu tersenyum. Foto pasca diusir oleh jamaah Masjid Tebet

Insiden pengusiran cawagub Djarot di masjid kawasan Tebet ketika sholat Jumat memberi bukti nyata bahwa memang benar masjid dijadikan ajang kampanye mendulang suara.

Politisasi masjid menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi Anies-Sandi yang sudah dimulai sejak putaran pertama meskipun berulang kali disangkal. Strategi ini kemudian didukung oleh sejumlah organisasi garis keras dengan bendera Jakarta Bersyariah. Jika sukses maka langkah berikutnya adalah Indonesia bersyariah.

Pihak masjid termasuk takmir masjid membantah terjadi pengusiran. Namun pada akhirnya, mereka tidak bisa berkutik karena sejumlah bukti foto, video dan pengakuan menunjukkan bahwa telah terjadi penolakan dan pengusiran terhadap Djarot.

Tindakan ini tidak hanya memalukan melainkan sangat merugikan pasangan Anies-Sandi yang sejak awal berusaha suara dari mereka yang sampai sekarang ini masih belum atau setengah-setengah dalam menentukan pilihan. Undecided voters yang kini dikejar oleh dua pasangan calon gubernur DKI.

Tadinya kita berharap Anies dan Sandi menyikapi insiden ini dengan meniru senator John Mc Cain ketika bertarung melawan Obama. Ketika ada pendukungnya yang mengatakan Obama itu teroris Islam, Mc Cain dengan tegas menjawab, “Nyonya, saya tidak setuju. Obama bukan teroris. Dia adalah ayah yang baik dan mencintai keluarganya. Saya hanya berbeda pendapat dengan Tuan Obama.” John Mc Cain kalah tapi wibawa dia melambung karena memiliki sifat kenegarawan bukan politisi kacangan.

Namun sebagaimana yang kita ketahui, pasangan Anies-Sandi justru mengaminkan perilaku memalukan tersebut. Sandi menuding kedatangan Djarot sebagai bagian dari kampanye. Jikapun benar, maka ini langkah jitu dari paslon nomor dua.

Menusuk di jantung lawan sekaligus membuktikan bahwa memang benar ada politisasi masjid-masjid untuk mendulang suara. Setelah ketahuan, Anies dan Sandi tidak bisa berkilah lagi selain membela diri.

Padahal pembelaan apologetik Sandi itu menegaskan bahwa memanglah benar pasangan ini mengusung simbol-simbol agama termasuk mengakomodasi kaum radikal yang gemar melakukan kekerasan. Jikapun ada gunanya, maka komentar sandi hanya menguatkan tekad pendukung yang sudah ada. Namun bukan untuk menggaet pemilih yang belum menentukan pilihan.

Baca:

Dan jikapun memang benar preferensi publik Jakarta yang cenderung ke Anies seperti yang ditampilkan dalam sebagian besar polling media, maka kejadian di Tebet adalah kontra-produktif. Insiden itu berpotensi menjauhkan mereka yang belum memilih untuk memberikan suaranya ke Ahok. Atau yang tadinya mendukung Anies berubah haluan.

Jadi strategi Djarot masuk ke jantung lawan adalah cara kampanye yang cerdas. Sangat boleh jadi cara-cara ini bakal diulang Djarot dalam hari-hari menjelang pemilihan. Makin keras reaksi makin menguntungkan.

Sementara jika diam dan menerima kedatangan Djarot, juga memberi keuntungan karena sambutan hangat di daerah yang dikira sebagai kubu lawan ternyata hanya bualan.

Ini semua akan makin memperangkap Anies dan Sandi dalam kurungan persepsi bahwa pasangan ini mengusung isu keagamaan ketimbang mengandalkan program.

Sentimen demikian bakal semakin menjauhkan Anies dan Sandi sebagai figur yang moderat dan mengayomi semua golongan.

Jika kita tinjau lagi ke belakang, kemenangan gubernur di Jakarta selalu ditentukan oleh swing voters yang alergi dengan aneka pemahaman agama yang sempit. Dan tidak ada sejarahnya pasangan yang mengusung simbol-simbol keagamaan, rasisme serta fasisme menang di Jakarta apalagi di Indonesia.

Mereka akan terjungkal dengan cara menyakitkan tanpa bisa bangkit lagi seperti pengalaman pahit yang sampai saat ini menjadi trauma bagi PKS yang berpotensi menjadi partai gurem jika Anies kalah.

(Gerpol)