Ini pandangan saya dalam perspektif praktisi IT melihat debat seru yang terjadi dalam spesial Mata Najwa 27 Maret 2017.
Tidak banyak yang tahu penerapan sistem elektronik dalam sistem itu menyebabkan goncangan hebat dalam sistem itu sendiri pada awal implementasinya.
Banyak faktor yang mempengaruhi antara lain (banyak faktor lain, di sini hanya dibahas dari sisi usernya saja):
- User kagok. Untuk mengubah cara kerja user dari sistem tradisional ke sistem berbasis teknologi tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Butuh penyesuaian berbulan-bulan dan bertahun-tahun.
- User pro status quo. User yang merasa nyaman dengan pola kerja lama yang dirasa lebih dinamis untuk main mata dengan pihak-pihak terkait untuk memperkaya diri sendiri. Sedangkan ketika sistem tersebut dijalankan akan menutup celah-celah bagi user yang nakal mengakali sistem untuk kepentingannya sendiri alias nyolong. Dalam hal ini user resisten terhadap sistem baru.
Kembali ke debat, Anies kelihatan ber-retorika tentang penyerapan anggaran APBD DKI berkaca ke tahun pertama diiimplementasinya sistem e-budgeting di Pemprov DKI. Anies menyoroti soal kecilnya serapan anggaran DKI.
Dari kacamata dunia IT sangatlah tidak mungkin sistem yang baru dijalankan langsung menghasilkan outpun seidealis yang diharapkan oleh Anies. Tidak semudah itu! Anies seperti pengamat yang tidak realistis menyerang sang petahana (maklum tidak punya program unggulan, hanya mengandalkan program plas plus dari program petahana yang tidak jelas ujung pangkalnya).
Tidak mungkin tahun pertama APBD langsung terserap. Dalam pengalaman saya sebagai praktisi IT, ketika ada perubahan sistem tradisional ke sistem yang berbasis teknologi, dipastikan ada ada goncangan hebat. Biaya besar, tapi pendapatan merosot tajam, pun penyerapan anggarannya minim.
Satu hal yang patut diapresiasi dari pemprov DKI, pada penerapan sistem e-budgeting di tahun pertama langsung kelihatan outputnya, di mana terdeteksinya anggaran siluman senilai teriliunan rupiah untuk program yang tidak tepat sasaran, dan belum pernah dibahas sebelumnya.
Silahkan dibayangkan sendiri seperti apa kebocoran APBD DKI tahun-tahun sebelumnya ketika masih menggunakan sistem tradisional.
DPRD yang sudah memiliki budaya main mata dengan SKPD tidak bisa berkutik.
Sistem elektronik yang sudah dijalankan oleh pemprov DKI sudah on the track. Terbukti dengan serapan anggaran tahun 2016 yang mencapai 80%, yang dalam debat dinyatakan Anies sebagai prestasi plt Guburnur. Benarkah? Sama sekali tidak.
Dalam teori accounting antara budget, penyerapan dan pendapatan akan kelihatan di akhir tahun yang kebetulan dijabat oleh Plt Gubernur. Harus dilihat secara berkesinambungan dari awal tahun anggaran sampai ke akhir tahun anggaran, dan di indonesia diterapkan tahun angggaran itu adalah januari-desember. Apa benar penerapan 80% itu hasil kerja PLT? Berkacamata dari penjelasan di atas, itu tidak lebih dari lips service Anies untuk menghindari keterpojokannya karena lagi-lagi tidak menguasai data. Masih memakai data jadul tahun 2015 (tahun awal penerapan e-budgeting).
Dijamin efektivitas dan efisiensi anggaran pemprov DKI di tahun mendatang akan semakin meningkat seiring dengan membudayanya sistem yang berbasis teknologi yang diterapkan oleh pemrov DKI saat ini.
Jadi, OK OCE – Omong Kosong, Ojo Nyoblos.
Aldi Aliandi
(gerpol)