Perda Syariah Adalah Politik Pemanfaatan oleh Politisi Islamis Oportunis

997532
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Penerapan hukum cambuk yang diklaim sebagai salah satu Perda syariah di Aceh

Sebuah buku yang membahas peningkatan peraturan daerah atau Perda Syariah di Indonesia berjudul Politics of Shari’a Law diluncurkan di SOAS, University of London.

Buku itu ditulis oleh Dr. Michael Buehler, dosen perbandingan politik di SOAS, yang melakukan penelitian lapangan antara lain di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat maupun kawasan-kawasan lain, seperti Banten dan Aceh.

Baca Juga:

Sebagai pembicara dalam acara Senin (20/02) malam, hadir Dr. Sidney Jones selaku pengamat Islam dan terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict di Jakarta dan Dr. Chris Chaplin, peneliti Indonesia dari Leiden, Belanda.

Buku yang diterbitkan Cambridge University Press ini pada dasarnya mengkaji latar belakang dari peningkatan penerapan Perda Syariah di berbagai daerah di Indonesia walau perolehan suara partai-partai Islam justru menurun.

Perolehan suara empat partai politik Islam di Indonesia yang antara lain dikaji
Dr Buehler, PBB, PKS, PPNUI dan PPP, menunjukkan tidak banyak perubahan antara dalam empat pemilu antara 1999 hingga 2014.

Walau perolehan suara keempat partai itu pernah mencapai 18,9%, yang tertinggi pada pemilu 2004, namun menurun kembali dalam pemilu 2014 menjadi 14,78% atau hanya lebih tinggi 0,14% dibanding pemilu 1999.

Pada saat bersamaan, muncul 443 Perda Syariah yang diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia sejak tahun 1998.

Menurut Dr Buehler, peningkatan Perda Syariah antara lain disebabkan oleh demokratisasi yang membuat partai-partai Islam, yang tidak memiliki kelembagaan yang baik, harus mengaspirasi jaringan pegiat Islamis sebagai dukungan politiknya.

Saat pembahasan, Dr Sidney Jones, antara lain mengajukan pemikiran bahwa tidak semua kelompok-kelompok pegiat Islamis saat ini, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) memiliki kaitan dengan gerakan Islam pada masa lalu, seperti Darul Islam.

“Saya juga berpendapat bahwa mereka yang melakukan unjuk rasa anti-Ahok di Jakarta dengan gerakan ekstrimisme Islam mungkin seperti siang dan malam. Dan aktivisme Islam tidak selalu akan menjadi ekstrimisme Islam,” jelas Dr. Jones.

______________________________________________________________________
Wawancara dengan Dr. Michael Buehler

BBC Indonesia: Bisa dijelaskan sepintas tentang buku Anda?

Dr. Buehler: Islamisasi politik di Indonesia setelah 1998 hingga saat ini merupakan teka-teki yang belum banyak dikaji. Mengapa terjadi peningkatan jumlah Perda Syariah walau perolehan suara partai-partai Islam menurun?

Saya memaparkan analisis dari kondisi para pegiat Islamis yang berada di luar politik resmi partai yang menangkap dan menggunakan pengaruhnya dalam negara-negara dengan mayoritas umat Islam yang menghadapi demokratisasi.

Analisisnya memperlihatkan bahwa penerapan pemilihan umum yang demokratis menciptakan tekanan baru bagi elite yang berkuasa untuk memobilisasi dan membuat struktur wilayah pemilihan, dan oleh karena itu membuka peluang-peluang baru bagi pegiat Islamis untuk mempengaruhi politik.
Image caption Dr Buehler berpendapat Perda Syariah merupakan ancaman bagi Pancasila.

BBC Indonesia: Kemana saja Anda pergi untuk mengumpulkan bahan-bahan bagi buku ini?

Dr. Buehler: Saya melakukan sebagian besar penelitian lapangan di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat (termasuk Banten). Namun saya juga melakukan perjalanan ke kawasan-kawasan Syariah, seperti Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur.

BBC Indonesia: Ketika Anda mengatakan politik Perda Syariah, apakah artinya Perda Syariah digunakan untuk merebut kekuasaan politik atau upaya politisi untuk menerapkan Perda Syariah sebagai tujuan akhir?

Dr. Buehler: Saya kira penerapan Perda Syariah di Indonesia tidak terlalu menjadi pertanda dari pergeseran/transformasi ideologis yang meluas dalam masyarakat Indonesia. Namun lebih sebagai hasil dari politik pemanfaatan.

Politisi yang butuh mobilisasi warga dalam konteks pemilihan umum kini mengandalkan kelompok-kelompok yang mendorong penerapan Perda Syariah. Politisi yang sebenarnya menerapkan perda itu bukanlah pegiat Islamis. Saya juga meragukan mereka (politisi) benar-benar yakin pada Perda Syariah atau mengetahui banyak tentang itu. Politisi Indonesia yang menerapkan perda seperti itu, dengan kata lain, adalah Islamis oportunis.

BBC Indonesia: Apakah menurut Anda di masa depan akan ada ancaman atas Pancasila?

Dr. Buehler: Saya kira semangat Pancasila sudah dirusak selama beberapa waktu dan itu sebelum Perda Syariah diterapkan. Suharto, seperti yang Anda tahu, menggunakan Pancasila untuk melakukan penekanan terhadap berbagai bentuk oposisi atas rezimnya.

Hal ini, menurut beberapa pihak, membuat Indonesia kosong ideologi, yang sekarang diisi oleh Islam konservatif. Dengan demikian, saya kira Perda Syariah tentu saja tidak membantu Pancasila. Jadi, ya saya kira Perda Syariah merupakan ancaman bagi ideologi Pancasila.

______________________________________________________________________

Akhir 2015 lalu, Dr. Buehler banyak dikutip oleh media di Indonesia terkait tulisannya tentang pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.

Saat itu beberapa media menyebut bahwa tulisannya menyebutkan sebuah perusahaan di Singapura yang memfasilitasi pertemuan antara kedua presiden.
Image caption Pada November 2015. Dr Buehler meluruskan pemberitaan di Indonesia yang mengutipnya tentang peran perusahaan lobby dalam pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Obama.

Namun dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Dr. Buehler menegaskan bahwa media Indonesia salah menafsirkan tulisannya yang dimuat di situs tulisan tentang Asia Tenggara, New Mandala.

“Yang saya tulis dalam artikel saya pada prinsipnya ada kontrak bahwa seseorang membayar uang ke Pereira Limited di Singapura yang kemudian diberikan kepada perusahaan di Las Vegas, R&R Partners, US$80.000 untuk pekerjaan konsultasi dalam hubungan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat,.”

Dia menambahkan bahwa sumber dari tulisannya adalah dokumen yang bisa dibuka untuk umum, dan tautan untuk dokumen tersebut disertakannya dalam artikel bersangkutan.

(bbc/gerpol)