Pilkada DKI Membongkar Kedok Politisi dan Moralis

1205092
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Kemesraan Rizieq dan Anies Baswedan

Pilgub DKI Jakarta rupanya mampu membuka tabir yang menutupi kesadaran publik. Banyak pihak yang dinilai negarawan, dalam Pilgub DKI malah menjadi perusak sendi-sendi kebangsaan.

Amien Rais yang mendaku reformis nyatanya rasis. Din Syamsudin tak disangka hanya bersilat lidah belaka soal toleransi umat beragama. Manuver Din dalam kasus abal-abal yang menjera Basuki lebih layak dinilai sebagai politisi. Tapi, yang tak kalah mengagetkan adalah gelagat Anies Baswedan. Setelah tempo lalu mengunjungi Petamburan, kini intelektualitas sang mantan rektor  kembali patut dipertanyakan.

(lihat: Lucu! Amin Rais Lupa Mau Ngatain Ahok Apa)

Dalam debat Jumat malam, Anies Baswedan sempat menyinggung hal yang tak patut untuk diperdebatkan. Anies menyinggung besarnya arus urbanisasi “orang asing” yang “membahayakan” masyarakat Jakarta. Alih-alih membuat Jakarta kota metropolitan, Anies malah memimpikan Jakarta hanya untuk yang berKTP DKI saja. Padahal, setiap saat cagub keturunan Arab ini mendaku hendak menyatukan segenap warga di Ibukota. Bagaimana bisa Ia menyatukan Jakarta jika nyatanya dalam ujarannya telah memilah dua manusia di  Ibukota? Dalam hal ini dikotomi yang diinginkan Anies adalah Warga KTP Jakarta dan warga non-Jakarta yang seolah patut dijadikan warga kelas 2.
Jakarta adalah miniature Indonesia. Keterbukaan untuk menerima pendatang menjadi tenaga mengapa kota ini terus berkembang. Menolak kehadiran pendatang justru membuat Jakarta menjadi kota yang tidak kompetitif. Ibukota memang menjadi tujuan bagi para pencari keberuntungan.

Dengan segenap magnet impian, Ibukota terlalu kuat tarikannya bagi masyarakat di daerah untuk tidak mengais harapan. Pernyataan Anies Baswedan jelas melukai mereka yang dengan segenap hati merantau ke Ibukota untuk menjemput impian.

(baca: Anies Minta Dukungan FPI, Jubir Anies: FPI Gak Pernah Sekolah)

Ketimbang sosok pemersatu Ibukota, Anies lebih cocok dinilai perusak tenun kebangsaan. Anies mungkin telah lupa bahwa Jakarta hanya bagian dari sebuah republik bernama Indonesia Apa hak dirinya menolak orang di satu negara untuk merantau ke Ibukota untuk mengadu nasib? Benar belaka rasanya, Anies hanya lah politisi kacangan.

Selain memainkan sentimen agama untuk meraup suara, kini Anies menambah satu lagi keburukannya. Mantan rektor Universitas Paramadina itu masuk ke kubangan kebusukan sehingga menjadi seorang penganut xenophobia. Orang yang  takut pada pendatang.
Menilik perangai Anies Baswedan, mengingatkan kita pada Donald J. Trump. Pengusaha kaya raya itu tidak kalah mengerikan manakala berbicara mengenai imigran. Selama masa kampanye, Trump dengan keras menyatakan bahwa imigran adalah sumber persoalan bagi Uwak Sam. Saking bencinya pada imigran, Trump berencana membuat tembok pembatas antara Meksiko dan Amerika Serikat.

Pernyataan Trump sempat membuat ketegangan antara kedua negara. Tidak hanya imigran asal Meksiko dan Amerika Latin, Trump juga gencar mencecar imigran dari dunia Islam. Lagi-lagi pernyataannya membuat geram sejumlah handai taulan Washington di Timur Tengah.

Tapi apalah dikata, kini Trump telah menjadi orang nomor 1 di Uwak Sam.
Kembali pada Anies Baswedan, akankah pernyataannya terkait “orang asing” di Ibukota ini adalah retorika atau sejatinya memang demikianlah gambaran pria keturunan Arab ini melihat tata masyarakat Ibukota. Jika retorika, maka sudah tamatlah rekam jejak intelektual Anies Baswedan.

Jika aslinya memang Anies adalah seorang xenophobic, maka celakalah ibukota andai dipimpin orang semacam ini. Bagaimana tidak? Mengelola Ibukota yang plural dan penuh dengan pendatang pengejar impian malah dengan cara puritan dan tidak sejalan dengan semangat kebangsaan. Semangat bahwa setiap orang di Republik ini berhak hidup di mana pun tanpa rasa ancaman dan diskriminasi karena persoalan primordial semata.
Namun di luar dua kemungkinan itu, Anies kini adalah seorang yang buruk dalam memainkan emosi publik. Sekurang-kurangnya, rekam jejak intelektual, dijadikan Anies bahan untuk membual ke hadapan khalayak. Namun, alih-alih menggunakan sedemikian rupa kadar intelektual, Anies malah menyuapi publik dengan kotoran yang mampu memecah belah warga di ibukota. Walhasil, Anies Baswedan akan diingat sebagai satu-satunya mantan rektor berpikiran kotor.

Salam

Anissa Lohan