Anies Baswedan, calon Gubernur DKI Jakarta 2017, tak lagi memiliki integritas dan kredibilitas sebagai seorang pemimpin. Ia kerap melakukan pencitraan.
Mereka yang mengaguminya sebagai pendidik muda cerdas dan penuh wibawa tak lagi mengakuinya. Kini, sosok pribadi yang dikenal handal beretorika ini mulai terkuak sikap pencitraannya.
Betapa tidak, apa yang kerap disampaikan Anies acapkali tak selaras dengan kenyataan. Apalagi menjelang Pilkada DKI putaran kedua, ia rela melakukan segala cara demi ambisi politiknya menjadi gubernur DKI Jakarta.
Tak punya prestasi
Paras yang bagus dan senyum yang dimilikinya memang menjadi nilai tambah untuk membangun image dirinya. Apalagi ia pandai menulis, beretorika, memotivasi, dan sebagainya. Namun, tak sedikitpun prestasi diraih selama menjadi pejabat publik, termasuk saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan.
Ia tidak mampu mewujudkan kata-kata indahnya menjadi kenyataan. Ia tidak mampu membersihkan kementeriannya menjadi institusi yang bersih dari korupsi dan menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien. Ia tak mampu mendukung dan melayani kepentingan para guru agar fokus mengabdi kepada pendidikan.
Padahal seorang pemimpin harus selaras ucapan dengan tindakannya. Jika tidak, maka publik akan meninggalkannya karena pencitraannya yang kerap menghalalkan segala cara untuk kepentingan politik jangka pendek.
Anies memang sosok yang terlihat santun, lemah lembut, kalem dan berwawasan luas, ditambah paras wajah dan pembawaanya yang mendukung. Namun kesantunan dan kehalusan kata-kata Anies menyimpan banyak racun berbisa yang mematikan. Berbagai argumentasinya saat debat Pilkada putaran pertama banyak mengandung hoaks.
Kita bisa lihat dengan jelas saat kasus pengusiran Djarot dan teriakan kafir saat menghadiri Haul Soeharto di Masjid At-Tin. Dengan santun Anies mengatakan: “jika kita menghormati orang lain, pasti akan dihormati juga. Karena itu jangan pernah melecehkan dan merendahkan orang lain. Pemimpin harus menghargai rakyat, Insha Allah rakyat akan menghargai pemimpinnya.”
Tak hanya itu, Anies juga dikenal sebagai sosok yang oportunis. Faktanya, saat Jokowi maju sebagai calon Presiden RI 2014-2019, Anies kecewa dan mengecam pencalonannya. Menurut Anies, tindakan Jokowi ketika itu hanya pencitraan semata. Anies menuduh blusukan yang kerap dilakukan Presiden Jokowi adalah politik pencitraan untuk mengambil hati publik.
Pernyataannya berbalik setelah Anies kalah dalam konvensi Partai Demokrat. Ia tanpa malu malah beralih mendukung Jokowi sebagai calon Presiden. Sikapnya pun berubah. Ia mati-matian membela Jokowi dengan memujinya sebagai sosok inspiratif dalam setiap aksi-aksi nyata turun ke bawah untuk melihat langsung problem yang dialami masyarakat.
Sikap Anies ini juga banyak yang menghujat, karena dianggap penjilat dan mencerminkan sebagai sosok yang oportunis demi ambisi politik pribadinya. Namun dengan santai, Anies menepis semua anggapan tersebut. Ia secara terang-terangan menyerang Prabowo secara eksplisit dan membela Jokowi.
Anies menganggap Prabowo sebagai penjiplak dan melakukan kampanye tidak sehat. Bahkan ia menuduh Prabowo sebagai calon presiden yang tidak mampu menepati janji-janjinya dan pelanggar HAM yang harus diproses hukum.
Saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan, ia direshuffle karena melencng dari visi Presiden. Ia tidak bisa merealisasikan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) hingga tidak terdistribusikan secara merata. Padahal ini adalah salah satu program andalan Presiden Jokowi.
Anies juga melakukan kesalahan fatal dengan salah hitung anggaran tunjangan profesi guru hingga kelebihan Rp 23,3 trilliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. Sumber: (http://regional.kompas.com/read/2016/08/27/15412711/salah.hitung.anggara…)
Namun setelah ia dipecat sebagai Menteri Pendidikan, malah ia tanpa malu memuji Prabowo seperti apa yang telah ia lakukan terhadap Jokowi. Anies rela menjadi Bunglon dan menjilat ludahnya sendiri.
Tidak sampai di situ, setelah bergabung dengan kubu Prabowo agar bisa menang menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies kembali menjilat ludahnya dengan mendekati FPI. Ia menyambangi FPI yang dulu ia anggap sebagai kelompok ekstremis yang kerap membuat keributan dan kegaduhan di republik ini.
Dengan retorika manisnya, Anies berhasil merayu FPI sehingga tak heran jika FPI bahu membahu membantu Anies memenangkan Pilkada DKI.
Publik dewasa
Publik paham betul bahwa politik pencitraan yang dilakukan Anies. Publik paham bahwa sudah menjadi kebiasaan umum calon kepala daerah mendadak islami menjelang pemilu. Seperti memakai kopiah, berpakaian islami, sampai kunjungan ke berbagai majelis taklim. Publik tidak akan memilih pemimpin yang hanya bisa menggunakan agama sebagai alat politik.
Publik tidak bisa dibohongi dengan politik pencitraan. Meskipun politik semacam ini menyebar luas dengan segala pencitraannya, namun publik tetap berpegung teguh pada rasionalitas dan rekam jejak (treq record) yang telah dilakukan oleh masing-masing paslon.
Publik sudah sangat dewasa. Model kampanye sehat dengan proses dialog, adu visi-misi dan strategi yang kreatif merupakan prioritas utama dalam menentukan pilihannya. Sedangkan politik pencitraan Anies dengan cara berpeci, beretorika penuh janji dan sebagainya sama sekali tidak akan laku untuk warga Ibu Kota.
Kini, Anies Baswedan sudah berubah. Para pengagum yang dulu memuja dan terpesona dengan gerakan Indonesia mengajarnya, perlahan mulai meninggalkannya. Lalu pantaskan ia memimpin Ibu Kota ?
(qureta/gerpol)