Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DKI Jakarta telah mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Menanggapi hal tersebut, Cawagub Sandiaga Salahuddin Uno menyebut warga PKB, khususnya Nahdliyin, sudah cerdas dalam menentukan pilihan.
“Tentu ada pilihan sendiri (untuk PKB DKI), saya yakin warga PKB nahdliyin sudah sangat cerdas. Mana yang betul-betul mendukung kegiatan Islam yang rahmatan lil alamin, mana yang betul-betul menghasilkan solusi terhadap permasalahan NU, kan sekarang terhadap ekonominya juga,” ujar Sandiaga di Sanderson Coffee, Rawamangun, Pulogadung, Jakarta Timur, Minggu (9/4/2017).
Seperti yang diungkapkan Sandiaga pada detikcom tersebut. Sandiaga merasa bahwa Timsesnya memang kontraproduktif dalam menjaring warga Nahdliyin yang selama ini selalu dihantui dengan spanduk SARA (Baca: Menepuk Isu SARA Terciprat Muka Anies dan Sandi)
Timses Anies Sandi tidak pernah berhenti dengan narasi SARA, seperti bola salju yang saat ini makin membesar. Spanduk dicopot besoknya muncul lagi spanduk lebih banyak dan masif. Kuantitas dan kualitas serangannya juga semakin miris untuk stabilitas bangsa hingga akhirnya justru NU yang bersikap atas hal ini.
Yang menunggang Pilkada DKI sudah bukan elemen Jakarta saja, tapi dimanfaatkan oleh perusak bangsa yang selama ini dibiarkan tumbuh oleh Anies Sandi. (Baca: PKB DKI Deklarasikan Dukungan ke Ahok Djarot, karena Anies Sandi Mau Jadikan Indonesia Seperti Suriah dan Yaman)
Efek dari isu yang disebarkan Team Anies Sandi sudah membahayakan bagi NKRI, sel Islam radikal bangkit semua dengan isu yang dihembuskan di Pilkada DKI. NU merespon dengan mengadakan Istighotsah Qubro di Sidoarjo 9 April 2017 lalu. Bermula dari Jakarta menjadi isu Indonesia yang terancam oleh pemaksaan paham radikal.
Ucapan Sandiaga adalah sebuah penyesalan atas apa yang dilakukan timsesnya dan dia tidak bisa cegah, karena ada kepentingan juga untuk meraup suara. Kini semua sudah jelas, tenun kebangsaan sedang dicabik oleh Anies Sandi sendiri.
(detikcom/gerpol)